Kamis, 12 Agustus 2010

Berakal Dalam Agama

Dalam menjawab berbagai persoalan kehidupan yang terus bergerak dinamis dan kompleks, posisi dan peranan akal (rasio) memiliki kedudukan yang penting. Begitu pula dalam ranah agama (baca: teks-teks keagamaan). Peranan akal dalam ranah keagamaan memiliki korelasi dengan adigium “shâlih li kulli zamân wa makân”. Porsi dan posisi akal dalam merasionalisasi teks-teks keagamaan bukan hanya milik zaman kita saja. Pemberdayaan akal telah banyak dilakukan oleh kaum Muslim dan sarjana-sarjananya pada zaman terdahulu. Tegasnya, kemampuan akal – dewasa ini – diakui mempunyai relevansi yang sangat menonjol dalam melakukan reaktualisasi, rasionalisasi, dan kontekstualisasi sesuai dengan semangat zaman.
Ranah kontemporer, diakui atau tidak, memiliki segudang persoalan besar yang menjurus kepada dampak negatif dalam kehidupan. Meskipun begitu, aspek positif yang hasilkannya juga telah memberi andil yang sangat luar biasa. Demikian pula dengan kehidupan agama yang mengitarinya. Agama yang hidup dalam konteks hari ini adalah agama yang harus bisa menyesuaikan dirinya dengan perkembangan kompleksitas kehidupan pemeluknya. Intinya, jikalau ingin agama yang kita anut terus survive, maka tak ada pilihan yang lebih logis selain melakukan pemahaman ulang terhadap teks-teks keagamaan kita sesuai kebutuhan. Dan ini tentu melibatkan peranan akal.
Pada titik tertentu, tak dapat disangkal bahwa kemampuan manusia dalam menggunakan akal telah menghasilkan sejumlah keuntungan-keuntungan yang membawa peradaban kita lebih bermakna dan modern. Namun, pada saat yang sama, peranan akal yang terlalu dominan telah menyebabkan keseimbangan mikrokosmos menjadi disequilibrium sehingga posisi objek dan subjek menjadi kabur, tanpa batas dan menjadi simpang-siur. Indikasi ini terlihat jelas dalam konsep dan penggunaan ilmu pengetahuan yang teraktualisasikan dalam bentuk teknologi. Alaih-alih bertujuan membebaskan manusia, justru, menurut Erich Fromm, semangat zaman ini dikategorikannya sebagai zaman alienasi yang ditandai dengan adanya keterasingan akan kepribadian diri (split personality), bersikap dan bertindak instant, termesinkan oleh teknologi serta dehumanisasi peran dan posisi sebagai manusia.
Padahal dalam fakta empiris, masifikasi akal telah banyak dipergunakan dalam banyak hal. Begitu juga dalam melakukan pembacaan ulang terhadap teks-teks keagamaan. Dalam merevitalisasi teks-teks keagamaan dewasa ini, sejumlah kalangan tertentu banyak melakukan penelitian ulang, kajian, dan diskursus dengan memanfaatkan dan melibatkan bantuan ilmu-ilmu humaniora atau sains kontemporer. Kesemua itu kemudian diracik dengan keilmuan Islam yang telah lebih dahulu muncul. Tak jarang, pada akhirnya, kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan oleh kajian dan diskursus tersebut sangat mencengangkan, bahkan, menghasilkan penemuan yang jauh melebihi dugaan sebelumnya.
***
Sebagaimana yang telah dideskripsikan sekilas di atas, peranan akal dalam memecahkan berbagai problematika kehidupan memiliki posisi yang sangat sentral dewasa ini. Sungguh tak terbayangkan jikalau manusia (yang diilustrasikan dalam khazanah peradaban Islam sebagai “hayâwanun nâthiqun”) hanya mengandalkan kemampuan instingtif (gharîzah al-nau’) dan simbol-simbol alam (bilâ tajârib) belaka. Dapat dipastikan peradaban kita tidak akan jauh berbeda dengan peradaban hewan (al-tsâqafah al-hayâwaniyyah) serta bentindak tak beradab, di mana yang kuat mengalahkan yang lemah (homo homini lupus).
Islam, sebagai sebuah agama yang memiliki dimensi paripurna (rahmatan lil ‘âlamîna), mengajarkan untuk bersikap seimbang (equal/tawâzun) dalam menyiasati roda-roda kehidupan. Dalam konsep Islam, terlalu condong dan berat sebelah dalam berkhidmat atas salah satu posisi, baik ranah duniawi-sekuler atau ukhrawi-primordial, dianggap tidak terlalu tepat. Bukan hanya akan menjadikan manusia bersikap asketis-eskeptis (untuk ukhrawi-primordial) atau cinta ranah duniawi-sekuler (hubb al-dunyâ), melainkan juga akan terganggunya saluran, sistem, norma dan aspek lain dari keseimbangan tersebut.
Ambillah contoh tentang ber-mu’amalah bayna al-nâs. Apabila yang dijadikan pusat orientasi (role oriented) hanya kepada kehidupan ukhrawi (dâr al-âkhirah) yang kemudian disertai penyikapan yang ekstrimis (tatharruf), maka dunia hanyalah merupakan lahwun wa la’ibun yang tidak memiliki manfaat apapun. Namun, jika terlalu berorietasi dunia (secular oriented), maka nilai-nilai primordial dan transendental akan tergerus dan lenyap begitu saja. Di sinilah pentingnya memahami konsep-konsep agama secara ‘ubudiyyah dan ta’aqquliyyah sekaligus membedakan keduanya dalam ranah implementasi-aksiologis. Karena dunia merupakan ladang yang subur dalam menyemaikan benih-benih kebajikan untuk mendapatkan kenikmatan di dunia kekal nanti.
Acapkali kita terjerumus kepada klaim-klaim yang bersifat pragmentatif-intensionalitas semata. Bahwa pengejaran segala bentuk kesenangan duniawi (hedonis) atau pembenaran akan kehidupan asketis dianggap merupakan jalan terbaik (the right path) adalah jelas-jelas bertolak belakang dengan semangat yang berlandaskan Alquran (Qur´anic spirit). Alquran, sebagai landasan utama (al-asâs al-ashl), jauh-jauh hari telah menandaskan bahwa keseimbangan dalam segala dimensi kehidupan manusia merupakan suatu keniscayaan dan “kebenaran”, baik untuk mengejar kehidupan ukhrawi ataupun menikmati kesenangan duniawi.
Teks-teks keagamaan yang bersifat transendental adalah pembimbing ruhani dalam menggapai hidayah (hudân) disetiap derap dan langkap rutinitas dan aktivitas kehidupan yang multi dimensi itu. Yang sekarang jadi penentu adalah; bagaimanakah kita mensikapi ajaran-ajaran agama kita untuk kemudian diaplikasikan dalam menjawab tantangan globalisasi serta bertindak berani dalam memisahkan, membedakan aspek-aspek ajaran yang bernilai ‘ubudiyyah dan ta’aqquliyyah karena hanya dengan cara inilah (ke)agama(an) kita akan menjadi lebih manfaat, mashlahat serta juru damai bagi pemeluk keyakinan yang lain. Semoga!!

Tidak ada komentar: