Jumat, 13 Agustus 2010

Sejarah Penulisan 'Ulumul Hadits Modern


A. Prawacana: Menimbang Modernisme dalam Konteks Ilmu Hadits
            Harun Nasution, dalam salah satu bukunya,[1] menyatakan bahwa awal sejarah modern umat Islam ditandai dengan masuknya berbagai pengaruh dari Barat ke dalam kehidupan umat Islam. Fase ini dimulai sekitar awal abad ke-19 dengan berbagai kemajuan yang dihasilkan oleh masyarakat Barat, terutama dalam persoalan pengetahuan dan teknologi. Secara bertahap dan pasti modernisme Barat[2] mulai merubah dan memberikan stimulan kepada sebagian kaum terpelajar Muslim dalam mereaktualisasi ajaran dan paham keagamaan Islam. Kajian orientalis, misalnya, lambat-laun mulai dipelajari serta membangkitkan gairah sarjana Muslim dalam konteks perkembangan modernisme Islam. Hal ini dapat dibuktikan dengan diterjemahkannya kata modernisme ke dalam bahasa Arab dengan al-tajdîd serta dalam bahasa Indonesia dengan pembaharuan.
            Pernyataan yang diungkapkan oleh Harun Nasution di atas, dalam hemat penulis, tidaklah terlalu berlebihan karena merupakan suatu keniscayaan bagi setiap peradaban manusia untuk memiliki sejarahnya masing-masing. Secara historikalitas, kesadaran akan pentingnya sejarah kemoderenan umat Islam bisa dirunut sampai kepada Ibn Taymiyyah yang menggemakan “terbukanya pintu ijtihad”.[3] Momentum kesadaran ini kemudian mulai dijadikan agenda besar secara lebih massif dan struktural oleh Syâh Waliyullah al-Dahlawî (w. 1762 M), Muhammad Ibn ‘Abd Wahhâb (w. 1787 M), Sayyid Jamâluddîn al-Afghânî (w. 1879 M), Sir Sayyid Ahmad Khân (w. 1898 M) dan Muhammad ‘Abduh (w. 1905 M). Kemudian, secara pararel, ditindaklanjuti oleh sarjana-sarjana Muslim lainnya di berbagai belahan dunia.
Terkait dengan tokoh-tokoh di atas, yang menarik untuk dicermati adalah adanya upaya perujukkan terhadap pemikiran Syâh Waliyullah al-Dahlawî dalam konteks kelahiran Islam liberal (liberalist Islam). Kurzman, misalnya, menyatakan bahwa akar-akar kesejarahan serta kelahiran Islam liberal berasal dari tokoh ini. Hal ini ditandai dengan penekanan akan pentingnya pemikiran manusia (human reasoning) yang merupakan suatu konsep yang secara konstan selalu muncul dalam karya-karya Syâh Waliyullah dan menjadi pedoman utama bagi para pemikir Muslim liberal belakangan. Lebih lanjut, Kurzman menambahkan, baru pada abad ke-19 momentum Islam liberal mulai terlihat secara jelas dan membedakan entitasnya dengan revivalisme Islam (Islam revivalist). Tokoh-tokoh yang muncul pada abad ini, menurut Kurzman, bisa dilacak sampai kepada Sayyid Jamâluddîn al-Afghânî, Sir Sayyid Ahmad Khân dan Muhammad ‘Abduh.[4]
Informasi lain yang juga menarik untuk dicermati adalah, terkait dengan konteks ilmu hadits, adanya fakta bahwa Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rasyîd Ridhâ, terutama Muhammad ‘Abduh, merupakan pelopor inkar Sunnah modern. Prof. Ali Mustafa Yaqub, berdasarkan kesimpulan Prof. Dr. M. Mushtafâ al-A’dhamî dalam menelaah buku Abû Rayyah, al-Adhwa ‘alâ al-Sunnah al-Muhammadiyyah, yang banyak mengutip pendapat Muhammad ‘Abduh, menyatakan bahwa lingkaran inkar Sunnah modern lahir di Kairo, Mesir pada masa Muhammad ‘Abduh. Tegasnya, Muhammad ‘Abduh adalah orang yang pertama kali melontarkan gagasan inkar Sunnah pada fase modern.[5]
Relevansi signifikan dari data sejarah di atas, sekaligus dikaitkan dengan perkembangan ilmu hadits, adalah munculnya kepentingan dari sarjana Muslim untuk melakukan kajian-kajian yang mendalam dalam mendudukan kembali urgensi hadits sebagai salah satu fondasi ajaran keagamaan Islam. Konteks kepentingan ini dapat dinyatakan sebagai sebuah bagian dari keniscayaan sejarah sekaligus dibuktikan dengan munculnya penerbitan buku-buku ‘ulûm al-hadîts yang lebih menonjolkan sistematika penyusunan yang disesuaikan dengan sisitematika modern. Salah satu historical background (khalfiyyah al-târîkhiyyah) yang dirasakan sangat mendesak adalah munculnya kajian-kajian orientalism[6] yang timpang dalam kajian seputar hadits serta otensitasnya, dan bahkan telah menyentuh ranah teologis, sehingga melahirkan perhatian yang intens untuk membahas seputar informasi stereotif-negatif-destruktif tersebut dengan tujuan memberikan klarifikasi secara ilmiah terhadap kajian orientalisme sebagai bentuk mempertahankan eksistensi Sunnah. Pendasaran lain adalah adanya tuntutan pembaharuan sistematika penyusunan kitab-kitab ‘ulûm al-hadîts yang lebih komprehensif dan sesuai dengan zamannya.[7]

B. Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits Periode Modern
            Sebelum menuturkan secara spesifik tentang sejarah perkembangan ilmu hadits periode modern, ada baiknya untuk melihat sejarah perkembangan ilmu hadits dari periode ke periode. Hal ini terasa sangat signifikan untuk diungkapkan karena memiliki korelasi positif dengan sejarah ilmu hadits modern, juga karena dalam sistematika penulisan kitab-kitab modern, karya-karya sebelumnya tidak bisa dinafikan begitu saja. Alasan lainnya yang sagat urgen adalah untuk melihat perubahan signifikan ‘ulûm al-hadits, baik dari segi manhaj dan materi ‘ulûm al-hadîts itu sendiri.
Nûr al-Dîn ‘îtr (Nuruddin ‘Itr), dalam bukunya,[8] membagi sejarah perkembangan ilmu hadits menjadi tujuh periode. Pertama, tahap kelahiran (dawr al-nusyû´). Periode ini berlangsung mulai fase shahabat sampai akhir abad I H. Kedua, tahap penyempurnaan (dawr al-takâmul). Periode ini berlangsung dari abad II sampai awal abad III H. Dalam periode ini ilmu hadits mencapai titik kesempurnaannya karena setiap cabang ilmu hadits dapat berdiri sendiri dan sejalan dengan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dan dipergunakan para ulama. Ketiga, tahap pembukuan ilmu hadits secara terpisah (dawr al-tadwîn li ‘ulûm al-hadîts mufarriqah). Periode ini berlangsung sejak abad III sampai pertengahan abad IV H. Abad III merupakan masa pembukuan hadits sekaligus zaman keemasan Sunnah sebab dalam fase inilah Sunnah dan ilmu-ilmunya dibukukan.
Keempat, penyusunan kitab-kitab induk ‘ulûm al-hadîts dan penyebarannya (‘ashr al-ta´lîf al-jâmi’ah wa inbitsâq fann ‘ulûm al-hadîts mudawwinân). Fase ini bermula pada pertengahan abad IV sampai awal abad VII. Dalam periode ini, muncullah karya-karya besar dalam bidang ‘ulûm al-hadîts, diantaranya adalah al-Muhaddits al-Fâshil bayna al-Râwî wa al-Wâ’î karya al-Qadhî Abû Muhammad al-Râmahurmuzî al-Hasan ibn ‘Abdirrahmân ibn Khalâd (w. 360 H), al-Kifâyah fî ‘Ilm al-Riwâyah karya al-Khathîb al-Baghdâdî Abî Bakar Ahmad ibn ‘Alî (w. 463 H) dan aI-Ilmâ’ fî Ushûl al-Riwâyat wa al-Simâ’ karya ‘Iyâdh ibn Mûsâ al-Yuhshabî (w. 544 h). Selain itu, kitab-kitab ‘ulûm al-hadîts penting lainnya adalah Ma’rifah ‘Ulûm al-Hadîts karya al-Hâkim Abû ‘Abdillah Muhammad ibn ‘Abdillah al-Naysâbûrî (w. 450 H), al-Mustakhraj karya Abû Nua’ym Ahmad ibn ‘Abdillah al-Asfahânî (w. 430 H) dan Mâ Lâ Yasa’u al-Muhaddits Jahluhu karya al-Siyânijî Abû Hafs ‘Umar ibn ‘Abd al-Majîd (w. 580 H).
Kelima, tahap kematangan dan penyempurnaan pembukuan ‘ulûm al-hadîts (dawr al-nadhj wa al-iktimâl fî tadwîn fann [‘ulûm al-hadîts]). Periode ini dimulai abad VII sampai abad X H. Dalam tahap ini pembukuan ‘ulûm al-hadîts mencapai titik kesempurnaan dengan ditulisnya sejumlah kitab yang mencakup seluruh cabang ilmu hadits. Pelopor pembaharuan  dalam ‘ulûm al-hadîts periode ini adalah al-Imâm al-Muhaddits al-Hâfizh al-Faqîh al-Ushûlî Abû ‘Amr ‘Utsmân ibn al-Shalâh (w. 643 H). Pasca Ibn Shalâh, kitab-kitab penting lainnya adalah al-Irsyâd karya Imâm Yahyâ ibn Syarf al-Nawawî (w. 676 H), al-Tabshirah wa al-Tadzkirah karya Imâm ‘Abdurrahîm ibn al-Husayn al-‘Irâqî (w. 806 H), al-Taqyîd wa al-Îdhâh lima Uthliqa wa Ughliqa min Kitâb Ibn al-Shalâh atau disebut juga dengan al-Nukat karya al-Hafizh al-‘Irâqî, al-Ifshâh ‘alâ Nukat Ibn al-Shalâh karya al-Hafizh Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar al-‘Asqalânî (w. 853 H), Fath al-Mughîts Syarh Alfiyyah al-‘Irâqî fî ‘Ilm al-Hadîts karya al-Hâfizh Syams al-Dîn Muhammad al-Sakhâwî (w. 902 H), Tadrîb al-Râwî Syarh Taqrîb al-Nawâwî karya al-Hâfizh Jalâl al-Dîn ‘Abdirrahmân al-Suyûthî (w. 911 H) dan Nukhbah al-Fikr dan syarhnya Nuzhah al-Nazhar karya al-Hâfizh Ibn Hajar.
Keenam, tahap kebekuan dan kejumudan (‘ashr al-rukûd wa al-jumûd). Periode ini dimulai pada abad X sampai menjelang permulaan abad XIV H. Dalam fase ini ijtihad dalam ilmu hadits dan penyusunan kitabnya nyaris berhenti total. Sejumlah kitab yang muncul lebih menitikberatkan dalam penyusunan yang bersifat ringkas dan praktis, baik dalam sya’ir (syi’rân) atau prosa (natsrân). Para penyusun kitab lebih banyak melakukan kritikan terhadap sejumlah istilah-istilah yang terdapat dalam kitab-kitab sebelumnya tanpa memahami inti persoalan, baik dengan cara penelitian (tahqîqân) atau ijtihad. Sejumlah karya yang muncul dalam periode ini adalah al-Manzhûmah al-Bayqûniyyah karya ‘Amr ibn Muhammad ibn Futûh al-Bayqûnî al-Dimasyqî (w. 1070 H), Tawdhîh al-Afkâr karya al-Shan’anî Muhammad ibn ‘Ismâ’îl al-Amîr (w. 1182 H) dan Syarh Nuzhah al-Nazhar Syarh al-Nukhbah karya Syaykh ‘Alî ibn Sulthân al-Harawî al-Qâri’î (w. 1014 H). Setelah itu, kegiatan pengkajian hadits beralih ke India yang dipelopori oleh ‘Alâmah Imâm al-Muhaddits Syâh Waliyullah al-Dahlawî (w. 1176 H) dan diteruskan oleh keturunannya.
Ketujuh, tahap kebangkitan kedua (dawr al-yaqzhah wa al-tanabbuh fî al-‘ashr al-hadîts). Periode ini dimulai sekitar abad XIV H atau periode modern. Dalam periode ini umat Islam bangkit untuk melakukan kajian-kajian yang ekstensif atas eksistensi Sunnah. Hal ini dilakukan berdasarkan sejumlah kekhawatiran, yaitu implikasi persentuhan antara dunia Islam dengan dunia Timur dan Barat, bentrokan militer yang tidak manusiawi serta kolonialisme pemikiran yang jahat dan berbahaya sebagai akibat kajian-kajian orientalisme yang diterima begitu saja (taken for granted) oleh orang-orang yang telah terbawa arus serta menyebarluaskannya dengan penuh keyakinan. Situasi dan kondisi tersebut menuntut rekodifikasi sejumlah kitab-kitab yang mengkaji diskursus orientalisme dengan tujuan memberikan klarifikasi kesalahan-kesalahan informasi sekaligus kejanggalannya. Selain itu, kondisi di atas juga menuntut adanya pembahauan sistematika penyusunan kitab-kitab ilmu hadits. Dalam merespons situasi tersebut, sejumlah ulama berhasil melahirkan karya-karya dengan spesialisasi masing-masing dan telah banyak pula yang dicetak.
Beberapa kitab penting yang muncul pada periode ini, menurut Nuruddin ‘Itr, antara lain sebagai berikut:
  1. Qawâ’id al-Tahdîts karya Jamâl al-Dîn al-Qâsimî. Pembahasan ilmu hadits dalam kitab ini dibagi menjadi 3, yaitu (1) hadits shahîh[9] dan hasan,[10] (2) hadits dha’îf[11] dan (3) pembahasan yang terkait dengan ketiga macam hadits tersebut.[12] Sistematika yang ditawarkan oleh al-Qâsimî dalam karyanya tersebut menjadi rujukan penyusun kitab serupa dalam zamannya.
  2. Miftâh al-Sunnah atau Târîkh Funûn al-Hadîts karya ‘Abdul ‘Azîz al-Khûlî. Kitab ini merupakan pelopor dalam pengkajian sejarah hadits dan perkembangan ilmu-ilmunya.
  3. Al-Sunnah wa Makânatuhâ fî al-Tasyrî’ al-Islâmî karya Dr. Mushtafâ al-Sibâi´. Kitab ini merupakan karya yang sangat bagus (wa huwa kitâbun jalîl al-qadri), dimana isinya membicarakan tentang orientalisme, serangan mereka terhadap hadits, serta serangan balik (counter opinion) orientalimse ketika mereka kalah dalam beradu argumentasi. Selain itu, kitab ini juga memberikan klarifikasi terhadap asumsi-asumsi inkar Sunnah, baik generasi awal ataupun generasi sesudahnya.
  4. Al-Hadîts wa al-Muhadditsûn karya Dr. Muhammad Muhammad Abû Zahw.[13] Kitab ini menjelaskan tentang ketekunan para ulama dalam mengabdi kepada Sunnah (likhidmati al-hadîts) yang disertai dengan hasil penelitian kondisi hadits pada periode-periode pertama, yaitu periode shahabat, tabi’in sampai periode pembukuan hadits. Kitab ini juga dilengkapi dengan melakukan klarifikasi terhadap isu serta asumsi yang tidak benar berkaitan dengan hadits. Adapun sistematika yang ditawarkan oleh penyusun kitab ini adalah:
a.       Muqaddimah, yang berisi penjelasan tentang konsep dan terminologi Sunnah, kedudukannya dalam agama serta fungsi interpretasinya bagi al-Qur´an.
b.      Sunnah dan fase-fase perkembangannya, yang mencakup:
1)       Fase pertama: konsep dan terminologi Sunnah periode Nabi Saw.
2)       Fase kedua: konsep dan terminologi Sunnah periode al-khilâfah al-râsyidah.
3)       Fase ketiga: konsep dan terminologi Sunnah pasca al-khilâfah al-râsyidah sampai akhir abad I H.
4)       Fase keempat: konsep dan terminologi Sunnah pada abad II H.
5)       Fase kelima: konsep dan terminologi Sunnah pada abad III H.
6)       Fase keenam: konsep dan terminologi Sunnah sekitar tahun 300 H sampai sekitar tahun 656 H.
7)       Fase ketujuh: konsep dan terminologi Sunnah pada tahun 656 H sampai periode modern-kontemporer
c.       Epilog, berisi penjelasan tentang macam-macam ilmu hadits serta ketekunan sarjana-sarjananya dalam mengabdi kepada Sunnah.[14]
5.   Al-Manhaj al-Hadîts fî ‘Ulûm al-Hadîts karya Dr. Syeykh Muhammad Muhammad al-Simâhî. Beliau adalah ulama yang menguasai seluruh cabang ilmu hadits (al-jâmi’ li anwâ’ al-ulûm). Kitab ini dimaksudkan untuk membahas ilmu hadits secara luas dan komprehensif serta mencakup penjelasan-penjelasan kaidahnya secara panjang lebar. Kitab ini dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
a.       Sejarah hadits, terdiri dari tiga jilid (قسم تاريخ الحديث ويتألّف من ثلاثة أجزاء).
b.      Mushtalah al-hadîts (قسم مصطلح الحديث).
c.       Periwayatan hadits (قسم الرواية).
d.      Penjelasan tentang rawi (قسم الرواة).
Pada periode ini, selain munculnya kitab-kitab ‘ulûm al-hadîts yang mencakup seluruh kajian cabang hadits, juga muncul kajian ‘ulûm al-hadîts secara khusus yang lebih menitikberatkan pada pemikiran, baik yang berkaitan dengan sejarah, kritik atau sanggahan terhadap berbagai tuduhan yang dilontarkan tentang otentisitas Sunnah serta kedudukannya dalam syari’at. M. Dede Rodliyana mencatat bahwa karya-karya khusus tersebut antara lain adalah al-Hadîts wa al-Muhadisûn karya Muhammad Muhammad Abû Zahw, al-Sunnah wa Makânatuhâ fi al-Tasyrî’ al-Islâmî karya Mushtafâ al-Sibâ’î, al-Difâ’ al-Sunnah karya Muhammad ‘Umar Hâsyim, Miftâh al-Sunnah karya ‘Abd Azîz al-Khûlî, al-Sunnah Qabla al-Tadwîn karya Muhammad ‘Ajjâj al-Khathîb, Dirâsât fî al-Hadîts al-Nabawî wa Tarîkh Tadwînih dan Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhadditsîn: Nasy´atuh wa Târîkhuh karya Muhammad Mushtafâ al-A’dhamî dan lain sebagainya.[15]
            Sedangkan dalam pemikiran ‘ulûm al-hadîts, karya-karya yang lahir pada periode ini dimulai dengan munculnya kitab Qawâ’id al-Tahdîts min Funûn Mushtalah al-Hadîts karya Muhammad Jamâl al-Dîn al-Qasimî, disusul oleh kitab ´Ushûl al-Hadîts: ‘Ulûmuh wa Mushthalahuh karya Muhammad ‘Ajjâj al-Khathîb, Manhaj al-Naqd fî ‘Ulûm al-Hadîts karya Nûr al-Dîn ‘Itr, Taysîr Mushthalah al-Hadîts karya Mahmûd al-Thahhân, ‘Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuh karya Shubhî al-Shâlih, Qawâ’id ´Ushûl al-Hadîts karya Ahmad ‘Umar Hâsyim dan Mafâtih al-Hadîts wa Thuruq Takhrîjuh karya Muhammad ‘Utsmân al-Khasysît.[16] Berikut akan dpaparkan sejumlah kitab ‘ulûm al-hadîts yang lahir pada perode ini.

  1. Qawâ’id al-Tahdîts min Funûn Mushtalah al-Hadîts karya Muhammad Jamâl al-Dîn al-Qasimî
Nama lengkap beliau adalah Muhammad Jamâl al-Dîn Abû al-Farj ibn Muhammad Sa’îd ibn Qâsim ibn Shâlih ibn ‘Ismâ’îl ibn Abî Bakar (lebih dikenal dengan al-Qâsimi) lahir pada waktu Dhuha, hari Senin tanggal 8 Jumâdil Ûlâ tahun 1283 H yang bertepatan dengan tanggal 17 September 1866 M di Damaskus.[17] Terkait dengan term jamâl yang melekat dalam nama beliau, Syakîb Arsalân[18] memberikan interpetasi bahwa term al-jamâl dan al-qasâm dalam bahasa Arab bermakna sinonim, dimana kata al-qâsim (isim fâ’il) bermakna al-jamîl (bagus). Sedangkan nama al-Jamâl al-Qâsimî adalah nama yang paling bagus karena term al-jamal tersebut terdapat dalam sebuah hadits, yaitu إِنَّ الله جَمِيْلٌ وَ يُحِبُّ اْلجَمَالَ.
Ayah al-Qâsimî adalah seorang ahli fikih (faqîhân) yang menyukai bidang sastra terutama musik. Al-Qâsimî mempelajari pengetahuan dengan metode klasik, dimana hal yang pertama dilakukan al-Qâsimî adalah belajar al-Qur´an kepada al-Syaikh ‘Abd al-Rahmân al-Mishrî, disusul belajar menulis kepada al-Syaikh Mahmûd al-Qûshî kemudian dilanjutkan ke Madrasah al-Zhâhiriyyah. Di sana al-Qâsimî belajar tentang prinsip-prinsip tawhid, sintaksis-gramatis (nahw wa al-sharf), logika serta lain sebagainya. Selain itu, beliau juga mempelajari kitab Syarh al-Syudzûr, Ibn ‘Aqîl, Syarh al-Qithr, Mukhtashar al-Sa’d, Jam’ al-Jawâmi’ dan Tafsîr al-Baydhâwî. Kecintaannya terhadap ilmu membuatnya sering menghadiri majlis kajian al-Bukhârî secara dirâyah, kajian Muwathâ´, al-Syifâ´, Mashâbîh al-Sunnah, al-Jâmi’ al-Shaghîr, al-Tharîqah al-Muhammadiyyah serta lain sebagainya.[19]
Diantara pemikiran yang melekat dalam kepribadian al-Qâsimi adalah (1) agama adalah tempat pembentukan akhlak, (2) agama menyeru kepada persatuan dan bukannya perpecahan, (3) akal adalah petunjuk Tuhan yang paling meyakinkan dan kuat sehingga naql (teks) tidak boleh bertentangan dengan akal serta (4) apabila pemahaman akal dengan naql (teks) bertentangan, maka yang harus dilakukan adalah pemahman naql (teks) dengan akal.[20]
Tujuan dari kitab ini, sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Sayyid al-Murtadhâ al-Yamânî dalam Îtsâr al-Haqq ‘alâ al-Khalq, ditujukan kepada orang-orang yang kitab-kitab lain dipersembahkan kepada mereka serta yang diharapkan para ulama, yaitu golongan yang memiliki lima sifat dan yang paling utama adalah sifat ikhlas, cerdas dan objektif.[21] Karya al-Qâsimî ini mencoba untuk memberikan sistematika pengajaran yang lebih baik dan komprehensif dengan tetap mengacu kepada karya-karya awal ‘ulûm al-hadîts. Sehingga dapat dikatakan bahwa fokus kajian lebih ditujukkan kepada perubahan sistematika penyajian serta pemecahan dari persoalan ‘ulûm al-hadîts yang sebelumnya masih berserakan.[22]
Al-Qâsimî sendiri menyatakan bahwa metode yang ditempuh dalam kodifikasi karyanya ini dalah dengan cara melakukan penelaahan terhadap karya-karya muhaditsîn, ushûliyyîn, fuqahâ´, sufisme, mutakallimîn dan sastrawan, baik dari mawqîf mutaqaddimîn ataupun muta´akhirîn. Kemudian menuliskan pembahasan-pembahasan yang sesuai, menyatukan, mengurutkan, terkadang dalam persoalan-persoalan tertentu melakukan pembenaran (tahqîq) dengan memberikan penjelasan yang diperlukan.[23] Adapun persoalan yang dibahas dalam kitab ini dibagi ke dalam 160 pembahasan yang dibaginya menjadi 10 bab,[24] yaitu
1.        الباب الأوّل التنويه بشأن الحديث terbagi menjadi 10 pembahasan.
  1. الباب الثّاني في معني الحديث terbagi menjadi 5 pembahasan.
  2. الباب الثّالث في بيان علم الحديث terbagi menjadi 3 masalah.
  3. الباب الرّابع في معرفة أنواع الحديث terbagi menjadi 48 maksud dan dalam sub bab الكلام علي الحديث الموضوع memuat 14 pembahasan.
  4. الباب الخامس في الجرح والتعديل terbagi ke dalam 20 masalah.
  5. الباب السّادس في الإسناد terbagi menjadi 24 pembahasan.
  6. الباب السّابع في أحوال الرّواية memuat 5 pembahasan.
  7. الباب الثّامن في آداب المحدّث وطالب الحديث mencakup 8 masalah.
  8. الباب التّاسع في كتب الحديث membahas 10 faidah.
  9. الباب العاشر في فقه الحديث membahas 30 penjelasan.
Dari pembahasan yang telah dijelaskan oleh al-Qâsimî di atas, terjadi perubahan dalam persoalan metodologi. Namun, dalam tataran materi bahasan atau cabang ‘ulûm al-hadîts, al-Qâsimî tidak mengalami pergeseran. Intinya, yang secara jelas terlihat adalah reformulasi metodologi dari karya-karya sebelumnya serta tidak menawarkan cabang baru ‘ulûm al-hadîts, khususnya yang berkaitan dengan objek kajian ‘ulûm al-hadîts serta hanya memberikan tambahan tentang sejarah perkembangan hadits.[25]

2. ´Ushûl al-Hadîts: ‘Ulûmuh wa Mushthalahuh karya Muhammad ‘Ajjâj al-Khathîb
´Ushûl al-Hadîts: ‘Ulûmuh wa Mushthalahuh adalah karya ‘Ajjâj al-Khathîb yang disusun untuk dijadikan bahan perkuliahan metodologi ‘ulûm al-hadîts pada Fakultas Syari’ah dan Adab di Universitas Damaskus serta pada Fakultas Syari’ah, Ushuluddin, Adab dan al-Ma’had al-Diniyyah di berbagai negara lainnya.[26] Dalam karya sebelumnya, al-Sunnah Qabla al-Tadwîn, ‘Ajjâj al-Khathîb berupaya untuk menjelaskan kepedulian umat Muslim terhadap hadits sebelum lahirnya kitab-kitab penting dalam persoalan ini dengan suatu pembahasan yang sangat mendalam. Dalam akhir pembahasan karyanya tersebut ‘Ajjâj berkesimpulan bahwa Sunnah betul-betul dapat dapat dibuktikan otentisitasnya sejak zaman Nabi Muhammad Saw sampai periode pembukuan dengan munculnya kepedulian umat serta cerdik cendikianya.[27] Selain itu fokus pembahasan dalam al-Sunnah lebih ditekankan dalam melakukan kajian Sunnah sebelum dikodifikasikan.[28]
Sedangkan dalam karyanya ini, ´Ushûl al-Hadîts: ‘Ulûmuh wa Mushthalahuh, lebih ditekankan dalam persoalan yang menitikberatkan hal-hal esensial yang berupa kaidah-kaidah dan fondasi-fondasi penting, baik yang berkaitan dengan penerimaan dan penolakan hadits ataupun cabang-cabang ‘ulûm al-hadîts yang berkaitan dengan kondisi rawi dan yang diriwayatkannya karena cabang-cabang tersebut telah memberi andil memelihara sekaligus mengeksplorasi persoalan hadits; membedakan yang kuat dari yang lemah (saqîm), yang shahîh dari yang lemah (dha’îf) dan lain sebagainya.[29]
Sistematika yang dibuat ‘Ajjâj dalam karyanya ini meliputi tamhîd yang meliputi pembahasan tentang definisi ilmu hadis baik dirâyah[30] ataupun riwâyah,[31] penjelasan tentang urgensi pokok-pokok ilmu hadits, sejarah singkat seputar perkembangan ilmu-ilmu tersebut, penjelasan tentang macam-macam ‘ulûm al-hadîts dan metodologi yang dipakai ‘Ajjâj dalam kajian karyanya ini. Sedangkan dalam merumuskan penyusunan semua kaidah-kaidah ‘ulûm al-hadîts, ‘Ajjâj membaginya ke dalam 4 bab, yaitu:
1.    Bab pertama membahas tentang pengantar tentang Sunnah yang mencakup lima pembahasan, yaitu:
a.       Tentang makna Sunnah.
b.      Kedudukan Sunnah dalam syari’at.
c.       Hadits pada masa Nabi Saw.
d.      Hadits pada periode shahabat dan tabi’in.
Perkembangan ilmiah pada periode shahabat dan tabi’in
2.    Bab kedua menjelaskan hal-hal seputar kodifikasi hadits yang terbagi menjadi tiga pembahasan, yaitu:
a.       Seputar kodifikasi hadits.
b.      Gerakan kodifikasi di dunia Islam.
c.       Pemikiran seputar kodifikasi hadits.
3.    Bab ketiga menjelaskan tentang ‘ulûm al-hadîts yang dibagi menjadi 7 pembahasan, yaitu:
a.       Penjelasan tentang tahammul wa ´adâ al-hadîts.
b.      Penjelasan tentang ‘ilm târîkh al-ruwât.
c.       penjelasan tentang ‘ilm al-jarh wa al-ta’dîl.
d.      Penjelasan tentang ‘ilm gharîb al-hadîts.
e.      Penjelasan tentang ‘ilm mukhtalif al-hadîts.
f.         Penjelasan tentang ‘ilm nâsikh wa mansûkh.
g.      Penjelasan tentang ‘ilm ‘illal al-hadîts.
4.    Bab empat membahas tentang mushthalah al-hadîts yang terbagi menajadi 4 persoalan, yaitu:
a.       Penjelasan tentang hadits shahîh.
b.      Penjelasan tentang hadits hasan.
c.       Penjelasan tentang hadits dha’îf dan,
d.      Penjelasan tentang segala hal yang berkaitan dengan ketiga macam hadits di atas dengan menambahkan tentang penjelasan hadits mawqûf dan maqthu’ serta penjelasan seputar permasalahan tentang shahabat dan tabi’in.
Karya ini ditutup dengan pembahasan tentang persoalan hadits mawdhû’, adab dan majlis-majlis riwâyat al-hadîts sekaligus diakhiri dengan penjelasan tentang gelar-gelar para ahli hadits serta karya-karya dalam ‘ulûm al-hadîts yang berjumlah 180 kitab.[32]

3.   Manhaj al-Naqd fî ‘Ulûm al-Hadîts karya Nûr al-Dîn ‘Itr
Karya Nûr al-Dîn ‘Itr[33] ini tergolong sebuah kitab yang istimewa dan komprehensif. Pengakuan tentang hal ini diungkapkan oleh Dr. Muhammad ibn Muhammad Abû Syuhbah. Abû Syahbah memberikan beberapa catatan tentang keistimewaan kitab ini, yaitu:
  1. Pembagian dan perincian yang sistematis. Penyusun kitab bersifat kreatif dalam membagi dan memilah ‘ulûm al-hadîts dan ushûl al-hadîts sehingga mamapu menampilkan dalam format baru dengan kajian yang ilmiah, yang menunjukkan kesempurnaan dan kedalaman ilmu ini. Sejumlah masalah yang berkaitan dengan salah satu bagian dari hadits dikumpulkan dalam satu bab sehingga ‘ulûm al-hadîts dan ushûl al-hadîts yang berkaitan dengan matan dibahas tuntas dalam satu bab, yang berkaitan dengan keduanya dibahas dalam satu bab tersendiri ditambah dengan kajian historis yang mencakup perkembangan ilmu ini dan liku-liku pemeliharaannya pada setiap periode dari penipuan dan kesimpangsiuran.
  2. Contoh-contoh aktual setiap bagian dari ilmu hadits disertai dengan contoh-contoh baru yang sangat berlainan dengan yang telah dikembangkan oleh para ulama hadits terdahulu.
  3. Perhatian yang cukup tinggi dalam upaya menelusuri setiap hadits yang dijadikan sebagai contoh pada setiap cabang ilmu hadits dan studi kritis yang dilakukan oleh sejumlah muhadditsîn dengan tetap menisbahkannya kepada mereka yang meriwayatkan dalam kitabnya masing-masing. Beliau juga menjelaskan hadits yang diperselisihkan oleh para ulama hadits dan ulama al-jarh wa al-ta’dîl. Penyusun tidak sekedar mengutip, melainkan menyebutkan pandapat para ulama dalam rangka tarjîh.
  4. Penyusun beusaha memperkenalkan tokoh-tokoh yang namanya tercantum dalam buku ini dengan menguraikan sejarahnya secara singkat.
  5. Penyusun memiliki pengetahuan yang luas terhadap kitab-kitab dalam disiplin ilmu ini, yang jikalau ditumpuk akan membentuk suatu suatu perpustakaan yng tidak kecil.
  6. Keindahan karya ini terdapat terdapat pada kecermatan penyusun dalam menukil berbagai pendapat yang kontroversial, lalu mempertemukan pendapat-pendapat tersebut yang secara eksplisit terlihat kontradiktif. Penyusun menjelaskan bahwa bahwa perbedaan pendapat antar ulama itu terjadi karena adanya perbedaan pendapat sekaligus pemahaman diantara mereka. Hal ini dibahas dalam bab hadits munqathi’, mursal, syâdz, munkar dan lain sebagainya.
  7. Penolakan beliau terhadap gagasan beberapa penulis disiplin ‘ulûm al-hadîts dengan menggunakan ungkapan yang yang sangat hati-hati dan sopan. Dengan demikian, penyusun memiliki persamaan metode dengan para imam hadits dalam melakukan kritik, seperti Imâm Ahmad, al-Bukhârî dan Muslim. Cara yang paling tepat untuk itu adalah footnote pada pembahasan tentang pembagian hadits mutawwatir serta pembahasan ziyâdat al-tsiqât.
  8. Ketegasan penyusun dalam menolak sebagian pendapat orientalisme (al-isytiarâqiyyah) yang tidak berpijak pada landasan ilmiah yang benar sekaligus hanya sekedar hasil pemikiran orang-orang Nashrani yang secara terang-terangan muncul menyerang Sunnah. Hal ini dapat ditemukan dalam beberapa pembahasan seperti pada pembahasan hadits masyhûr.
  9. Pembahasan dalam buku ini menunjukkan keantusiasan penyusun dalam menjelaskan metode para muhadditsîn dalam melakukan kritik hadits, baik kritik internal (al-naqd al-dakhilî) atau kritik matan ataupun kritik eksternal (al-naqd al-khârijî) atau kritik sanad, dimana kajian kritik ini merupakan metode yang prinsip dan mendetail.
  10. Penyusun menunjukkan kecermatan aplikasi umat Islam terhadap metode pengkajian yang kritis, komplit dan komprehensif disamping mematahkan asumsi para orientalis yang melontarkan sejumlah pendapat yang tidak tepat dalam masalah ini.[34]
Dalam pernyataan penyusun sendiri, kitab ini berusaha mengelaborasi kaidah-kaidah ‘ulûm al-hadîts dengan tujuan membela hadits Nabi serta memisahkan yang shahîh dari yang tidak shahîh serta yang maqbûl dari yang tidak maqbûl. Selain itu, terkait dengan metode, kitab ini menjadikan masalah ‘ulûm al-hadîts untuk saling melengkapi dari sebelumnya berserakan sekaligus ngin membawa pembaca ke arah pemikiran yang menyeluruh dan teratur mencakup seluruh cabang ‘ulûm al-hadîts.[35]
Adapun sistematika dalam kitab ini berbentuk khas dan baru sebab ‘Itr mengkelompokkan pembahasan berdasarkan objek-objek yang didalamnya diungkapkan tentang kaidah-kaidah yang menyertai setiap pembahasan. Sistematika penulisan kitab dibagi menjadi delapan bab, yaitu:
1.       Bab pertama berisikan pembahasan tentang pengertian umum mushthalah al-hadîts yang mencakup pengertian dan maksud ‘ulûm al-hadîts, tahap-tahap ‘ulûm al-hadîts, para penulisnya, kitab-kitabnya dan informasi tentang hapalan dan tulisan para shahabat tentang hadits.
2.       Bab kedua berisikan pembahasan tentang para periwayat hadits, mencakup dua pasal dan dua mabâhits. Pasal pertama tentang ilmu yang berkaitan dengan ahwal periwayat dan syarat-syarat diterima dan ditolaknya periwatannya, sedangkan pasal kedua tentang ilmu yang berkaitan dengan identitas periwayat. Pasal terakhir meliputi dua mabâhits, yaitu:
a.       Ilmu yang berkaitan dengan sejarah para periwayat.
b.      Ilmu yang berkaitan dengan nama-nama periwayat.
3.    Bab ketiga berisi pembahasan tentang seputar ‘ilm riwâyat al-hadîts, mencakup penerimaan, penyampaian, dan penulisan hadits disertai pembahasan tentang adab atau tata tertib masing-masing, berikut istilah-istilah yang berkaitan dengan kitab hadits.
4.    Bab keempat berisi pembahasan tentang diterima dan ditolaknya hadits, mencakup dua pasal, yaitu:
a.       Jenis-jenis hadits yang dapat diterima.
b.      Jenis-jenis hadits yang ditolak, yaitu hadits dha’îf dengan pembagiannya.
5.    Bab kelima berisi pembahasan yang berkaitan dengan matn al-hadîts, mencakup dua pasal, yaitu:
a.       Pengetahuan matan dari segi orang yang mengucapkan.
b.      Pengetahuan matan dari segi dirâyah-nya.
6.    Bab keenam berisi pembahasan yang berkaitan sanad hadits, mencakup dua pasal, yaitu:
a.       Pengetahuan sanad ditinjau dari segi ketersambungannya.
b.      Pengetahuan sanad dari segi keterputusannya.
7.    Bab ketujuh berisi pembahasan yang berkaitan dengan pengetahuan hadits ditinjau dari segi matan dan sanad secara bersamaan, didalamnya terdapat tiga pasal, yaitu:
a.       Hadits tunggal.
b.      Hadits yang beragam tapi serupa.
c.       Iktilâf riwâyat al-hadîts.
Kemudian ditutup dengan pembahsan tentang beberapa perdebatan dan kesimpulan umum.[36] Jumlah seluruh pembahasan yang berkaitan dengan ‘ulûm al-hadits, di luar pembahasan sejarah adalah 85 macam, dibagi dalam tujuh kelompok bagian, yaitu bagian yang menggambarkan objek kajian. Dengan metodologi yang seperti ini, buku ini sangat baik bagi ingin memperdalam lebih jauh kajian ‘ulûm al-hadîts karena memberikan bahasan yang sangat luas, komparatif, dan analitis.[37]

4. ‘Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuh karya Shubhî al-Shâlih[38]
            Sebagaimana yang dijelaskan oleh penyusun kitab ini, tujuan dari bukan hanya sebatas meringkas atau memperjelas karya-karya yang muncul sebelumnya, tetapi juga mengkaji persoalan metodologisnya secara tahlîlî dengan menggunakan pendekatan historis sehingga menjadikan kitab ini ke dalam bagian yang berjenis al-mabâhits al-naqdiyyah.[39] Adapun tawaran sistematika yang dilakukan oleh Shubhî al-Shâlih adalah dengan membagi pembahasan ke dalam 5 bab dengan 20 fashal, yaitu:
  1. Bab pertama tentang penjelasan sejarah hadits yang memuat lima fashal, yaitu:
a.      Fashal pertama berisikan penjelasan tentang istilah hadits, Sunnah dan yang lainnya, seperti khabar, atsar, mawqûf, maqhthû, marfû’ dan hadits qudsî.
b.      Fashal kedua berisikan seputar kodifkasi hadits yang mencakup periode sebelum Islam sampai akhir periode periwayatan.
c.       Fashal ketiga berisikan al-rihlah fî thalab al-‘ilm.
d.      Fashal keempat berisikan madrasah hadits beserta gelar-gelar muhaditsîn.
e.      Fashal kelima berisikan penjelasan tahammul al-hadîts veserta bentuk-bentuknya.
  1. Bab kedua membahas tentang penjelasan seputar ‘ulûm al-hadîts yang mencakup tiga fashal, yaitu
a.       Fashal pertama berisikan tentang penjelasan ilmu hadits, baik menyangkut dirâyah maupun riwâyah beserta ruang lingkupnya.
b.      Fashal kedua berisikan penjelasan tentang kitab-kitab hadits riwâyah beserta tingkatan-tingkatannya.
c.       Fashal ketiga berisikan penjelasan tentang persyaratan seorang rawi.
  1. Bab ketiga membahas tentang mushthalah al-hadîts yang terbagi menjadi tujuh fashal, yaitu
a.       Fashal pertama berisikan penjelasan tentang pembagian hadits.
b.      Fashal kedua berisikan penjelasan tentang hadits shahîh beserta permasalahan yang terkait dengannya.
c.       Fashal ketiga berisikan penjelasan tentang hadits hasan beserta ruang lingkupnya.
d.      Fashal keempat berisikan penjelasan tentang hadits dha’îf beserta pembagiannya termasuk penjelasan tentang hadits mawqûf dan maqhtû’ apakah termasuk hadits dha’îf? Serta penjelasan tentang pengamalan tentang hadits dha’îf.
e.      Fashal kelima berisikan penjelasan tentang permasalahan yang terkait dengan ketiga macam hadits di atas, dimana didalamnya dijelaskan tentang 18 istilah.
f.         Fashal keenam berisikan penjelasan tentang hadits mawdhû’ beserta sebab-sebab kepalsuannya.
g.      Fashal ketujuh berisikan penjelasan tentang hadits yang samar dan yang jelas keshahihannya.
  1. Bab keempat membahas tentang kedudukan hadits yang terbagi menjadi empat fashal, yaitu:
a.       Fashal pertama berisikan penjelasan tentang kedudukan hadits dalam syari’at.
b.      Fashal kedua berisikan penjelasan tentang hujjah hadits shahîh dalam syari’at.
c.       Fashal ketiga berisikan penjelasan tentang kedudukan hadits dalam ilmu sastra.
d.      Fashal keempat berisikan penjelasan tentang ber-hujjah dengan hadits dalam kajian linguistik serta konjugasi (al-lughah wa al-nahw).
  1. Bab kelima membahas tentang tingkatan-tingkatan rawi (thabâqat al-ruwât) yang terbagi menjadi enam fashal, yaitu:
a.       Fashal pertama berisikan pembahasan tentang Ibn Sa’ad dan metodologi penyusunan Kitab Thabâqat-nya.
b.      Fashal kedua berisikan penjelasan tentang urutan sejarah periwayat.
c.       Fashal ketiga berisikan penjelasan tentang biografi shahabat.
d.      Fashal keempat berisikan penjelasan tentang biografi tabi’in besar.
e.      Fashal kelima berisikan penjelasan tentang biografi atba’ tabi’in.
f.         Fashal keenam berisikan tentang biografi itba’ atba’ tabi’in.[40]
            Perbedaan yang nampak, apabila dibandingan dengan karya-karya sebelumnya di atas, dalam kitab ini adalah sistematikanya yang tidak disusun secara sistematis. Hal ini dapat dilihat ketika menjelaskan kualitas hadits, maka persoalan tersebut dibahasnya bersamaan dengan permasalahan terkait lainnya secara menyeluruh dan tidak menempatkannya pada bagian khusus. Misalnya, menggabungkan pembahasan hadits mutawatir dengan hadits shahîh[41] atau menggabungkan persolan riwayat hadits bi al-ma’â dan bi al-lafzhî dengan pembahasan gelar-gelar ahli hadits.[42] Meskipun demikian, kitab ini sangat membantu bagi yang mengkaji persoalan hadits secara kritis.


5.   Qawâ’id ´Ushûl al-Hadîts karya Ahmad ‘Umar Hâsyim
            Secara umum karya Ahmad ‘Umar Hâsyim ini lebih memfokuskan pembahasan cabang ‘ulûm al-hadîts, khususnya persoalan yang berkaitan dengan tiga kualitas hadits, yaitu hadits shahîh, hasan dan dhâ’îf. Kelebihan kitabnya terletak dari pemakaian sistem pointer dalam menjelaskan persoalan-persoalan yang akan dibahasnya. Terkait dengan sistematika, maka pembagian pembahasan dapat dipilah menjadi 10 tema, yaitu:
1.    Berisikan pembahasan tentang ‘ulûm al-hadîts yang mencakup tentang prinsip-prinsip utamanya, seputar peristilahan penting, definisi serta ruang lingkup kajiannya.
2.    Berisikan pembagian hadits.
3.    Berisikan pembagian macam-macam hadits dha’îf yang meliputi hadits dha’îf dari segi keterputusan sanad, hadits dha’îf dari segi kurangnya persyaratan keadilan rawi, hadits dha’îf dari segi kurangnya persyaratan kedhabitan rawi, hadits dha’îf dari segi syâdz, hadits dha’îf dari segi ‘ilal.
4.    Berisikan pembagian hadits berdasarkan sandarannya.
5.    Berisikan pembagian hadits dari thuruq-nya, yaitu hadits mutawwatir dan âhâd.
6.    Berisikan penjelasan tentang macam-macam hadits yang berkaitan dengan hadits shahîh, hasan, dha’îf.
7.    Berisikan penjelasan tentang periwayatan dan sebab-sebabnya.
8.    Berisikan penjelasan tentang kritik kitab hadits, yaitu karya al-Bukhârî dan Muslim.
9.    Berisikan penjelasan nâsikh wa mansûkh dalam hadits.
10.  Bersisikan penjelasan tentang shahabat.[43]

C. Signifikansi Pergeseran ‘Ulûm al-Hadîts Periode Modern
            Setelah melihat berbagai tawaran corak sistematika penyusunan dan penulisan dalam beberapa kitab ‘ulûm al-hadîts yang muncul pada periode modern, maka terlihat adanya pergeseran secara signifikan dalam konteks tersebut. Dalam periode ini, yang ditandai dengan kemunculan karya al-Qâsimî, terjadi perubahan manhaj (metodologi) secara substansial. Selain disebabkan oleh adanya faktor situasi dan kondisi serta keadaan zaman, perubahan juga terjadi karena adanya tuntutan pembelajaran yang efektif, serta pembahasan yang kritis sekaligus analitis.
            Ciri yang menonjol dari manhaj periode ini adalah melakukan pembahasan secara komprehensif terhadap semua karya ‘ulûm al-hadîts yang telah muncul sebelumnya, kemudian dilanjutkan dengan memberikan sejumlah analisis terhadap karya-karya tersebut. Adapun sistematika yang ditawarkan adalah memberikan pengantar dalam sejarah perkembangan hadits, periwayatan dan pembukuan serta memberikan pengantar ‘ulûm al-hadîts yang meliputi persoalan definisi, objek dan ruang lingkup kajian pada permulaan pembahasan. Setelah itu, kajian ‘ulûm al-hadîts lebih diorientasikan dengan melakukan perubahan susunan dan pengelompokkan dari setiap cabang, yaitu tentang hadits shahîh, hasan dan dha’îf serta hal-hal yang terkait dengan ketiga macam hadits tersebut.[44]
            Pergeseran lain yang nampak dalam periode ini terdapat juga dalam pengembangan pemikiran ‘ulûm al-hadîts. Imâm al-Hâzî dalam karyanya al-‘Ajâlah menyatakan bahwa ilmu hadits menghimpun bermacam-macam ilmu yang, jikalau dihitung, mencapai ratusan, setiap macam ilmu merupakan ilmu yang dapat berdiri sendiri.[45] Oleh sebab itu, penambahan dalam pemikiran ‘ulûm al-hadîts merupakan suatu keniscayaan untuk terus bertambah. Dalam karya al-Qâsimî pemikiran ‘ulûm al-hadîts terpecah menjadi 160 pembahasan, dalam ‘Ajjâj al-Khathîb mencapai 165 pembahasan, Nuruddin ‘Itr mencapai 85 pembahasan dan seterusnya. Adapun kategori pemikiran ‘ulûm al-hadîts yang penulis maksudkan mencakup antara lain al-khabar wa al-hadîts wa al-Sunnah wa al-âtsâr, al-mutawwatir, al-âhâd: al-masyhûr dan al-mustafîdh, al-azîz, al-gharîb, shahîh lidzâtih, hasan lidzâtih, ziyâdah tsiqat, al-mahfûzh wa al-syâdz, al-ma’ruf wa al-munkar, al-mutâbi’ah wa al-syâhid, muhkam al-hadîts wa mukhtalif al-hadîts, al-nâsikh wa al-mansûkh.
            Selain itu, al-hadîts al-mardûd, al-mu’allaq, al-mursal, al-mu’dhal wa al-munqathi’, al-mudallas wa al-mursal al-khafî, al-mawdhû’, al-matrûk, al-mu’allal, al-mudraj, al-maqlûb, al-mazîd wa al-mudhtharib, al-mushahhaf wa al-muharraf wa ikhtishâr al-hadîts wa al-riwâyat al-ma’nâ, gharîb alfâzh al-hadîts, musykil al-hadîts, al-juhâlah bi al-râwî, al-mubham, majhûl al-‘ayn wa majhûl bi al-hâl, al-bid’ah, sû’u al-hifzh, al-matn bi hasbi mâ yudhâfu ilyhi, al-shâhabî, al-tâbi’î wa al-muhadhramin, al-marfû’, al-mawqûf, al-musnad serta lain sebagainya.
            Pergeseran terakhir yang penulis lihat dalam karya-karya modern adalah adanya pergeseran dalam materi ‘ulûm al-hadîts. Misalnya dalam kaidah keshahihan sanad. Secara umum, setiap penyusun kitab periode modern sepakat bahwa kreterium keshahihan sanad adalah (1) muttashil, (2) periwayat yang adil, (3) periwayat yang dhabith, (4) selamat dari kejanggalan atau syudzûdz dan (5) selamat dai ‘illat. Perbedaan diantara tokoh-tokoh periode ini terjadi hanya dalam ruang lingkupnya saja. ‘Itr, misalnya, lebih memfokuskan dalam persolan keadilan dan kedhabithan periwayat.[46] Dalam pembahasan keadilan, ‘Itr mensyaratkan (1) seorang Muslim, (2) baligh, (3) berakal, (4) seorang yang takwa dan (5) harus bisa menjaga kehoratan diri.[47] Sedangkan dalam kedhabithan, ‘Itr, sembari menukil pendapat Ibn Shalâh, mensyaratkannya dengan melakukan studi komparasi periwayatan dengan riwayat rawi yang telah terkenal akan kedhabitan dan kecakapannya, sehingga apabila riwayatnya berkesesuaian, sekalipun secara bi al-ma’nâ, dengan riwayat yang sudah terkenal kedhabitannya atau terjadi sedikit kesalahan, maka dapat dipastikan kedhabitan riwayatnya. Namun, jikalau kesalahannya terlampau banyak, maka dipastikan riwayatnya tidak diterima.[48]
            Ahmad ‘Umar Hâsyim lebih menjabarkan kaidah keshahihan sanad dengan penjelasan lebih detail, yaitu dalam kemuttashilan sanad, setiap rawi harus menerima dari rawi sebelumnya sehingga bersambung sampai Nabi Saw. Hal ini dilakukan untuk menjaga riwayat agar tidak berubah menjadi munqathi’,[49] mu’dhal,[50] mu’allaq[51] dan mursal.[52] Tentang keadilan rawi hampir senada dengan yang diungkapkan oleh ‘Itr. Hanya saja keadilan rawi lebih dtekankan dalam ketakwaannya serta kemampuan menjaga kehormatan diri. Ketakwaan berarti mampu melaksanakan hal-hal yang diperintahkan dan menjauhi hal-hal yang dilarang, seperti kufur atau fasik. Selain itu, tidak memiliki keyakinan berbeda dengan Nabi Saw dan salaf al-shâlih. Adapun kemampuan menjaga kehormatan diri lebih ditekankan dalam (1) tidak melakukan perbuatan dosa kecil, seperti mencuri dan (2) tidak melakukan perbuatan yang mubah, seperti kencing sembarangan atau bersenda gurau secara berlebihan yang keluar dari batas-batas kesopanan.[53]
            Shubhî al-Shâlih memiliki sedikit perbedaan dalam persyaratan tentang kaidah keshahihan sanad, dimana beliau menggabungkan syarat adil dan dhabit menjadi satu. Hal ini tergambar jelas dari definisi hadits shahîh yang diungkapkannya, yaitu:
الحديث الصحيح: الحديث المسند الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط، حتي ينتهي إلي رسول الله صلّي الله عليه وسلّم أو إلي منتهاه من صحابي أو من دونه، ولا يكون شاذا ومعللا.
Hadits shahîh adalah hadits al-musnad yang rangkaian sanadnya bersambung, yang dinukil oleh rawi yang adil dhabith dari rawi yang adil dhabith pula sehingga sampai kepada Rasulullah Saw atau kepada shahabat atau selainnya serta yang tidak memiliki syâdz dan ‘illat.
            Dari pengertian di atas, maka Shubhî al-Shâlih menetapkan syarat kesahihan sanad menjadi (1) hadits shahîh adalah hadits al-musnad,[54] yaitu hadits yang rangkaian sanadnya bersambung sejak awal sampai akhir periwayatan. Hadits al-musnad juga terkadang diistilahkan dengan al-muttashil atau al-mawshûl. Dengan demikian, hadits al-mursal – yang dalam rangkaian sanadnya terdapat rawi shahabat yang gugur – menurut pendapat yang valid adalah dha’îf. Begitu pula dengan hadits al-munqathi’, yaitu gugurnya seorang rawi dalam rangkaian sanad atau terdapatnya seorang rawi samar (mubhamân) dalam rangkaian sanad yang mengindikasikan gugurnya rawi yang dimaksud (wa al-ibhâm asybah bi al-suqûth), bukan termasuk hadits shahîh. Demikian pula dengan hadits al-mu’dhal, yaitu gugurnya dua orang rawi atau lebih dalam rangkaian sanad. Syarat lainnya adalah (2) tidak syâdz, yaitu riwayat yang tidak menyalahi riwayat rawi yang tsiqat, (3) tidak ber-illat dan (4) rawi-rawi dalam rangkaian sanad harus bersifat adil dan dhabith karena apabila salah satu kreteria keadilan dan kedhabitannya[55] hilang, maka riwayat tersebut berubah menjadi dha’îf.[56]
            Sedangan menurut ‘Ajjâj al-Khathîb, kaidah keshahihan sanad memiliki 5 persyaratan, yaitu (1) rangkaian sanad yang bersambung sehingga hadits al-muqathi´, al-mu’dhal, al-mu’allaq, al-mudallis serta lain sebagainya tidak termasuk kriteria ini, (2) rawi yang bersifat adil, yaitu yang istiqamah dalam agama, bagus budi pekertinya, selamat dari kefasikan serta mampu menjaga muru´ah, (3) rawi yang bersifat dhâbith, (4) riwayatnya selamat dari syâdz serta (5) riwayatnya selamat dari illat. Berdasarkan kriterium ini, Ajjâj al-Khathîb berkesimpulan bahwa definisi hadits shahîh adalah hadits yang rangkaian sanadnya besambung, yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqat dari rawi yang tsiqat pula, baik dari awal sampai akhir sanad serta tidak terindikasi syâdz dan illat.[57]

D. Purnawacana
            Berdasarkan paparan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kemunculan karya-karya ‘ulûm al-hadîts dalam periode modern diakibatkan oleh (1) adanya kekhawatiran terhadap eksistensi Sunnah yang semakin melemah dalam posisi umat yang diakibatkan oleh munculnya kajian-kajian ilmiah dari orientalisme yang sangat berat sebelah dalam melihat otentisitas Sunnah, (2) tuntutan situasi dan kondisi zaman yang meniscayakan adanya perubahan sistematika penulisan dan penyususnan serta metodologi kajian ‘ulûm al-hadîts yang lebih mampu berinteraksi dengan semangat zaman dan (3) munculnya rasionalisasi esktrem terhadap eksistensi Sunnah sehingga memunculkan golongan inkar Sunnah.
            Adapun pergeseran yang timbul dari karya-karya ‘ulûm al-hadîts periode ini dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu (1) pergeseran dalam metodologi (manhaj) yang lebih menekankan efektifitas, nalar kritis serta studi analitis, (2) pergeseran dalam pemikiran ‘ulûm al-hadîts serta (3) pergeseran dalam materi ‘ulûm al-hadîts ke dalam sistematika yang bersifat komprehensif yang disertai dengan status keilmiahan yang sangat tinggi. Realitas ini memberikan suatu keniscayaan bahwa pengembangan konsep-konsep ‘ulûm al-hadîts akan terus bisa dilakukan oleh sarjana-sarjana Muslim sesuai dengan realitas historis yang melingkupi kehidupan umat Muslim itu sendiri. Wallahu a’lam bishawâb.









































DAFTAR PUSTAKA


Abû Zahw, Muhammad Muhammad, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn (Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1984), cet. IV.
Al-A’dhamî, Muhammad Mushtafâ, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), cet. II.
Al-Khathîb, Muhammad ‘Ajjâj, al-Sunnah Qabla al-Tadwîn (Beirut: Dâr al-Fikr, 1997), cet. VI.
                                                   , Ushûl al-Hadîts: ‘Ulûmuh wa Mushthalahuh (Beirut: Dâr al-Fikr, 2006), Edisi Revisi, cet. I.
Al-Qasimî, Muhammad Jamâl al-Dîn, Qawâ’id al-Tahdîts mn Funûn Mushtalah al-Hadîts (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1979), cet. I.
Al-Shâlih, Shubhî, ‘Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuh (Beirut: Dâr al-‘Ilm al-Malâyîn, 1988), cet. XVII.
Hallaq, Wael B, Kontroversi Seputar Terbuka dan Tertutupnya Pintu Ijtihad, terj. Nurul Agustina, dalam Jurnal Al-Hikmah, (Bandung, Yayasan al-Muthahhari, 1992), No VII, November – Desember.
Hâsyim, Ahmad ‘Umar, Qawâ’id ´Ushûl al-Hadîts (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th).
Hourani, Albert, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, terj. Suparno dkk (Bandung: Mizan Pustaka, 2004), cet I.
‘Itr, Nûr al-Dîn, Manhaj al-Naqd fî ‘Ulûm al-Hadîts (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1981), cet. II.
Kurzman, Charles, “Islam Liberal dan konteks Islaminya” dalam pengantar buku Kurzman, Charles (ed.), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global, terj. Bahrul Ulum & Heri Junaidi (Jakarta: Paramadina, 2003), cet. II.
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), cet. II.
Rodliyana, M. Dede, Perkembangan Pemikiran Ulum Hadits dari Klasik sampai Modern (Bandung: Pustaka Setia, 2004), cet. I.
Yaqub, Ali Mustafa, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), cet. III.


[1] Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), cet. II, hlm. 11-12.
[2] Modernisme dalam masyarakat Barat diartikan dengan pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk merubah paham-paham, adapt istiadat, institusi-institusi lama dan lain sebagainya untuk kemudian disesuaikan dengan suasana baru yang dihasilkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
[3] Wael B. Hallaq, dalam salah satu tulisannya, mensinyalir bahwa kontroversi seputar terbuka dan tertutupnya pintu ijtihad, secara historis, muncul sekitar tahun 500 H. Kontroversi tersebut berbentuk silang pendapat kesarjanaan antara seorang ahli hukum dari mazhab Hanbali, yaitu Ibn ‘Aqîl (w. 513 H/1119 H) dengan seorang sarjana mazhab Hanafi yang tidak diketahui namanya. Dalam silang pendapat tersebut, Ibn ‘Aqîl menolak pandangan lawannya yang bersikeras bahwa “pintu penghakiman (bâb al-qadhâ)” telah tertutup karena tidak ada lagi orang yang pantas disebut mujtahid. Kesimpulan yang diambil Hallaq, berdasarkan penelitiannya, menegaskan bahwa asal muasal kontroversi tersebut lebih banyak pada persoalan teologis daripada hukum sekaligus menandaskan pula bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Lihat, Hallaq, Wael B, Kontroversi Seputar Terbuka dan Tertutupnya Pintu Ijtihad, terj. Nurul Agustina, dalam Jurnal Al-Hikmah, (Bandung, Yayasan al-Muthahhari, 1992), No VII, November – Desember, hlm 43-54.
[4] Kurzman, Charles, “Islam Liberal dan konteks Islaminya” dalam pengantar buku Kurzman, Charles (ed.), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global, terj. Bahrul Ulum & Heri Junaidi (Jakarta: Paramadina, 2003), cet. II, hlm. xviii-xxi. Sebuah buku khusus bahkan ditulis oleh Albert Haorani untuk memotret perkembangan pemikiran Islam liberal di dunia Arab, yaitu Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1939, (Royal Institute of International Affairs, 1962) dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Pemikiran Liberal di Dunia Arab, terj. Suparno dkk (Bandung: Mizan Pustaka, 2004). Buku ini melakukan kajian historiografi pemikiran-pemikiran Islam liberal dan relevansinya dengan konteks modernisme Islam, dimana Hourani membagi pembabakan era liberal kepada tiga generasi yang terdiri dari generasi pertama (1830-1870 M), generasi kedua (1870-1900 M) dan generasi ketiga (1900-1939 M). Dan, sebagaimana yang dapat diprediksikan sebelumnya, lagi-lagi nama Sayyid Jamâluddîn al-Afghânî dan Muhammad ‘Abduh muncul sebagai juru bicara generasi ketiga pemikir Islam Liberal. Lihat, Assyaukanie, Luthfi, Pengantar dalam buku Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, terj. Suparno dkk (Bandung: Mizan Pustaka, 2004), cet I, hlm. xix-xxi.
[5] Yaqub, Ali Mustafa, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), cet. III, hlm. 47 juga dalam Muhammad Mushtafâ al-A’dhamî, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), cet. II, hlm. 46.
[6] Beberapa tokoh orientalis yang intens dalam mengkaji persoalan Hadits yang terekam dalam data penulis adalah Ignaz Goldziher dalam bukunya Muhammedanische Studien atau Muslim Studies dan an Introduction to Islamic Law and Theology, D. S. Margoliouth dalam bukunya Early Development, Josef Schacht dalam bukunya Origins of Muhammad Jurisprudence dan an Introduction to Islamic Law, G. H. A Juynboll dalam buku-bukunya The Authenticity of the Tradition Literature: Discussion in Modern Egypt, Studies on the First Century of Islamic Society, Muslim Tradition: Studies in Chronology Provenance and Autorship of Early Hadith, Studies on the Origins and Uses of Islamic Hadith, Nabia Abbott dalam buku Quranic Commentary and Tradition, Herbert Berg dalam bukunya The Development of Exegesis in Early Islam: The Authenticity of Muslim Literature from the Formative Period, Norman Calder dalam buku Studies in Early Muslim Jurisprudence, Michael Cook dalam buku Early Muslim Dogma, Harald Moztzki, Daniel W Brown dalam buku Rethingking Tradition in Modern Islamic Thought dan David S. Powers dalam buku Studies in Qur´an and Hadith. Sebagian buku-buku tersebut telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Data disarikan dari perkuliahan S1 dalam mata kuliah Kajian Hadits di Barat.
[7] Rodliyana, M. Dede, Perkembangan Pemikiran Ulum Hadits dari Klasik sampai Modern (Bandung: Pustaka Setia, 2004), cet. I, hlm 101. Buku ini sendiri merupakan pengembangan dari tesis M. Dede Rodliyana di UIN Jakarta dibawah bimbingan Dr. Yusuf Rahman, MA dan Dr. Luthfi Ahmad Fathullah, MA. Tanpa bermaksud untuk melakukan plagiatisme, penulis dalam makalah ini akan banyak merujuk sistematika dan informasi dalam buku ini dalam mengelaborasi sejarah perkembangan ilmu Hadits era modern (abad 14 s/d sekarang). Namun, untuk mempertahankan bobot keilmiahan, maka penulis membandingkan sistematika dan informasi dalam buku ini dengan referensi-referensi asli yang penulis miliki.
[8] Lihat, ‘Itr, Nûr al-Dîn, Manhaj al-Naqd fî ‘Ulûm al-Hadîts (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1981), cet. II, hlm. 36-72. Secara spesifik hal ini dituangkan oleh ‘Itr dalam bukunya dengan sub judul adwâr ‘ulûm al-hadîts atau fase-fase perkembangan ilmu hadits.
[9] Tentang hadits shahîh, al-Qâsimî menyatakan:
قال أئمةُ الفن: الصحيح مااتصل سَنَدُه بنقل العدْل الضابط عن مثله، وسَلِمَ عن شذوذ وعلّة، ونعني بالمتصل مالم يكن مقطوعًا بأيِّ وجهٍ كان، فخرج المنقطعُ والمعضَلُ والمرسَلُ علي رأي من لا يقبله، وبالعدل من لم يكن مستورَ العدالة ولا مجروحًا فخرج مانقله مجهولُ عينًا أو حالا أو معروفُ بالضعْف، وبالضابط من يكون حافظًا متقيِّظًا فخرج ما نقله مغفَّلٌ كَثِيْرُ الخطأ. وبالشذوذ ما يرويه الثِّقةُ مخالفًا لرواية الناس. وبالعلّةِ مافيه أسبابٌ خفيةٌ قادحة، فخرج الشاذُّ و المعلَّلُ. وسيأتي بيان هذه المخرِّجات إن شاء الله تعالي.
                Al-Qasimî, Muhammad Jamâl al-Dîn, Qawâ’id al-Tahdîts min Funûn Mushtalah al-Hadîts, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1979), cet. I, hlm. 79-80.
[10] Tentang hadits hasan, al-Qâsimî menyatakan:
قال العلامة الطيبي: ((الحسن مُسنَدُ من قَرُب من درجة الثقة، أو مُرسَل ثقة، ورُوي كلاهما من غير وجهٍ، وسَلِمَ من شذوذ وعلّة)) وهذا الحدُّ أجمع الحدود التي نقلت في الحسن وأضبطُها، وإنّما سُمِّي حسنًًا لحسن الظنِّ براويه.
                Ibid., hlm. 102.
[11] Tentang hadits dha’îf, al-Qâsimî menyatakan:
قال النواوي: ((الضعيف مالم يوجد فيه شروطُ الصحة، ولا شروط الحُسْن، وأنواعُه كثيرةٌ: منها الموضوع، والمقلوب، والشاذ، والمنكر، والمضطرب، وغير ذلك)) مما سيفصّل بعنوعه تعالي.
                Ibid., hlm. 108.
[12] Sedangkan pembahan yang terkait dengan ketiga macam hadits di atas adalah pembahasan tentang al-musnad (المسند), al-muttashil (المتصل), al-marfû’ (المرفوع), al-mu´annan (المؤنّن), al-mu’allaq (المعلق), al-mudraj (المدرج), al-masyhûr (المشهور), al-mustafîdh (المستفيد), al-gharîb (الغريب), al-‘azîz (العزيز), al-mushahhaf (المصحّف), al-munqalib (المنقلب), al-musalsal (المسلسل), al-‘âlî (العالي), al-nâzil (النازل), al-fard (الفرد) dan al-mutâbi’ (المتابع). Adapun pembahasan yang secara spesifik berkaitan dengan hadits dha’îf adalah al-mawqûf (الموقوف), al-maqthû’ (المقطوع), al-munqathi’ (المنقطع), al-mu’dhal (المعضل), al-syâdz (الشاذ), al-munkar (المنكر), al-matrûk (المتروك), al-mu’allal (المعلّل), al-mudhtharib (المضطرب), al-maqlûb (المقلوب), al-mudallas (المدلس) dan al-mursal (المرسل). Lihat, Ibid., hlm. 123-136.
[13] Beliau adalah cendekiawan al-Azhar sekaligus dosen pada Fakultas Ushuluddin di Universitas al-Azhar.
[14] Abû Zahw, Muhammad Muhammad, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn (Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1984), cet. IV, hlm. 7. Untuk kelengkapan sistematika pembahasan bisa dilihat pula dalam Fihris di bagian akhir dari kitab tersebut.
[15] Rodliyana, M. Dede, op.cit., hlm. 101-102.
[16] Ibid.
[17] Dhâfir al-Qâsimî, “al-Sayyid Muhammad Jamâl al-Dîn al-Qâsimî al-Damsyiqî”, dalam al-Qasimî, Muhammad Jamâl al-Dîn, op.cit., hlm. 20.
[18] Arsalân, Syakîb, dalam “al-Sayyid Muhammad Jamâl al-Dîn al-Qâsimî al-Damsyiqî”, dalam Ibid., hlm. 8.
[19] Dhâfir al-Qâsimî dalam Ibid., hlm 20-21.
[20] Ibid., hlm. 27.
[21] Sebagaima yang terungkap dalam pengakuan al-Qâsimî bahwa, “Wa innamâ jami’tu hadzâ al-mukhtashar al-mubârak, in syâ´ Allah Ta’âlâ, liman shunifat lahum al-tashânîf wa ‘uniyat bihidâyatihim al-‘ulamâ´ wa hum ma jumi’a khamsah awshâf, mu’zhamuhâ al-ikhlâsh, wa al-fahm wa al-inshâf …” Lihat, “Muqaddimah: fî Mathâli’ Muhimmat”, dalam Ibid., hlm. 39.
[22] Rodliyana, M. Dede, op.cit., hlm 102-103.
[23] Ridhâ, Muhammad Rasyîd, “al-Ta’rîf bi al-Kitâb”, dalam al-Qasimî, Muhammad Jamâl al-Dîn, op.cit., hlm. 13.
[24] Tentang pembagian pembahasan yang dilakukan oleh al-Qâsimî dalam karyanya ini dapat dilihat dalam Fihris. Lihat, Ibid., hlm. 411-415.
[25] Rodliyana, M. Dede, op.cit., hlm 103-104.
[26] Lihat, keterangan penyusun di bagian “Muqaddimah”, dalam al-Khathîb, Muhammad ‘Ajjâj, Ushûl al-Hadîts: ‘Ulûmuh wa Mushthalahuh (Beirut: Dâr al-Fikr, 2006), Edisi Revisi, cet. I, hlm. 5.
[27] Ibid., hlm 3.
[28] Lihat, keterangan penyusun di bagian “Muqaddimah”, dalam al-Khathîb, Muhammad ‘Ajjâj, al-Sunnah Qabla al-Tadwîn (Beirut: Dâr al-Fikr, 1997), cet. VI, hlm. 10. Alasan lain yang melatarbelakangi penulisan karyanya ini bisa dibaca secara lengkap dalam referensi yang dirujuk penulis.
[29] Loc.cit.
[30] Tentang ilmu hadits dirâyah, ‘Ajjâj al-Khathîb menyatakan:
قال ابن الأكفاني: (علم الحديث الخاص الدراية: علم يعرف منه حقيقة الرواية وشروطها وأنواعها وأحمكامها، وحال الرواة وشروطهم، وأصناف المرويات وما يتعلق بها). وقال غيره: هو علم بقوانين يعرف بها أحوال السند والمتن، وموضوعه السند والمتن. وقال شيخ الإسلام الحافظ ابن الحجر: أولي التعاريف له أن يقال (معرفة القواعد المعرفة بحال الراوي والمروي).
فعلم الحديث الخاص بالدراية – هو مجموعة القواعد والمسائل التي يعرف بها حال الراوي والمروي من حيث القبول والرد. فالراوي ناقل الحديث, والمروي ما أضيف إلي النبي صلّي الله عليه وسلّم، أو إلي غيره من الصحابة أو التايعين أو غيرهم. والمقصود بحال الراوي من حيث القبول والرد – معرفة حاله جرحا وتعديلا، وتحملا وأداء، وكل ما يتعلق مما له صلة بنقله. والمقصود بحال المروي: كل ما يتعلق بإتصال الأسانيد أوانقطاعها, ومعرفة علل الأحاديث وغير ذلك مما له صله بقبول الحديث أو رده.
                al-Khathîb, Muhammad ‘Ajjâj, Ushûl al-Hadîts … op.cit., hlm. 1
[31] Adapun tentang hadits riwâyah, ‘Ajjâj al-Khathîb menyatakan:
هو العلم الذي يقوم علي نقل ما أضيف إلي النبي صلّي الله عليه وسلّم من قول أوفعل أو تقرير أو صفة خلقية أوخلقية نقلا دقيقا محررا. فموضوع علم الحديث رواية – أقوال الرسول صلي الله عليه وسلّم وأفعاله وتقريراته وصفاته، من حيث نقلها نقلا دقيقا، فهو يتناول ضبط كل حديث ونقله.
                Ibid.
[32] Ibid., hlm. 3-5 atau dalam fihris, hlm. 319-320.
[33] Beliau adalah dosen tafsir dan hadits pada Fakultas Syari’ah di Universitas Damaskus.
[34] Abû Syuhbah, Muhammad ibn Muhammad, “al-Taqrîth”, dalam buku Nûr al-Dîn ‘Itr, op.cit., hlm. 7-10.
[35] ‘Itr, Nûr al-Dîn, “Muqaddimah al-Thab’ah al-Ûlâ”, dalam op.cit., hlm. 15-17.
[36] Ibid., hlm. 18-19.
[37] Rodliyana, M. Dede, op.cit., hlm 108.
[38] Shubhî al-Shâlih adalah dosen bahasa di Fakultas Adab pada Universitas Libanon. Diantara karya-karyanya yang lain yang telah diterbitkan adalah Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur´ân, Dirâsât fî Fiqh al-Lughah, al-Nazhm al-Islâmiyyah: Nasy´atuhâ wa Tathawwuruhâ serta Minhal al-Wâridîn Syarh Riyâdh al-Shâlihîn. Lihat dalam halaman paling akhir dari kitab‘Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuh dengan judul “Kutub al-Mu´allif al-Mathbû’ah”.
[39] Hal ini terungkap dalam pernyataannya secara eksplisit, “Faqad darasnâ âtsâr al-salaf fî ‘ulûm al-hadîts dirâsatan târîkhiyyatan tahlîliyyatan… wa hâwilna ´an nastakhlasha al-maqâyîs al-naqdiyyah al-latî nâdû bihâ min khilâl al-mushthalahât al-katsîrah al-mutafarriqah fî al-nafîs min tashânîfihim”. Lihat, “Muqaddimah”, dalam Shubhî al-Shâlih, ‘Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuh, (Beirut: Dâr al-‘Ilm al-Malâyîn, 1988), cet. XVII, hlm. ya. Untuk mengetahui secara lengkap paparan penyusun tentang tujuan dan aplikasi metodis dalam karyanya ini dapat dilihat mulai halaman tha-mim.
[40] “Fihris al-Mawdhû’ât”, dalam Ibid., hlm. 429-446.
[41] al-Shâlih, Shubhî, op.cit., hlm 146.
[42] Ibid., hlm. 73-78.
[43] “al-Fihris”, dalam Ahmad ‘Umar Hâsyim, Qawâ’id ´Ushûl al-Hadîts, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), hlm. 277-278.
[44] Model seperti terlihat dengan kentara pada karya al-Qâsimî, ‘Ajjâj al-Khathîb serta Shubhî al-Shâlih.
[45] Teks yang dimaksud berbunyi:
وقال الحازي في كتاب العجالة: ((علمُ الحديث يشتمل علي أنواع كثيرة تبلغ مئة، كلُّ نوع منها علم مستقل)).
                Al-Qâsimî, Muhammad Jamâl al-Dîn, op.cit., hlm. 79.
[46] Kelihatannya, dalam persoalan ini para ulama memang bersilang pendapat, baik membahasnya secara parsial atau komprehensif. Namun, secara genius, Ibn Shalâh berhasil menyatukan perbedaan pendapat ini. Beliau menyatakan, “Mayoritas jumhur ulam hadits dan fikih sepakat bahwa syarat bagi orang yang berhujjah dengan sebuah riwayat haruslah bersifat adil dan dhabith terhadap apa yang diriwayatkannya. Jelasnya, ia haruslah seorang Muslim, baligh, berakal, selamat dari kefasikan serta yang menjatuhkan kehormatan diri, bukan pelupa, seorang hâfizh jika meriwayatkan dari hafalan, seorang yang dhâbith jika meriwayatkan dari tulisan dan apabila meriwayatkan secara bi al-ma’nâ, maka ada syarat yang harus dipenuhi yaitu mengetahui perubahan dalam makna.” Lihat, ‘Itr, Nûr al-Dîn, op.cit., hlm. 78.
[47] Ibid., hlm. 79-80.
[48] Ibid., hlm. 80
[49] Munqathi’ adalah gugurnya seorang rawi dalam satu thabaqah atau dalam setiap thabaqah.
[50] Mu’dhal adalah gugurnya dua orang rawi atau lebih secara berturut-turut dalam satu thabaqah atau setiap thabaqah.
[51] Mu’allaq adalah hilangnya seorang rawi atau lebih sejak awal sanad.
[52] Mursal adalah hadits yang driwayatkan oleh tabi’in langsung ke Nabi Saw tanpa menyebutkan rawi shahabat. Lihat, Hâsyim, Ahmad ‘Umar, op.cit., hlm. 39.
[53] Ibid. hlm. 40. Untuk kaidah keshahihan sanad yang lain bisa dibaca secara lengkap mulai hlm. 40 dan seterusnya.
[54] Sebagian ulama memang membedakan terminologi al-musnad dengan al-muttashil. Al-muttashil adalah rangkaian sanad yang bersambung, dimana setiap rawi mendapatkan riwayat dengan metode simâ’ dari rawi di atasnya, baik marfû’ kepada Nabi Saw ataupun mawqûf kepada tabi’in. Sedangkan al-musnad, secara spesifik, adalah rangkaian sanad yang marfu´ kepada Nabi Saw. Lihat, al-Shâlih, Shubhî, op.cit., hl. 145 dalam footnote no 2.
[55] Kriterium keadilan adalah adanya istiqamah yang sempurna dalam urusan keagamaan, selamat dari kefasikan secara totalitas dan selamat dari hal-hal yang merusak muru´ah. Sedangkan kreterium kedhabitan adalah pendengaran riwayat oleh seorang rawi secara tepat, memahami riwayat secara mendalam dan mampu menghapal secara sempurna sehingga tidak mengalami perubahan, baik ketika mendengar atau menyampaikan/mentransfer. Tegasnya adalah kuat dalam hapalan serta mendalam dalam ulasan atau komentar. Lihat, Ibid., hlm. 128-129.
[56] Ibid., hlm.146.
[57] al-Khathîb, Muhammad ‘Ajjâj, Ushûl al-Hadîts … op.cit., hlm. 200-201.

Tidak ada komentar: