Jumat, 13 Agustus 2010

Mengenal Tafsir Ma'alim al-Tanzil


A. Pendahuluan
            Al-Qur´an memperkenalkan dirinya sebagai hudân li al-nâs (petunjuk bagi manusia)[1] yang akan mengantarkan dan mengarahkan pembacanya kepada jalan yang lurus.[2] Al-Qur´an juga memiliki kekuatan luar biasa yang berada di luar kemampuan apapun[3] dan tergolong ke dalam satu kitab yang memiliki pengaruh luas serta mendalam terhadap jiwa manusia pada umumnya dan kaum Muslimin pada khususnya.[4]
Al-Qur´an adalah verbum dei (kalâmullâh) yang diwahyukan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw melalui perantaraan (rûh al-amîn) Jibrîl selama kurang lebih dua puluh dua tahun proses pewahyuannya. Kesadaran terhadap hakikat Al-Qur´an sebagai wahyu Allah (kalâmullâh/verbum dei) merupakan landasan yang fundamental dalam bebagai konsep kehidupan umat Islam, baik secara normatif-ideologis, sosiologis-antropologis, filosofis-interpretatif ataupun praksis-implementatif. Kesadaran ini telah dimulai sejak wahyu pertama turun kepada Nabi Muhammad saw.
Selain itu, Kitab suci ini juga dipergunakan oleh kaum Muslimin untuk mengabsahkan perilaku, melandasi berbagai aspirasi umat, memelihara berbagai harapan, juga memperkukuh identitas kolektif dan menjustifikasi tindakan peperangan. Kehadiran Al-Qur´an juga telah menghasilkan beribu jilid komentar (baca: tafsir), yang secara langsung maupun tidak, telah berandil besar dalam proses peradaban Islam itu sendiri. Dengan demikian, dapat ditandaskan bahwa peradaban Islam yang, sejak awal kelahirannya empat belas abad yang lalu hingga sekarang, pada hakikatnya adalah dialektika antara normativitas Al-Qur´an dengan historisitas kemanusiaan.[5] Implikasinya, berbagai macam tafsir lahir[6] dan menjadi referensi umat Islam dalam menjawab berbagai persoalan yang mengitari realitasnya.
Penghayatan umat Islam terhadap Al-Qur´an, yang diaktualisasikan dalam kitab-kitab tafsir, selain bisa dilihat sebagai aktivitas intelektual kaum terpelajar umat Muslim pada zamannya, juga dapat dilihat sebagai sebuah bentuk kebutuhan dalam menyelaraskan kehidupannya dengan kehendak dan keinginan Tuhan yang, tentu saja, bernilai ibadah. Oleh sebab itu kajian atas fenomena Islam dengan sama sekali mengabaikan kajian atas Al-Qur´an (dan tafsirnya) merupakan suatu langkah yang tidak akan menemukan validitasnya secara memadai.
Makalah ini akan mencoba untuk mengurai salah satu tafsir anak zamannya, yaitu Ma’âlim al-Tanzîl karya al-Baghawī. Tafsir ini, selain posisinya cukup unik karena merupakan ringkasan (mukhtashar)[7] dari al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsīr Al-Qur´ân karya al-Tsa’labī,[8] juga karena tafsir ini balum mendapatkan perhatian yang semestinya dari para pengkaji Al-Qur´an dan tafsir. Dengan demikian, tulisan ini hendak memberikan kontribusi tentang siapa dan bagaimana al-Baghawî sebagai pengarang Ma’âlim al-Tanzîl ini sebenarnya serta menelisik tentang metodologi yang digunakan al-Baghawî dalam menafsirkan Al-Qur´an. Insyâ Allah Ta’âla.

B. Setting Biografis dan Karir Intelektual Al-Baghawî
Pengarang tafsir ini adalah Abû Muhammad al-Husayn ibn Mas’ûd ibn Muhammad al-Farrâ´ al-Baghawî, seorang mufassir sekaligus muhaddits yang mencapai gelar al-hâfizh, ahli fikih (faqīh) Syafî’î dan mujtahid. Menurut ‘Abd Allâh ibn Ahmad ibn ‘Alî al-Zayd, pengarang Mukhtashar Tafsîr al-Baghawî, al-Baghawî dilahirkan pada tahun-tahun awal abad ke-4 yang termasuk ke dalam generasi ke-5 H.[9] Sementara Yâqût, dalam Mu’jam al-Buldân, berpendapat bahwa al-Baghawî dilahirkan pada tahun 433 H,[10] sedangkan menurut al-Zirkilî tahun kelahirannya adalah 426 H.[11] Dalam sejumlah literatur yang membahas tentang Tafsîr Ma’âlim al-Tanzīl, khususnya ketika mengeksplorasi tentang tahun kelahiran beliau, informasi yang dimunculkan terkesan debatable dan menjurus kontradiktif, bahkan ditemukan pula sejumlah keterangan yang tidak menginformasikan tentang hal ini.[12]
Sependek penelusuran penulis, tidak terdapat satu pun keterangan yang memberikan informasi tentang riwayat al-Baghawî kecil serta aktivitas kehidupannya. Namun, menilik kepada sejumlah keilmuan yang dikuasai serta karya-karya yang dihasilkanya, dapat dipastikan bahwa sebagian besar kehidupannya dihabiskan untuk melakukan pengembaraan intelektual (rihlah fî thalab al-‘ilm) dari satu negeri ke negeri yang lain, seperti menghadiri sejumlah halaqah keilmuan, melakukan kunjungan sekaligus belajar kepada sejumlah syaykh, sebuah karakter tradisi intelektual yang biasa dilakukan oleh sarjana Muslim klasik-besar dalam peradaban Islam dan pada zamannya.[13]
Beliau terkenal dengan julukan al-Farrâ atau terkadang dengan sebutan Ibn al-Farrâ,[14] sebuah nama yang merujuk kepada aktivitas penghidupannya, yaitu sebagai pedagang kulit berbulu (والفراء: نسبة إلى عمل الفراء وبيعها).[15] Sementara nama al-Baghawî, diambil dari nama Bagh atau Baghsyûr,[16] yang kemudian dijadikan nama tidak resmi dari tafsirnya sebagai simplikasi penyebutan dan kebiasaan, dinisbatkan kepada salah satu tempat di kota Khurâsân antara Marwa dan Hirrâh (البغوي هذه النسبة إلى بلد من بلاد خراسان بين مرو وهراة يقال له بغ وبغشور),[17] yang kemudian nama tersebut dilekatkan kepadanya.
Al-Baghawî mendalami ilmu-ilmu agama kepada sejumlah tokoh pada zamannya, di antaranya adalah al-Qâdhî Hasan atau al-Qâdhî al-Husayn ibn Muhammad al-Marwarûdzî, pemilik Kitâb al-Ta’lîqah (khusus fikih dan hadits), Abû ‘Umar ‘Abd al-Wâhid ibn Ahmad al-Malîhî, Abû al-Hasan ‘Abd al-Rahmân al-Dâwudî, Abû al-Hasan ibn Muhammad ibn Muhammad al-Syîrazî, Ya’qûb ibn Ahmad al-Shîrafî, Abû al-Hasan ‘Alî ibn Yûsuf al-Juwaynî, Abû al-Fadhl Ziyâd ibn Muhammad al-Hanafî, Ahmad ibn Abī Nashr al-Kûfanî, Hisân al-Manî’î, Abû Bakar Muhammad ibn Abî al-Haytsam al-Turâbî. Adapun di antara murid-muridnya adalah Abû Manshûr, Abû al-Futûh al-Thâ´î, Abû al-Makârim Fadhullâh ibn Muhammad al-Nûqânî dan Fakr ‘Alî ibn al-Bukhârî, di mana keduanya meriwayatkan hadits dari beliau secara ijâzah.[18]
Menyebut beberapa pengakuan terhadap integritas kecendekiawanan al-Baghawî adalah sebagaimana berikut ini.
  1. Al-Suyûthî[19] menyatakan, “Imâmân fî al-tafsîr, imâmân fî al-hadîts wa imâmân fi al-fiqh.”
  2. Ibn Khalikân[20] mengilustrasikan dengan pernyataan, “Kâna bahrân fî al-‘ulûm.”
  3. Abû Bakar Muhammad ibn ‘Abd al-Ghannî menyatakan dengan perkataan, “Imâmun min a´imat ahl al-naql”,[21]
  4. Tâj al-Dîn al-Subkî[22] menyatakan dengan ungkapan, “Kâna imâmâm jalîlân wa wara’ân, zâhidân, faqîhân, muhadditsân, mufassirân jâmî’ân bayna al-‘ilmi wa al-’amali, sâlikân sabîl al-salafi.”
  5. Ibn al-Wardī[23] menyebutnya dengan pernyataan, “Al-Faqîh, al-muhaddits, al-mufassir bahr al-‘ulûm.”
  6. Al-Dzahabî[24] dengan, “Kâna Sayyidân Imâmân, ‘âlimân ‘alâmatan, zâhidân, qâni’ân bi al-yasīr bûrika lahu fî tashânîfihi wa ruziqa fîhâ bi al-qubûli al-tâmi li husni qashdihi wa shidqi niyyatihi.”
  7. Al-Zarqânî[25] menandaskannya dengan, “Imâmân fi al-tafsîr wa al-hadîts.”
Tentang kepribadiannya, al-Baghawî dikenal sebagai seorang yang wara’, zuhud serta tidak menerima pelajaran kecuali dalam keadaan bersih. Tentang ke-qana’ah-annya, sebagaimana diungkapkan oleh al-Suyûthî dan Ibn Khalikân, tergambar dari kebiasaannya yang hanya senang makan roti (tanpa disertai bumbu apapun) yang kemudian dikritik sehingga menambahkannnya dengan selai. Juga diceritakan menurut Ibn Khalikân, menukil pendapat al-Hâfizh Zakî al-Dîn ‘Abd al-‘Azhîm al-Munzhirî dalam Kitâb al-Fawâ´id al-Safariyyah, ketika al-Baghawî ditinggal mati istrinya, beliau tidak mengambil sedikit pun bagian warisannya.
Al-Baghawî sendiri dalam persoalan fikih (furû’) merupakan tokoh yang bermazhab syafi’i sementara dalam konteks akidah (ushûl) condong kepada aliran salafi denga berpegang kuat kepada Al-Qur´an dan Hadis sehingga terkenal dengan julukan Muhyî al-Sunnah,[26] selain dengan julukan Rukn al-Dîn,[27] al-faqīh al-mujtahid,[28] al-Imâm, Syaykh al-Islâm,[29] dan Zhahîr al-Dîn.[30] Dalam dunia tulis menulis, ia termasuk penulis yang prolifik. Dalam berbagai catatan, al-Baghawî mengarang Kitâb al-Tahdzîb dalam bidang fikih, Syarh al-Sunnah dalam hadits, al-Mashâbîh dan al-Jam’ bayna al-Shahîhayn serta lain sebagainya,[31] semisal Irsyād al-Anwâr fî Syamâ´il al-Nabî al-Mukhtâr,[32] Tarjamah al-Ahkâm fi al-Furû’, al-Tahdzîb fī al-Furû’, al-Jam’u bayna al-Shahīhayn al-Bukhârî wa Muslim, Syarh al-Sunnah fî al-Hadîts,[33] al-Kifâyah fî al-Fiqhi, al-Kifâyah fî al-Qirâ´at, Mashâbīh al-Sunnah yang berisi 4719 hadits, Ma’âlim al-Tanzîl dan Mu’jam al-Syuyûkh.[34]
Menurut ‘Abd Allâh ibn Ahmad ibn ‘Alî Al-Zayd, di penghujung akhir usianya, yaitu pada 6 tahun terakhir kehidupannya atau antara tahun 510 – 516 H, al-Baghawî menetap di Marwa al-Rûdz, sebuah tempat yang menjadi tanah air kedua baginya.[35] Al-Baghawî sendiri meninggal pada bulan Syawal tahun 510[36] atau 516 H,[37] di Marwa al-Rûdz dan dikuburkan berdampingan dengan makam gurunya, al-Qâdhî Husayn, di perkuburan al-Thâliqân, sebuah perkuburan yang terkenal di daerah tersebut.

C. Tafsîr Ma’âlim al-Tanzîl
Sejumlah pakar tafsir berkesimpulan bahwa Tafsîr al-Baghawî merupakan salah satu tafsir yang masuk dalam kategori ma´tsûr[38] dengan menghilangkan bagian sanad periwayatan.[39] Sementara menurut Ibn Taymiyyah, Ma’âlim al-Tanzîl merupakan mukhtashar dari al-Kasyf wa al-Bayān ‘an Tafsīr Al-Qur´ān karya al-Tsa’labī, namun – sesuai dengan integritas dan dedikasi keilmuannya, al-Baghawī telah melakukan verfikasi ulang terhadap riwayat-riwayat yang dijadikan rujukan penafsiran sehingga validitasnya selamat dari hadits-hadits mawdhû’ dan pendapat-pendapat yang batil.[40]
Adapun Basuni Faudah dalam karyanya, menggolongkan Ma’âlim al-Tanzîl sebagai sebagai salah satu kitab tafsir bercorak bi al-ma´tsûr terpenting, termasyhur serta banyak dikenal orang. Meskipun demikian, lanjut Faudah, al-Baghawī tidak membatasi metode tafsirnya dengan hanya menyandarkan terhadap validitas riwayat semata, tetapi menggabungkan antara corak bi al-ma´tsûr dengan bi al-ra´yi sekaligus yang disertai dengan melakukan ijtihad yang terkategori maqbûl. Namun, sebagaimana yang ditegaskan Faudah, corak yang paling dominan dari Ma’âlim al-Tanzîl adalah bi al-ma´tsûr-nya.[41]
Sebagai sebuah tafsir yang lahir pada zamannya, tidak dapat dipungkiri bahwa Ma’âlim al-Tanzîl bukan merupakan karya orisinal al-Baghawî semata, tetapi banyak terilhami oleh karya-karya tafsir sebelumnya. Hal ini dinyatakan oleh al-Baghawî sendiri sebagaimana berikut.
وما نقلت فيه من التفسير عن عبد الله بن عباس رضي الله عنهما، حبر هذه الأمة، ومن بعده من التابعين، وأئمة السلف، مثل: مجاهد، وعكرمة، وعطاء بن أبي رباح، والحسن البصري، وقتاده، وأبي العالية، ومحمد بن كعب القرظي، وزيد بن أسلم، والكلبي، والضحاك، ومقاتل بن حيان، ومقاتل بن سليمان، والسُّدّي، وغيرهم فأكثرها مما أخبرنا به الشيخ أبو سعيد أحمد بن إبراهيم الشريحي الخوارزمي، فيما قرأته عليه عن الأستاذ أبي إسحاق أحمد بن محمد بن إبراهيم الثعلبي عن شيوخه رحمهم الله.[42]

Setelah iu, disusul dengan memberikan catatan panjang terhadap sejumlah tafsir dan qirâ´at yang djadikan referensi penafsirannya.
* أما تفسير عبد الله بن عباس رضي الله عنهما ترجمان القرآن الذي قال فيه النبي صلى الله عليه وسلم: "اللهم علمه الكتاب" وقال: "اللهم فقهه في الدين" قال أبو إسحاق: أخبرنا أبو محمد ابن عبد الله بن حامد أنا أبو الحسن أحمد بن محمد بن عبدوس الطرائفي ثنا عثمان بن سعيد الدارمي ثنا عبد الله بن صالح أن معاوية بن صالح حدثه عن علي بن أبي طلحة الوالبي عن عبد الله بن عباس. وقال: أنا أبو القاسم الحسن بن محمد بن حبيب ثنا عبد الله بن محمد الثقفي أنا أبو جعفر محمد بن نصرويه المازني أنا محمد بن سعيد بن محمد بن الحسن بن عطيه بن سعد العوفي قال حدثني عمي الحسين بنالحسن بن عطيه حدثني أبي عن جدي عطيه عن ابن عباس. وقال الثعلبي ثنا أبو القاسم الحسن بن محمد بن الحسن النيسابوري أنا أحمد بن محمد إبراهيم الصريمي المروزي أنا أبو العباس أحمد بن الخضر الصيرفي، أنا أبو داود سليمان بن معبد السنجي أنا علي بن الحسين بن واقد عن يزيد النحوي عن عكرمة عن ابن عباس.
* وأما تفسير مجاهد بن جبر المكي قال: أخبرنا أبو محمد عبد الله بن حامد الأصفهاني قال أنا أبو عبد الله محمد بن أحمد بن بطة ثنا عبد الله بن محمد بن زكريا ثنا سعيد بن يحيى بن سعيد الأموي ثنا مسلم بن خالد الزنجي عن ابن أبي نجيح عن مجاهد.
* وأما تفسير عطاء بن أبي رباح قال: ثنا أبو القاسم الحسن بن محمد بن حسن النيسابوري ثنا أبو عبد الرحمن أحمد بن ياسين بن الجراح الطبري أنا أبو محمد بن بكر بن سهل الدمياطي ثنا عبد الغني ابن سعيد الثقفي عن أبي محمد موسى بن عبد الرحمن الصنعاني عن ابن جريج عن عطاء بن أبي رباح.
*وأما تفسير الحسن البصري قال: حدثني أبو القاسم الحسن بن محمد بن عبد الله بن المكتب حدثني أبو الحسن محمد بن أحمد بن الصلت المعروف بابن شنبوذ المقرئ 2/أ ثنا سعيد بن محمد ثنا المستهل بن واصل عن أبي صالح عن عمرو بن عبيد عن الحسن بن أبي الحسن البصري.
* وأما تفسير قتادة قال: أنا أبو محمد عبد الله بن حامد الأصفهاني أنا أبو علي حامد بن محمد بن الهروي ثنا أبو يعقوب إسحاق بن الحسن بن ميمون الحربي ثنا أبو أحمد الحسين بن محمد المروزي ثنا شيبان بن عبد الرحمن النحوي عن قتادة وقال ثنا أبو القاسم الحبيبي أنا أبو زكريا العنبري ثنا جعفر ابن محمد بن سوار أنا محمد بن رافع عن عبد الرزاق عن معمر عن قتادة بن دعامة السدوسي.
* وأما تفسير أبي العالية واسمه رُفيع بن مهران قال: ثنا أبو القاسم الحسن بن محمد بن الحسن المفسر أنا أبو عمرو أحمد بن محمد بن منصور العمركي بَسْرخَس ثنا أبو الحسن أحمد بن إسحاق بن إبراهيم بن [يزيد] [البصري] أنا أبو علي الحسن بن موسى الأزدي عن عمار بن الحسن بن بشير الهمذاني عن عبد الله بن أبي جعفر عن أبيه عن الربيع بن أنس عن أبي العالية الرياحي.
* وأما تفسير القرظي: قال: ثنا أبو القاسم الحسن بن محمد بن حبيب ثنا أبو العباس محمد بن الحسن الهروي ثنا رجاء بن عبد الله أنا مالك بن سليمان الهروي عن أبي معشر عن محمد بن كعب القرظي.
* وأما تفسير زيد بن أسلم قال: أنا الحسن بن محمد بن الحسن قال كتب إليَّ أحمد بن كامل ابن خلف أن محمد بن جرير الطبري حدثهم قال: ثنا يونس بن عبد الأعلى الصدفي أنا عبد الله بن وهب أخبرني عبد الرحمن بن زيد بن أسلم عن أبيه.
* وأما تفسير الكلبي: فقد قرأت بمرو على الشيخ أبي عبد الله محمد بن الحسن المروزي في شهر رمضان سنة أربع وستين وأربعمائة قال: أنا أبو مسعود محمد بن أحمد بن محمد بن يونس الخطيب الكُشْمِيْهَني في محرم سنة خمسين وأربعمائة قال أنا أبو إسحاق إبراهيم بن أحمد بن محمد بن معروف [الهُرْمُزْفَرَهي] ثنا محمد بن علي الأنصاري المفسر ثنا علي بن إسحاق وصالح بن محمد السمرقندي قالا: ثنا محمد بن مروان السدي عن محمد بن السائب الكلبي عن أبي صالح أنا باذان مولى أم هانئ عن ابن عباس.
* وأما تفسير الضحاك بن مزاحم الهذلي قال: أنا الأستاذ إسحاق الثعلبي ثنا أبو القاسم الحسن بن محمد السدوسي ثنا أبو عمر أحمد بن محمد العمركي بسرخس ثنا جعفر بن محمد بن سوار ثنا أحمد بن محمد بن جميل المروزي ثنا أبو معاذ عن عبيد الله بن سليمان الباهلي عن الضحاك.
* وأما تفسير مقاتل بن حيان قال: أنا عبد الله بن حامد الوزَّاني ثنا أحمد بن محمد بن عبدوس ثنا إسماعيل بن قتيبة ثنا أبو خالد يزيد بن صالح الفراء النيسابوري حدثنا [بكير بن معروف البلخي الأسدي] أبو معاذ 2/ب عن مقاتل بن حيان.
* وأما تفسير مقاتل بن سليمان قال: أخبرنا أبو إسحاق إبراهيم بن محمد المهرجاني أنا أبو محمد عبد الخالق بن الحسين بن محمد السقطي المعروف بابن أبي رؤبة ثنا عبد الله بن ثابت بن يعقوب المَقْرِيّ أبو محمد قال: حدثني أبي حدثني الهذيل بن حبيب أبو صالح [الدنداني] عن مقاتل بن سليمان.
* وأما تفسير السدي قال: ثنا أبو القاسم الحسن بن محمد بن الحسن أنا أبو الطيب محمد بن عبد الله ابن مبارك الشعيري ثنا أحمد بن محمد بن نصر اللباد ثنا عمرو بن طلحة القناد عن +اسباط عن إسماعيل السدي. وما نقلته عن المبتدأ لوهب بن منبه وعن المغازي لمحمد بن إسحاق أبو شعيب فأخبرنيه أبو سعيد الشريحي قال: أنا أحمد بن محمد بن إبراهيم الثعلبي قال: أنبأني أبو نعيم عبد الملك بن الحسن بن محمد بن إسحاق بن الأزهري أنا أبو الحسن محمد بن أحمد بن البراء العبدي قال: قرأت على أبي عبد الله عبد المنعم بن إدريس عن أبيه عن وهب بن منبه. وأنا أبو سعيد الشريحي أنا أبو إسحاق الثعلبي أنا أبو عبد الله محمد بن عبد الله الحافظ أنا أبو العباس محمد بن يعقوب بن يوسف المعقلي ثنا أحمد بن عبد الجبار العطاردي أنا يونس بن بكير عن محمد بن إسحاق بن يسار المدني وأنا أبو سعيد الشريحي أنا أبو إسحاق الثعلبي أنا أبو محمد عبد الله بن محمد بن أحمد بن عقيل الأنصاري أنا أبو الحسن علي بن الفضل الخزاعي أنا أبو شعيب بن عبد الله بن الحسين الحراني أنا النفيلي أنا محمد بن سلمة عن محمد بن إسحاق.
فهذه أسانيد أكثر ما نقلته عن هؤلاء الأئمة وهي مسموعة من طرق سواها تركت ذكرها حذرًا من الإطالة وربما حكيت عنهم وعن غيرهم من الصحابة أو التابعين قولًا سمعته بغير هذه الأسانيد بل أذكر أسانيد بعضها في موضعه من الكتاب إن شاء الله تعالى.
ثم إن الناس كما أنهم متعبدون باتباع أحكام القرآن وحفظ حدوده فهم متعبدون بتلاوته، وحفظ حروفه على سنن خط المصحف الإمام الذي اتفقت عليه الصحابة، وأن لا يجاوزوا فيما يوافق الخط عما قرأ به القراء المعروفون الذين خلفوا الصحابة والتابعين، واتفقت الأئمة على اختيارهم.
وقد ذكرت في الكتاب قراءات من اشتهر منهم بالقراءة، واختياراتهم على ما قرأته على الإمام أبي نصر محمد بن أحمد بن علي المروزي رحمه الله تلاوة ورواية قال: قرأت على أبي القاسم طاهر بن علي الصيرفي قال: قرأت على أبي بكر أحمد بن الحسين بن مهران بإسناده المذكور في كتابه المعروف بكتاب الغاية وهم: أبو جعفر يزيد بن القعقاع، وأبو عبد الرحمن نافع بن عبد الرحمن المدنيان، وأبو معبد عبد الله بن كثير الداري المكي، وأبو عمران عبد الله بن عامر الشامي، وأبو عمرو زبان بن العلاء المازني، وأبو محمد يعقوب بن إسحاق الحضرمي البصريان، وأبو بكر عاصم بن أبي النجود الأسدي، وأبو عمارة حمزة بن حبيب الزيات، وأبو الحسن علي بن حمزة الكسائي الكوفيون فأما أبو جعفر فإنه أخذ القراءة عن عبد الله بن عباس وأبي هريرة وغيرهما وهم قرأوا على أبي بن كعب، وأما نافع فإنه قرأ على أبي جعفر القارئ وعبد الرحمن بن هرمز الأعرج وشيبه بن نصاح وغيرهم من التابعين الذين قرأوا على أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم وقال الأعرج قرأت على أبي هريرة، وقرأ أبو هريرة على أُبِّي بن كعب.
وأما عبد الله بن كثير فإنه قرأ على مجاهد بن جبر وقرأ مجاهد على ابن عباس، وقرأ ابن عباس على أبي ابن كعب، وقرأ أبي بن كعب على رسول الله صلى الله عليه وسلم.
[وأما أبو عمرو فإنه قرأ على مجاهد وسعيد بن جبير، وهما قرآ على ابن عباس وقرأ ابن عباس على أبي ابن كعب وقرأ أبي بن كعب على رسول اللّه صلى الله عليه وسلم] وأما عبد الله بن عامر فإنه قرأ على المغيرة بن شهاب المخزومي، وقرأ المغيرة على عثمان بن عفان.
وأما عاصم فإنه قرأ على أبي عبد الرحمن السلمي وقرأ أبو عبد الرحمن على علي بن أبي طالب قال عاصم: وكنت أرجع من عند أبي عبد الرحمن فأقرأ على زر بن حبيش، وكان زر قد قرأ على عبد الله بن مسعود.
وأما حمزة فإنه قرأ على عبد الرحمن بن أبي ليلى، وسليمان الأعمش، وحمران بن أعين وغيرهم. وقرأ عبد الرحمن بن أبي ليلى على جماعة من أصحاب علي، وقرأ الأعمش على يحيى بن وثاب، وقرأ يحيى على جماعة من أصحاب عبد الله، وقرأ حمران على أبي الأسود الدؤلي وفرأ أبو الأسود الدؤلي على عثمان وعلي.
وأما الكسائي فإنه قرأ على حمزة، وأما يعقوب فإنه قرأ على أبي المنذر سلام بن سليمان الخراساني، وقرأ سلام على عاصم.
فذكرت قراءات هؤلاء للاتفاق على جواز القراءة بها، وما ذكرت من أحاديث رسول الله صلى الله عليه وسلم في أثناء الكتاب على وفاق آية، أو بيان حكم فإن الكتاب يطلب بيانه من السنة، وعليهما مدار الشرع وأمور الدين - فهي من الكتب المسموعة للحفاظ وأئمة الحديث، وأعرضت عن ذكر المناكير، وما لا يليق بحال التفسير، فأرجو أن يكون مباركًا على من أراده وبالله التوفيق.[43]

Langkah selanjutnya, sebelum melakukan penafsiran, al-Baghawî melakukan kajian terhadap tiga hal yang berkaitan dengan konteks Al-Qur´an yang dibaginya menjadi 3 fashal, di mana dalam setiap fashal al-Baghawî memberikan penjelasan dengan cara memasukkan jalur periwayatan secara per fashal, yaitu:
(1) فصل في فضائل القرآن وتعليمه
(2) فصل في فضائل تلاوة القرآن dan
(3) فصل في وعيد من قال في القرآن برأيه من غير علم.[44]
Setelah selesai membahas ketiga hal di atas, maka al-Baghawî melanjutkannya dengan memberikan penafsiran secara tahlîlî (analitis-ma´tsûr).[45]
Dalam kata pengantarnya, Muhammad ‘Abdullâh al-Namr dkk sebagai muhaqqiq, menyatakan bahwa Ma’âlim al-Tanzîl termasuk kategori kitab pertengahan, di mana al-Baghawî menukil basis penafsirannya dari sahabat, tabi’in, dan generasi selanjutnya. Dalam metode penafsirannya, al-Baghawî merumuskan sejumlah langkah, yaitu:
  1. Menafsirkan dengan bahasa yang mudah, tidak bertele-tele, membahas kata-kata gharīb sampai kepada pengertian yang dimaksud dengan cara merujuk derivasi kata yang disertai dengan cross check dalam Al-Qur´an dan Hadis serta penafsiran sahabat, tabi’in dan para ahli linguistik.
  2. Menggunakan metode Al-Qur´ân bi Al-Qur´ân dan atau bi al-hadîts aw bi awqâl al-shâhabah dalam menjelaskan makna. Tidak ketinggalan pula selalu berpedomen kepada aqwâl al-tabi’în wa al-mujtahidîn. Metode ini merupakan eksplorasi dari teori anna Al-Qur´ân yufassiru ba’dhuhu ba’dhân sehingga ayat yang bersifat mujmal di satu tempat, di-tafshîl di tempat lain atau men-takhsîsh ayat yang bersifat ‘umûm dengan ayat yang lain. Misalnya:
عند تفسر قوله تعالى:{وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ} إذ بّين معنى المَدِّ ثم أورد قوله تعالى: {وَنَمُدُّ لَهُ مِنَ الْعَذَابِ مَدًّا} (2) ثم بين معنى الإمداد فأورد قول الله تعالى: {وَأَمْدَدْنَاكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ}. وعند قوله تعالى: فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا} يقول: لأن الآَيات كانت تنزل تترى آية بعد آية، كلما كفروا بآية ازدادوا كفرًا ونفاقًا، وذلك معنى قوله تعالى: {وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ}.
  1. Melakukan klarifikasi atas qira´ât tertentu yang dirasanya menyebabkan perubahan makna. Ini dilakukan, misalnya dalam penafsiran :
قوله تعالي: {وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ} إذ يقول رحمه الله: "قرأ أهل المدينة وعاصم وقَرن بفتح القاف، وقرأ الآخرون بكسرها، فمتى فتح القاف فمعناه: أقررن أي الزمن بيوتكن من قولهم قررت بالمكان أقر قرارًا...... ومن كسر القاف فقد قيل: هو من قررت أقر معناه أقررن بكسر الراء، فحذفت الأولى ونقلت حركتها إلى القاف كما ذكرنا، وقيل- وهو الأصح- إِنه أمرٌ من الوقار، كقولهم من الوعد: عدن، ومن الوصل: صلن، أي كُنَّ أهل وقار وسكون، من قولهم: وقر فلان يقر وقورًا إذا سكن واطمأن.
  1. Merujuk pendapat-pendapat Ahl Sunnah dalam menolak pendapat-pendapat yang bertentangan dengannya sekaligus membela pendapat Ahl Sunnah, baik dengan cara manqûl atau ma´qûl. Seperti dalam menafsirkan:
قوله تعالى:{لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ} مثبتًا الرؤية عيانًا، مستدلًا بقوله تعالى:  وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ} وقوله تعالى: {كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ} وقوله تعالى:{لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ} ثم بين أن النبي صلى الله عليه وسلم فسر الزيادة بالنظر إلى وجه الله تعالى، ثم أورد حديثًا في إثبات الرؤية، وفرق بين الإدراك والرؤية.
  1. Memberikan penjelasan fiqhiyyah terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengannya. Bahkan, menurut muhaqqiq, kebanyakan melakukan klarifikasi ulang pendapat-pendapat ahli fikih sekaligus mentarjihkan dengan pandangan-pandangan Syâfī’î. Tetapi, terkadan al-Baghawî juga membiarkannnya tanpa melakukan pentarjihan.
  2. Terkadang menyebutkan cerita-cerita Isrâ´îliyyât.
  3. Dalam jalur riwayat, al-Baghawî memperbanyak pula jalur dari al-Kalabî.[46]

D. Penutup
            Demikianlah sepintas tentang Tafsîr Ma'âlim al-Tanzîl karya al-Baghawî. Sebagai sebuah karya anak zamannya, maka tak dapat dipungkiri apabila penafsiran yang dilakukan serta ide-ide yang dituangkan sang pengarang merupakan implementasi khazanah keilmuan yang mengitarinya. Sayangnya, tak seperti Tafsīr al-Thabarī atau Ibn Katsīr, keberadaan Tafsīr al-Baghawī ini, sependek yang penulis ketahui, masih belum mendapat apresiasi yang semestinya dalam kajian tafsir, baik secara metodologis ataupun kritik isi (penafsiran). Mudah-mudahan tulisan ini bisa memberikan setitik pengetahuan lebih lanjut tentang pengarang dan karakter Tafsîr Ma'âlim al-Tanzîl. Wallâhu a'lam bi al-Shawâb.


[1] Lihat firman Allah dalam QS. Al-Baqarah (2): 185 yang berbunyi:
شَهرُ رِمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ اْلقُرْآنَ هُدًي لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ اْلهَدَي وَاْلفُرْقَانَ ...
[2] Lihat firman Allah dalam QS. Al-Isrâ´ (17): 9 yang berbunyi:
إِنَّ هَذَا اْلقُرْآنَ يَهْدِيْ لِلَّتِيْ هِيَ أَقْوَمُ ...
[3] Lihat salah satu firman Allah dalam QS. Al-Hasyr (59): 21 yang berbunyi:
لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا اْلقُرْآنَ عَلَي جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّغًا مِنْ خَشْيَهِ اللهِ وَتِلْكَ اْلأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ.
[4] Analogi ini mungkin dapat menjelaskan maksud pernyataan di atas. Seringkali saat mendengar atau membaca Al-Qur´an, seseorang tiba-tiba merasa sangat tertarik akan tetapi, pada saat yang bersamaan, ia tidak dapat menjelaskan mengapa atau apa yang menyebabkannya merasa tertarik tersebut; apakah ini muncul karena persoalan teologis, semacam aspek esoterik dan keberagamaan seseorang, ataukah disebabkan oleh hal lain yang inheren dalam Al-Qur´an itu sendiri? Kondisi ini memberikan keyakinan bahwa Al-Qur´an memiliki daya tarik tersendiri serta memberikan pengaruh luar biasa bagi yang merasakannya.
[5] Komaruddin Hidayat menyebutnya sebagai gerak sentrifugal dan sentripetal. Gerak sentrifugal merujuk kepada teks Al-Qur´an yang memiliki daya dorong yang sangat kuat bagi umat Islam untuk melakukan penafsiran dan pengembaraan makna ayat-ayat Al-Qur´an untuk selanjutnya melakukan pengembaraan intelektual karena dorongan Al-Qur´an tersebut. Sedangkan gerak sentripetal dimaksud bahwa seluruh wacana keislaman yang telah berlangsung belasan abad dan telah melahirkan sekian banyak tafsir dan komentar mengenai berbagai bidang persoalan hidup yang sekuler, namun upaya untuk selalu merujuk kepada Al-Qur´an juga sangat kuat. Lihat, Hidayat, Komaruddin, Menafsirkan Kehendak Tuhan (Jakarta: Teraju, 2003), cet. I, hlm. 17-18.
[6] Dalam studi ilmu tafsir, dari segi sumber, tafsir dibagi menjadi (1) tafsîr bi al-ma´tsûr aw al-riwâyah aw manqûl, semisal Tafsîr Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta´wîl Âyy Al-Qur´ân karya Ibn Jarîr al-Thabarî, Tafsîr Al-Qur´ân al-‘Azhîm karya Ibn Katsîr dan al-Durr al-Mantsûr fī al-Tafsîr bi al-Ma´tsûr karya Jalâl al-Dîn ibn ‘Abd al-Rahmân al-Suyūthī serta (2) tafsîr bi al-ra´yi aw al-ma´qûl aw al-aql wa al-ijtihâd, seperti Tafsîr al-Kasysyâf ‘an Haqâ´iq al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-´Aqâwil fī Wujûh al-Ta´wîl karya Abû Qâsim Jâr Allâh al-Zamakhsyarî dan Madârik al-Tanzl wa Haqā´iq al-Ta´wîl karya Abû al-Barakât al-Nasafî. Dari segi corak dan pendekatannya, dibagi menjadi (1) tafsîr al-Lughawî, seperti Ma’ânî Al-Qur´ân karya al-Farrâ´, (2) tafsîr al-shûfî, seperti Tafsîr Haqâ´iq Al-Qur´ân karya al-Sulamî, (3) tafsîr al-‘ilmî, seperti Tafsîr Jawâhir Al-Qur´ân karya Abû Hâmid al-Ghazâlî al-Thûsî, (4) tafsîr al-falsafî, seperti Tafsîr Mafâtîh al-Ghayb aw Tafsîr al-Kabîr karya Fakhr al-Dîn al-Râzî, (6) tafsîr al-fiqhî, seperti Ahkâm Al-Qur´ân karya Abû Bakar al-Jashshâsh dan al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur´ân karya Abû ‘Abd Allâh al-Qurthubî, dan (7) tafsîr al-adabî al-ijtimâ’î, seperti Tafsîr Al-Qur´ân al-Hakîm al-Masyhûr bi Tafsîr al-Manâr karya al-Sayyid al-Imâm Muhammad Rasyîd Ridhâ. Sementara dari segi metodenya, dipecah menjadi (1) tahlîlî, (2) muqârin, (3) ijmâlî, dan (4) mawdhû’î.
[7] Ibn Taymiyyah berkata:
قال العلامة ابن تيمية: (والبغوي تَفْسِيرُهُ مُخْتَصَرٌ مِنْ الثَّعْلَبِيِّ لَكِنَّهُ صَانَ تَفْسِيرَهُ مِنْ الْأَحَادِيثِ الْمَوْضُوعَةِ وَالْآرَاءِ الْمُبْتَدَعَةِ).
                Ibn Taymiyyah, Abû al-‘Abbâs Taqqiy al-Dîn Ahmad ibn ‘Abd al-Halīm al-Harânî, Majmû’ al-Fatâwa, 37 Juz, ditahqîq oleh Anwâr al-Bâz & ‘Âmir al-Jazâr (t.t: Dâr al-Wafâ´, 2005), cet. III, Juz XIII, hlm 354.
                Pada tempat yang lain, Ibn Taymiyyah menandaskan:
وقد سئل عن أي التفاسير أقرب إلى الكتاب والسنة؟ الزمخشري أم القرطبي، أم البغوي؟ أو غير هؤلاء؟ فأجاب: وَأَمَّا التَّفَاسِيرُ الثَّلَاثَةُ الْمَسْئُولُ عَنْهَا فَأَسْلَمُهَا مِنْ الْبِدْعَةِ وَالْأَحَادِيثِ الضَّعِيفَةِ الْبَغَوِيّ، لَكِنَّهُ مُخْتَصَرٌ فِي تَفْسِيرِ الثَّعْلَبِيِّ وَحَذَفَ مِنْهُ الْأَحَادِيثَ الْمَوْضُوعَةَ وَالْبِدَعَ الَّتِي فِيهِ وَحَذَفَ أَشْيَاءَ غَيْرَ ذَلِكَ).
Ibn Taymiyyah, Abû al-‘Abbâs Taqqiy al-Dîn Ahmad ibn ‘Abd al-Halīm al-Harânî, al-Fatâwâ al-Kubrâ, 6 Jilid, ditahqîq oleh Muhammad ‘Abd al-Qâdir ‘Athâ & Mushtafâ ‘Abd al-Qâdir ‘Athâ (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1976), cet. I, Jilid V, hlm. 85 dan Majmû’ al-Fatâwa, hlm. 386.
[8] Nama lengkap beliau adalah Abû Ishâq Ahmad ibn Muhammad ibn Ibrâhîm al-Naysâbûrî al-Tsa’labî. Sejumlah pakar tidak menyebutkan tahun kelahiran beliau dan hanya mencatumkan informasi bahwa beliau wafat pada bulan Muharram tahun 427 H. Lihat, al-Suyûthî, Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Bakar, Thabaqât al-Mufassirîn, ditahqîq oleh ‘Alî Muhammad ‘Umar (Kairo: Maktabah Wahbah, 1396 H), cet. I, hlm. 17. Al-Adnarawî, Ahmad ibn Muhammad, Thabaqât al-Mufassirîn, ditahqîq oleh Sulaymân ibn Shâlih al-Khazzî (Madinah: Maktabah al-‘Ulûm wa al-Hikam, 1997), cet. I, hlm. 106. Al-Dzahabî, Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsmân, Tazkirat al-Huffâzh, 4 Jilid, ditahqîq oleh Zakariyyâ ‘Umayrât (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), Jilid III, cet. I, hlm. 194. Al-Suyûthî, Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Bakar, Bighyat al-Wi’ât fî Thabaqât al-Lughawiyyîn wa al-Nuhât, 2 Jilid, ditahqîq oleh Muhammad Abû al-Fadhl Ibrâhîm (Lebanon: al-Maktabah al-Ashriyyah, t.thn), Jilid I, hlm. 356. Al-Dzahabī, Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsmân ibn Qâyimâz, Siyyar A’lâm al-Nubalâ´, 23 Jilid, ditahqîq oleh Syu’ayb al-Arnâ´ûth dan Muhammad Na’îm al-‘Arqasûsî (Beirut: Mu´assasah al-Risâlah, 1413 H), Jilid 17, hlm. 346. Al-Subkî, Tâj al-Dîn ibn ‘Alî ibn ‘Abd al-Kâfî, Thabaqât al-Syâfīî’iyyah al-Kubrâ, 10 Jilid, ditahqîq oleh Mahmûd Muhammad al-Thanâhî dan ‘Abd al-Fattâh Muhammad al-Halw (Hajr lithibâ’ah wa al-Nasyr wa al-Tawjī, 1413 H), cet. II, Jilid 4, hlm. 58-59. Dalam karyanya yang lain, al-Dzahabî hanya memberikan informasi bahwa beliau wafat pada bulan Muharram tanpa mengikutsertakan penanggalan tahun kematiannya. Lihat, al-Dzahabî, Syams al-Dîn Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsmân, Tārīkh al-Islâm wa Wifayât al-Masyâhîr wa al-A’lâm, ditahqîq oleh ‘Umar ‘Abd al-Sallâm Tadmurî (Beirut: Dâr al-Kitâb al’Arabî, 1987), Jilid 19, cet. I, hlm. 186.
Adapun nama al-Tsa’labî, yang kemudian dijadikan nama “tidak resmi” bagi tafsirnya di kemudian hari, menurut al-Sam’ânî merupakan laqab (julukan) semata dan bukan nama keturunan. Sebagaimana yang dikutip oleh Ibn Khalikân:قال السمعاني: يقال له الثعلبي والثعالبي، وهو لقب لا نسب. Lihat, Ibn Khalikân, Abû al-‘Abbâs Syams al-Dîn Ahmad ibn Muhammad ibn Abû Bakar, Wifayât al-A’yân wa Anbâ´u Abnâ´i al-Zamân, 7 Jilid, ditahqîq oleh Ihsân ‘Abbâs (Beirut: Dâr Shâdir, 1900), Jilid 1, hlm. 80. Lihat juga dalam al-Dzahabî, Syams al-Dîn Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsmân, Tārīkh al-Islâm wa Wifayât al-Masyâhîr wa al-A’lâm, hlm. 185. Al-Dzahabī, Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsmân ibn Qâyimâz, Siyyar A’lâm al-Nubalâ´, hlm. 345 dan Al-Subkî, Tâj al-Dîn ibn ‘Alî ibn ‘Abd al-Kâfî, Thabaqât al-Syâfīî’iyyah al-Kubrâ, hlm. 59.
Sedangkan nama al-Naysâbûrî merujuk kepada nama sebuah daerah di Iran, yaitu Naysâbûr, yang menurut Ibn Khalikân, merupakan sebuah kota yang dibangun oleh salah satu raja Persia terakhir yang merasa kagum akan tempat tersebut. Lihat, Ibn Khalikân, Abû al-‘Abbâs Syams al-Dîn Ahmad ibn Muhammad ibn Abû Bakar, Loc.Cit.
[9] Al-Zarkilî, Khayr al-Dîn, al-A’lâm: Qâmûs Tarâjim li Asyhar al-Rijâl wa al-Nisâ´ min al-‘Arab wa al-Musta’ribîn wa al-Musytasriqîn, 8 Jilid (Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn, 1980), Jilid . Al-Zayd, ‘Abd Allâh ibn Ahmad ibn ‘Alî, “Tarjamah al-Imâm al-Baghawî,” dalam Mukhtashar Tafsîr al-Baghawî al-Musammâ bi Ma’âlim al-Tanzîl (Riyadh: Dâr al-Salâm li al-Nasyr wa al-Tawjî’, 1416), cet. I, hlm. 12.
[10] Al-Himawî, Abû ‘Abd Allâh Yâqût ibn ‘Abd Allâh, Mu’jam al-Buldân, 5 Jilid (Beirut: Dâr al-Fikr, t.thn.), Jilid 1, hlm. 468.
[11] Al-Namr, Muhammad ‘Abd Allâh, ‘Utsmân Jam’ah Dhamayriyyah dan Sulaymân Muslim al-Harsy (pentahqîq), “Tarjamah al-Imâm al-Baghawî,” dalam Abû Muhammad al-Husayn ibn Mas’ûd al-Baghawî Muhyî al-Sunnah, Ma’âlim al-Tanzîl, 8 Jilid (t.tp: Dâr Thayyibah, 1997), Jilid 1, cet. IV, hlm. 16.
[12] Misalnya, ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Bakar al-Suyûthî, Thabaqât al-Mufassirîn, hlm. 38. Al-Adnarawî, Ahmad ibn Muhammad, Thabaqât al-Mufassirîn, hlm. 158-160 dan al-Dzahabî, Muhammad Husayn, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, 3 Jilid (Mesir: Maktabah Wahbah, 2000), Jilid 1, cet. VII, hlm. 168. Al-Hamad, Ghânim Quddûrî, Muhâdharât fi ‘Ulûm Al-Qur´ân (Aman: Dâr ‘Amâr, 2003), cet. I, hlm. 189.
[13] Haqqî, Muhammad Shafâ´ Syaykh Ibrâhîm, ‘Ulûm Al-Qur´an min Khilâl Muqaddimât al-Tafâsîr min Nasy´atihâ ilâ Nihâyah al-Qarni al-Tsâmin al-Hijrî, 2 Jilid (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 2004), Jilid 1, cet. I hlm. 342.
[14] Al-‘Akarî, ‘Abd al-Hayy ibn Ahmad ibn Muhammad al-Hanbalī, Syadzârat al-Dzahab fī Akhbâr man Dzahab, 10 Juz, ditahqîq oleh ‘Abd al-Qâdir al-Arna´ûth & Mahmûd al-Arna´ûth (Damaskus: Dâr Ibn Katsîr, 1406), Juz IV, hlm. 48.
[15] Ibn Qâdhî Syuhbah, Abû Bakar ibn Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Umar, Thabaqât al-Syâfi’îyyah li Ibn Qâdhî Syuhbah, 4 Jilid, ditahqîq oleh al-Hâfizh ‘Abd al-Alîm Khân (Beirut: ‘Âlam Kutub, 1407), Jilid 1, cet. I, hlm. 281. Abû al-Fidâ´, al-Mukhtashar fî Akhbâr al-Basyar, 2 Jilid (t.tp: t.np, t.thn), Jilid 1, hlm. 304. Al-Malik al-Mu´ayyid Ismâ’îl ibn Abî al-Fidâ´, Târîkh Abî al-Fidâ´, 3 Jilid (t.t: t.np, t.thn), Jilid 2, hlm. 189. Sedangkan menurut Ibn Tugrî Birdî, yang beraktivitas sebagai pedagang kulit tersebut adalah ayahnya. Lihat, Ibn Tughrî Bardî, al-Nujûm al-Zâhirah fî Mulk Mishr wa al-Qâhirah (t.t: t.np, t.thn), Jilid II, hlm. 58.
[16] Baghsyûr sendiri merujuk kepada nama teritorial-geografis, sementara Bagh merujuk kepada nama kota. Lihat, Haqqî, Muhammad Shafâ´ Syaykh Ibrâhîm, ‘Ulûm Al-Qur´an min Khilâl Muqaddimât al-Tafâsîr min Nasy´atihâ ilâ Nihâyah al-Qarni al-Tsâmin al-Hijrî, hlm. 341 dalam footnote no 1.
[17] Al-Jazârî, Abû al-Hasan ‘Alî ibn Abî al-Karam Muhammad ibn Muhammad al-Syaybânî, al-Lubâb fî Tahdzîb al-Ansâb, 3 Jilid (Beirut: Dâr Shâdir, 1980), Jilid 1, hlm. 164. Al-Namr, Muhammad ‘Abd Allâh, ‘Utsmân Jam’ah Dhamayriyyah dan Sulaymân Muslim al-Harsy, Tarjamah al-Imâm al-Baghawî, hlm. 16 dan Al-Zayd, ‘Abd Allâh ibn Ahmad ibn ‘Alî, Tarjamah al-Imâm al-Baghawî, hlm. 12.
[18] Al-Dzahabî, Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsmân ibn Qâyimâz, Siyyar A’lâm al-Nubalâ´,  Jilid 19, hlm. 439-440.
[19] Al-Suyûthî, Jalâl ibn ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Bakar, Thabaqât al-Mufassirîn, hlm. 38.
[20] Ibn Khalikān, Abū al-‘Abbās Syams al-Dīn Ahmad ibn Muhammad ibn Abū Bakar, Jilid 2, hlm. 136.
[21] Al-Baghdâdî, Abû Bakar Muhammad ibn ‘Abd al-Ghannî, al-Taqyîd li Ma’rifat Ruwât al-Sunan wa al-Masânîd, hlm. 251.
[22] Al-Subkî, Tâj al-Dîn ibn ‘Alî ibn ‘Abd al-Kâfī, Thabaqât al-Syâfî’iyyah al-Kubrâ, Jilid 7, hlm. 75.
[23] Ibn al-Wardî, Zayn al-Dîn ‘Umar ibn Muzhaffir, Târîkh Ibn al-Wardî, 2 Jilid (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), Jilid II, hlm. 23.
[24] Al-Dzahabî, Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsmân, Siyyar A’lām al-Nubalā´,  Jilid 19, hlm. 443.
[25] Al-Zarqânî, Muhammad ‘Abd al-‘Azhîm, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm Al-Qur´ân, 2 Jilid (Mesir: ‘Îsâ al-Bâbî al-Halabî wa Syurakâh, t.t), Jilid 2, hlm. 30
[26] Menurut Muhammad Shafâ´ Syaykh Ibrâhîm Haqqî, gelar Muhyî al-Sunnah diberikan kepada al-Baghawî ketika beliau menulis salah satu karyanya, yaitu Syarh al-Sunnah, serta bermimpi melihat Nabi Saw yang berkata kepadanya, “Sungguh engkau telah menghidupkan Sunnah-ku dengan melakukan syarh terhadap hadits-haditsku.” Semenjak itulah, gelar Muhyî al-Sunnah melekat pada al-Baghawî. Lihat, Haqqî, Muhammad Shafâ´ Syaykh Ibrâhîm, ‘Op.Cit., Jilid 1, hlm. 343 dalam footnote no 2.
Sejumlah mayoritas pakar yang menggelari beliau dengan Muhyî al-Sunnah adalah Al-Dzahabî, Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsmân ibn Qâyimaz, al-Mu’în fî Thabaqât al-Mufassirîn, ditahqîq oleh Hammâm ‘Abd al-Rahmân Sa’îd (Damaskus: Dâr al-Furqân, 1404), cet. I, hlm. 43. Al-Baghdâdî, Abû Bakar Muhammad ibn ‘Abd al-Ghannî, al-Taqyîd li Ma’rifat Ruwât al-Sunan wa al-Masânîd, hlm. 251. Ibn Qâdhî Syuhbah, Abû Bakar ibn Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Umar, Thabaqât al-Syâfi’îyyah li Ibn Qâdhî Syuhbah, Jilid 1, hlm. 281. Al-Subkî, Tâj al-Dîn ibn ‘Alî ibn ‘Abd al-Kâfî, Thabaqât al-Syâfi’îyyyah al-Kubrâ, Jilid 7, hlm. 75 dan al-Suyûthî, ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Bakar, Thabaqât al-Mufassirîn, hlm. 38.
[27] Al-Baghawî, Muhyi al-Sunnah Abû Muhammad ibn al-Husayn ibn Mas’ûd, “Muqaddimah al-Mu´allif,” dalam Ma’âlim al-Tanzîl, 8 Jilid, ditahqîq oleh Muhammad ‘Abdullâh al-Namr dkk (t.t: Dâr Thayyibah li Nasyr wa al-Tawjî, 1998), Jilid 1, cet. IV, hlm 33 dan Al-Adnarawî, Ahmad ibn Muhammad, Thabaqât al-Mufassirîn, hlm. 158
[28] Al-Namr, Muhammad ‘Abd Allâh, ‘Utsmân Jam’ah Dhamayriyyah dan Sulaymân Muslim al-Harsy (muhaqqîq), Tarjamah al-Imâm al-Baghawî, hlm. 14.
[29] Haqqî, Muhammad Shafâ´ Syaykh Ibrâhîm, ‘Ulûm Al-Qur´an min Khilâl Muqaddimât al-Tafâsîr min Nasy´atihâ ilâ Nihâyah al-Qarni al-Tsâmin al-Hijrî, hlm. 343.
[30] Ibn Khalikān, Abū al-‘Abbās Syams al-Dīn Ahmad ibn Muhammad ibn Abū Bakar, Jilid 2, hlm. 136.
[31] Al-Suyuthi, Jalâl ibn ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Bakar, Thabaqât al-Mufassirîn, hlm. 49. Ibn Khalikân, Abū al-‘Abbâs Syams al-Dîn Ahmad ibn Muhammad ibn Abû Bakar, Wifayât al-A’yân wa Anbâ´u Abnâ´i al-Zamân, Jilid 2, hlm. 136.
[32] Telah dicetak dengan muhaqqiq oleh al-Allâmah al-Syaykh Ibrâhîm al-Ya’qûbî (Beirut: Dâr al-Dhiyâ li Thiba’âh wa al-Nasyr wa al-Tawjî, 1989)
[33] Telah dicetak dengan muhaqqiq Syu’ayb al-Arnâ´ûth (Beirut: al-Maktab al-Islâmî: Beirut, 1402 H) cet. II.
[34] Al-Bâbânî, Hidayah al-‘Ârifîn, Jilid 1, hlm. 165 dalam program CD al-Maktabah al-Syâmilah, versi 3.1.
[35] Al-Zayd, ‘Abd Allâh ibn Ahmad ibn ‘Alî, Tarjamah al-Imâm al-Baghawî, hlm. 12. Tentang hal ini, al-Zayd sendiri mengakui bahwa informasi yang diutarakannya masih bersifat kontadiksi dalam sejumlah silang pendapat (‘alâ khilâfin fî dzâlika).
[36] Ibn Khalikân, Abû al-‘Abbâs Syams al-Dîn Ahmad ibn Muhammad ibn Abû Bakar, Op.Cit., hlm. 137. Al-Jazârî, Abû al-Hasan ‘Alî ibn Abî al-Karam Muhammad ibn Muhammad al-Syaybânî, Op.Cit., hlm. 164. Al-Adnarawî, Ahmad ibn Muhammad, Thabaqât al-Mufassirîn, hlm. 160. Al-Dzahabî, Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsmân ibn Qâyimâz, al-Mu’în fî Thabaqât al-Muhaddîtsîn, hlm. 43. Zâdat, ‘Abd al-Lathîf ibn Muhammad Riyâdh, Asmâ´ al-Kutub, ditahqîq oleh Muhammad al-Tûnajî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1983), hlm. 275. Abû Bakar, Muhammad ibn ‘Abd al-Ghannî, Takmilat al-Ikmâl, 4 Jilid, ditahqîq oleh ‘Abd al-Quyyûm ‘Abd Rabbi al-Nabî (Mekah: Jâmi’ah Umm al-Qurrâ, 1410 H), Jilid 1, cet. I, hlm. 420.
[37] Al-Suyûthî, Jalâl ibn ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Bakar, Op.Cit., hlm. 50. Al-Baghdâdî, Abû Bakar Muhammad ibn ‘Abd al-Ghannî, Op.Cit., hlm. 251.
[38] Al-Dzahabî dalam subbab “أشهر ما دُوِّنَ من كتب التفسير المأثور وخصائص هذه الكتب”. Sedangkan al-Zarqânî ketika melakukan pembahasan tentang Ma’âlim al-Tanzîl memberi komentar:
هو العلامة أبو محمد الحسين بن مسعود البغوي الفقيه الشافعي كان إماما في التفسير والحديث له التصانيف المفيدة ومنها معالم التنزيل أتى فيه بالمأثور ولكن مجردا عن الأسانيد.
                Al-Dzahabî, Muhammad Husayn, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, hlm. 22, Abû Sulaymân, Shâbir Hasan Muhammad, Mawrid al-Zham’ân fî ‘Ulûm Al-Qur´ân (Bombay: al-Dâr al-Salafiyyah, 1984), cet. I, hlm. 215 dan al-Shâbûnî, Muhammad ‘Alî, al-Tibyân fî Ulûm Al-Qur´ân (Indonesia: Dâr Ihyâ al-Turâts ‘Arabî, 1985), cet. I, hlm. 189 dan 191.
[39] Al-Zarqânî ketika melakukan pembahasan tentang Ma’âlim al-Tanzîl memberi komentar:
معالم التنزيل أتى فيه بالمأثور ولكن مجردا عن الأسانيد.
                Al-Zarqânî, Muhammad ‘Abd al-‘Azhîm, Manāhil al-‘Irfān fî ‘Ulûm Al-Qur´ân, Jilid 2, hlm. 30.
[40] Ibn Taymiyyah berkata:
قال العلامة ابن تيمية: (والبغوي تَفْسِيرُهُ مُخْتَصَرٌ مِنْ الثَّعْلَبِيِّ لَكِنَّهُ صَانَ تَفْسِيرَهُ مِنْ الْأَحَادِيثِ الْمَوْضُوعَةِ وَالْآرَاءِ الْمُبْتَدَعَةِ).
                Ibn Taymiyyah, Abû al-‘Abbâs Taqqiy al-Dîn Ahmad ibn ‘Abd al-Halîm al-Harânî, Majmû’ al-Fatâwa, 37 Juz, ditahqîq oleh Anwâr al-Bâz & ‘Âmir al-Jazâr (t.t: Dâr al-Wafâ´, 2005), cet. III, Juz XIII, hlm 354.
                Pada tempat yang lain, Ibn Taymiyyah menandaskan:
وقد سئل عن أي التفاسير أقرب إلى الكتاب والسنة؟ الزمخشري أم القرطبي، أم البغوي؟ أو غير هؤلاء؟ فأجاب: وَأَمَّا التَّفَاسِيرُ الثَّلَاثَةُ الْمَسْئُولُ عَنْهَا فَأَسْلَمُهَا مِنْ الْبِدْعَةِ وَالْأَحَادِيثِ الضَّعِيفَةِ الْبَغَوِيّ، لَكِنَّهُ مُخْتَصَرٌ فِي تَفْسِيرِ الثَّعْلَبِيِّ وَحَذَفَ مِنْهُ الْأَحَادِيثَ الْمَوْضُوعَةَ وَالْبِدَعَ الَّتِي فِيهِ وَحَذَفَ أَشْيَاءَ غَيْرَ ذَلِكَ).
                Ibn Taymiyyah, Abû al-‘Abbâs Taqqiy al-Dîn Ahmad ibn ‘Abd al-Halīm al-Harânî, al-Fatâwâ al-Kubrâ, 6 Jilid, ditahqîq oleh Muhammad ‘Abd al-Qâdir ‘Athâ & Mushtafâ ‘Abd al-Qâdir ‘Athâ (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1976), cet. I, Jilid V, hlm. 85 dan Majmû’ al-Fatâwa, hlm. 386. Al-Namr, Muhammad ‘Abdullâh dkk, “Manhaj al-Baghawî fî al-Tafsîr” dalam al-Baghawî, Muhyi al-Sunnah Abî Muhammad ibn al-Husayn ibn Mas’ûd, Ma’âlim al-Tanzîl, 8 Jilid, ditahqîq oleh Muhammad ‘Abdullâh al-Namr dkk (Dâr Thayyibah li Nasyr wa al-Tawjî, 1998), cet. IV, Jilid 1, hlm. 8.
                Sedangkan al-Khâzin dalam muqaddimah tafsirnya menyatakan:
من أجَّلِ المصنفات فى علم التفسير وأعلاها، وأنبلها وأسناها، جامع للصحيح من الأقاويل، عار عن الشبُهِ والتصحيف والتبديل، محلَّى بالأحاديث النبوية، مطرَّز بالأحكام الشرعية، موشَّى بالقصص الغريبة، وأخبار الماضيين العجيبة، مرصَّع بأحسن الإشارات، مُخَرَّج بأوضح العبارات، مُفَرَّغ فى قالب الجمال بأفصح مقال".
[41] Faudah, Mahmud Basuni, Tafsir-Tafsir Al-Qur´an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1987), cet. I, hlm. 53 dan 57.
[42] “Muqaddimah al-Mu´allif” dalam al-Baghawî fî al-Tafsîr” dalam al-Baghawî, Muhyi al-Sunnah Abū Muhammad ibn al-Husayn ibn Mas’ûd, Op.Cit., hlm. 34.
[43] Ibid., hlm. 34-38.
[44] Al-Baghawî, Muhyi al-Sunnah Abû Muhammad ibn al-Husayn ibn Mas’ûd, Ma’âlim al-Tanzîl, Jilid 1, hlm 38-45.
[45] Suatu metode yang menjelaskan makna-makna yang dikandung oleh ayat Al-Qur´an yang urutannya disesuaikan dengan tertib ayat yang ada dalam mushhaf Al-Qur´an. Penjelasanan makna-makna ayat tersebut, bisa makna kata atau penjelasan umumnya, susunan kalimat, asbāb al-nuzûl-nya serta keterangan yang dikutip dari Nabi Saw, sahabat maupun tabi’in atau menafsirkan ayat-ayat Al-Qur´an dengan memaparkan berbagai aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang sedang ditafsirkan itu serta menerapkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan dari mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Diantara kelompok tafsir yang masuk metode analitis-ma´tsûr adalah Tafsîr Ma’âlim al-Tanzîl karya al-Baghawî (w. 516 H) dan al-Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr bi al-Ma´tsûr karya Jalâl al-Dîn al-Suyûthî (849 – 911 H), sedangkan kitab-kitab yang termasuk metode analitis-ra´y adalah Tafsîr al-Khâzin atau Lubâb al-Ta´wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl karangan al-Khâzin (741 H), Tafsîr Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta´wîl karya al-Baydhâwî (w. 691 H), Tafsīr al-Kasysyâf ‘an Haqâ´iq al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta´wîl karya Mahmûd ibn ‘Umar al-Zamakhsayarî (w. 538 H), Tafsîr Al-Qur´ân al-‘Azhîm karangan al-Tustarî (283 H), Tafsîr Haqâ´iq Al-Qur´ân karya al-Syirāzī (w. 606 H), Tafsîr Ahkâm Al-Qur´ân karya Ibn al-Arabî (w. 543 H), Tafsîr al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur´ân karya al-Qurthubî, al-Tafsîr al-Kabîr aw Mafâtih al-Ghayb karya Fakhr al-Râzî (w. 606 H), Tafsîr al-Jawâhir fî Tafsîr Al-Qur´ân karya al-Syaykh Thanthâwî Jawharî, al-Tafsîr al-‘Ilm li al-Âyât al-Kawniyah karangan Hafni Ahmad, Tafsīr al-Manâr tulisan Muhammad Rasyîd Ridhâ (w. 1935 M), Tafsîr al-Marâghî karya Ahmad Mustahafâ al-Marâghî (w. 1945 M), Tafsîr Al-Qur´ân al-Karîm karya al-Syaikh Mahmûd Syaltût, Tafsir al-Azhar karya Prof. Hamka, dan Tafsir al-Mishbâh karya Prof. M. Quraish Shihab. Lihat, Baidan, Nasharuddin, Metode Penafsiran Al-Qur´ān: Kajian Kritis Terhadap Ayat-Ayat yang Beredaksi Mirip, hlm. 68-70 dan Metodologi Penafsiran Al-Qur´an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), cet III, hlm. 13-169.
Pemikir Aljazair kontemporer, Malik bin Nabi, menilai bahwa upaya para ulama menafsirkan Al-Qur´an dengan metode tahlīlī itu, tidak lain kecuali dalam rangka upaya mereka meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan Al-Qur´an. Sedangkan metode mawdhū’ī diartikan, di mana mufasirnya berupaya menghimpun ayat-ayat Al-Qur´an dari berbagai surat dan yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian, penafsir membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Lihat, Shihab, Quraih, Membumikan Al-Qur´ān: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2002), Cet. XXIII, hlm. 86-87.
Metode tahlîlî – yang dinamai oleh Baqir al-Shadr – dengan metode tajzî´î, adalah satu metode tafsir yang mufassir-nya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur´ān dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Qur´an sebagaimana tercantum di dalam mushhaf. Segala segi yang yang dianggap perlu, bermula dari arti kosakata, asbâb al-nuzûl, munâsabah dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat. Metode ini, walaupun dinilai sangat luas, namun tidak menyelesaikan satu pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya, pada ayat lain. Lihat, al-Sadr, Muhammad Baqir, “Pendekatan Tematik terhadap Tafsir Al-Qur´an,” dalam Ulumul Qur´an: Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, vol I, no 4 (Jakarta: LSAf, Januari-Maret 1990), hlm. 28- 36.
[46] ‘Abdullāh al-Namr dkk, “Manhaj al-Baghawī fī al-Tafsīr” dalam al-Baghawī, Muhyi al-Sunnah Abū Muhammad ibn al-Husayn ibn Mas’ūd, Op.Cit., hlm. 8-11.

A. Pendahuluan
            Al-Qur´an memperkenalkan dirinya sebagai hudân li al-nâs (petunjuk bagi manusia)[1] yang akan mengantarkan dan mengarahkan pembacanya kepada jalan yang lurus.[2] Al-Qur´an juga memiliki kekuatan luar biasa yang berada di luar kemampuan apapun[3] dan tergolong ke dalam satu kitab yang memiliki pengaruh luas serta mendalam terhadap jiwa manusia pada umumnya dan kaum Muslimin pada khususnya.[4]
Al-Qur´an adalah verbum dei (kalâmullâh) yang diwahyukan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw melalui perantaraan (rûh al-amîn) Jibrîl selama kurang lebih dua puluh dua tahun proses pewahyuannya. Kesadaran terhadap hakikat Al-Qur´an sebagai wahyu Allah (kalâmullâh/verbum dei) merupakan landasan yang fundamental dalam bebagai konsep kehidupan umat Islam, baik secara normatif-ideologis, sosiologis-antropologis, filosofis-interpretatif ataupun praksis-implementatif. Kesadaran ini telah dimulai sejak wahyu pertama turun kepada Nabi Muhammad saw.
Selain itu, Kitab suci ini juga dipergunakan oleh kaum Muslimin untuk mengabsahkan perilaku, melandasi berbagai aspirasi umat, memelihara berbagai harapan, juga memperkukuh identitas kolektif dan menjustifikasi tindakan peperangan. Kehadiran Al-Qur´an juga telah menghasilkan beribu jilid komentar (baca: tafsir), yang secara langsung maupun tidak, telah berandil besar dalam proses peradaban Islam itu sendiri. Dengan demikian, dapat ditandaskan bahwa peradaban Islam yang, sejak awal kelahirannya empat belas abad yang lalu hingga sekarang, pada hakikatnya adalah dialektika antara normativitas Al-Qur´an dengan historisitas kemanusiaan.[5] Implikasinya, berbagai macam tafsir lahir[6] dan menjadi referensi umat Islam dalam menjawab berbagai persoalan yang mengitari realitasnya.
Penghayatan umat Islam terhadap Al-Qur´an, yang diaktualisasikan dalam kitab-kitab tafsir, selain bisa dilihat sebagai aktivitas intelektual kaum terpelajar umat Muslim pada zamannya, juga dapat dilihat sebagai sebuah bentuk kebutuhan dalam menyelaraskan kehidupannya dengan kehendak dan keinginan Tuhan yang, tentu saja, bernilai ibadah. Oleh sebab itu kajian atas fenomena Islam dengan sama sekali mengabaikan kajian atas Al-Qur´an (dan tafsirnya) merupakan suatu langkah yang tidak akan menemukan validitasnya secara memadai.
Makalah ini akan mencoba untuk mengurai salah satu tafsir anak zamannya, yaitu Ma’âlim al-Tanzîl karya al-Baghawī. Tafsir ini, selain posisinya cukup unik karena merupakan ringkasan (mukhtashar)[7] dari al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsīr Al-Qur´ân karya al-Tsa’labī,[8] juga karena tafsir ini balum mendapatkan perhatian yang semestinya dari para pengkaji Al-Qur´an dan tafsir. Dengan demikian, tulisan ini hendak memberikan kontribusi tentang siapa dan bagaimana al-Baghawî sebagai pengarang Ma’âlim al-Tanzîl ini sebenarnya serta menelisik tentang metodologi yang digunakan al-Baghawî dalam menafsirkan Al-Qur´an. Insyâ Allah Ta’âla.

B. Setting Biografis dan Karir Intelektual Al-Baghawî
Pengarang tafsir ini adalah Abû Muhammad al-Husayn ibn Mas’ûd ibn Muhammad al-Farrâ´ al-Baghawî, seorang mufassir sekaligus muhaddits yang mencapai gelar al-hâfizh, ahli fikih (faqīh) Syafî’î dan mujtahid. Menurut ‘Abd Allâh ibn Ahmad ibn ‘Alî al-Zayd, pengarang Mukhtashar Tafsîr al-Baghawî, al-Baghawî dilahirkan pada tahun-tahun awal abad ke-4 yang termasuk ke dalam generasi ke-5 H.[9] Sementara Yâqût, dalam Mu’jam al-Buldân, berpendapat bahwa al-Baghawî dilahirkan pada tahun 433 H,[10] sedangkan menurut al-Zirkilî tahun kelahirannya adalah 426 H.[11] Dalam sejumlah literatur yang membahas tentang Tafsîr Ma’âlim al-Tanzīl, khususnya ketika mengeksplorasi tentang tahun kelahiran beliau, informasi yang dimunculkan terkesan debatable dan menjurus kontradiktif, bahkan ditemukan pula sejumlah keterangan yang tidak menginformasikan tentang hal ini.[12]
Sependek penelusuran penulis, tidak terdapat satu pun keterangan yang memberikan informasi tentang riwayat al-Baghawî kecil serta aktivitas kehidupannya. Namun, menilik kepada sejumlah keilmuan yang dikuasai serta karya-karya yang dihasilkanya, dapat dipastikan bahwa sebagian besar kehidupannya dihabiskan untuk melakukan pengembaraan intelektual (rihlah fî thalab al-‘ilm) dari satu negeri ke negeri yang lain, seperti menghadiri sejumlah halaqah keilmuan, melakukan kunjungan sekaligus belajar kepada sejumlah syaykh, sebuah karakter tradisi intelektual yang biasa dilakukan oleh sarjana Muslim klasik-besar dalam peradaban Islam dan pada zamannya.[13]
Beliau terkenal dengan julukan al-Farrâ atau terkadang dengan sebutan Ibn al-Farrâ,[14] sebuah nama yang merujuk kepada aktivitas penghidupannya, yaitu sebagai pedagang kulit berbulu (والفراء: نسبة إلى عمل الفراء وبيعها).[15] Sementara nama al-Baghawî, diambil dari nama Bagh atau Baghsyûr,[16] yang kemudian dijadikan nama tidak resmi dari tafsirnya sebagai simplikasi penyebutan dan kebiasaan, dinisbatkan kepada salah satu tempat di kota Khurâsân antara Marwa dan Hirrâh (البغوي هذه النسبة إلى بلد من بلاد خراسان بين مرو وهراة يقال له بغ وبغشور),[17] yang kemudian nama tersebut dilekatkan kepadanya.
Al-Baghawî mendalami ilmu-ilmu agama kepada sejumlah tokoh pada zamannya, di antaranya adalah al-Qâdhî Hasan atau al-Qâdhî al-Husayn ibn Muhammad al-Marwarûdzî, pemilik Kitâb al-Ta’lîqah (khusus fikih dan hadits), Abû ‘Umar ‘Abd al-Wâhid ibn Ahmad al-Malîhî, Abû al-Hasan ‘Abd al-Rahmân al-Dâwudî, Abû al-Hasan ibn Muhammad ibn Muhammad al-Syîrazî, Ya’qûb ibn Ahmad al-Shîrafî, Abû al-Hasan ‘Alî ibn Yûsuf al-Juwaynî, Abû al-Fadhl Ziyâd ibn Muhammad al-Hanafî, Ahmad ibn Abī Nashr al-Kûfanî, Hisân al-Manî’î, Abû Bakar Muhammad ibn Abî al-Haytsam al-Turâbî. Adapun di antara murid-muridnya adalah Abû Manshûr, Abû al-Futûh al-Thâ´î, Abû al-Makârim Fadhullâh ibn Muhammad al-Nûqânî dan Fakr ‘Alî ibn al-Bukhârî, di mana keduanya meriwayatkan hadits dari beliau secara ijâzah.[18]
Menyebut beberapa pengakuan terhadap integritas kecendekiawanan al-Baghawî adalah sebagaimana berikut ini.
  1. Al-Suyûthî[19] menyatakan, “Imâmân fî al-tafsîr, imâmân fî al-hadîts wa imâmân fi al-fiqh.”
  2. Ibn Khalikân[20] mengilustrasikan dengan pernyataan, “Kâna bahrân fî al-‘ulûm.”
  3. Abû Bakar Muhammad ibn ‘Abd al-Ghannî menyatakan dengan perkataan, “Imâmun min a´imat ahl al-naql”,[21]
  4. Tâj al-Dîn al-Subkî[22] menyatakan dengan ungkapan, “Kâna imâmâm jalîlân wa wara’ân, zâhidân, faqîhân, muhadditsân, mufassirân jâmî’ân bayna al-‘ilmi wa al-’amali, sâlikân sabîl al-salafi.”
  5. Ibn al-Wardī[23] menyebutnya dengan pernyataan, “Al-Faqîh, al-muhaddits, al-mufassir bahr al-‘ulûm.”
  6. Al-Dzahabî[24] dengan, “Kâna Sayyidân Imâmân, ‘âlimân ‘alâmatan, zâhidân, qâni’ân bi al-yasīr bûrika lahu fî tashânîfihi wa ruziqa fîhâ bi al-qubûli al-tâmi li husni qashdihi wa shidqi niyyatihi.”
  7. Al-Zarqânî[25] menandaskannya dengan, “Imâmân fi al-tafsîr wa al-hadîts.”
Tentang kepribadiannya, al-Baghawî dikenal sebagai seorang yang wara’, zuhud serta tidak menerima pelajaran kecuali dalam keadaan bersih. Tentang ke-qana’ah-annya, sebagaimana diungkapkan oleh al-Suyûthî dan Ibn Khalikân, tergambar dari kebiasaannya yang hanya senang makan roti (tanpa disertai bumbu apapun) yang kemudian dikritik sehingga menambahkannnya dengan selai. Juga diceritakan menurut Ibn Khalikân, menukil pendapat al-Hâfizh Zakî al-Dîn ‘Abd al-‘Azhîm al-Munzhirî dalam Kitâb al-Fawâ´id al-Safariyyah, ketika al-Baghawî ditinggal mati istrinya, beliau tidak mengambil sedikit pun bagian warisannya.
Al-Baghawî sendiri dalam persoalan fikih (furû’) merupakan tokoh yang bermazhab syafi’i sementara dalam konteks akidah (ushûl) condong kepada aliran salafi denga berpegang kuat kepada Al-Qur´an dan Hadis sehingga terkenal dengan julukan Muhyî al-Sunnah,[26] selain dengan julukan Rukn al-Dîn,[27] al-faqīh al-mujtahid,[28] al-Imâm, Syaykh al-Islâm,[29] dan Zhahîr al-Dîn.[30] Dalam dunia tulis menulis, ia termasuk penulis yang prolifik. Dalam berbagai catatan, al-Baghawî mengarang Kitâb al-Tahdzîb dalam bidang fikih, Syarh al-Sunnah dalam hadits, al-Mashâbîh dan al-Jam’ bayna al-Shahîhayn serta lain sebagainya,[31] semisal Irsyād al-Anwâr fî Syamâ´il al-Nabî al-Mukhtâr,[32] Tarjamah al-Ahkâm fi al-Furû’, al-Tahdzîb fī al-Furû’, al-Jam’u bayna al-Shahīhayn al-Bukhârî wa Muslim, Syarh al-Sunnah fî al-Hadîts,[33] al-Kifâyah fî al-Fiqhi, al-Kifâyah fî al-Qirâ´at, Mashâbīh al-Sunnah yang berisi 4719 hadits, Ma’âlim al-Tanzîl dan Mu’jam al-Syuyûkh.[34]
Menurut ‘Abd Allâh ibn Ahmad ibn ‘Alî Al-Zayd, di penghujung akhir usianya, yaitu pada 6 tahun terakhir kehidupannya atau antara tahun 510 – 516 H, al-Baghawî menetap di Marwa al-Rûdz, sebuah tempat yang menjadi tanah air kedua baginya.[35] Al-Baghawî sendiri meninggal pada bulan Syawal tahun 510[36] atau 516 H,[37] di Marwa al-Rûdz dan dikuburkan berdampingan dengan makam gurunya, al-Qâdhî Husayn, di perkuburan al-Thâliqân, sebuah perkuburan yang terkenal di daerah tersebut.

C. Tafsîr Ma’âlim al-Tanzîl
Sejumlah pakar tafsir berkesimpulan bahwa Tafsîr al-Baghawî merupakan salah satu tafsir yang masuk dalam kategori ma´tsûr[38] dengan menghilangkan bagian sanad periwayatan.[39] Sementara menurut Ibn Taymiyyah, Ma’âlim al-Tanzîl merupakan mukhtashar dari al-Kasyf wa al-Bayān ‘an Tafsīr Al-Qur´ān karya al-Tsa’labī, namun – sesuai dengan integritas dan dedikasi keilmuannya, al-Baghawī telah melakukan verfikasi ulang terhadap riwayat-riwayat yang dijadikan rujukan penafsiran sehingga validitasnya selamat dari hadits-hadits mawdhû’ dan pendapat-pendapat yang batil.[40]
Adapun Basuni Faudah dalam karyanya, menggolongkan Ma’âlim al-Tanzîl sebagai sebagai salah satu kitab tafsir bercorak bi al-ma´tsûr terpenting, termasyhur serta banyak dikenal orang. Meskipun demikian, lanjut Faudah, al-Baghawī tidak membatasi metode tafsirnya dengan hanya menyandarkan terhadap validitas riwayat semata, tetapi menggabungkan antara corak bi al-ma´tsûr dengan bi al-ra´yi sekaligus yang disertai dengan melakukan ijtihad yang terkategori maqbûl. Namun, sebagaimana yang ditegaskan Faudah, corak yang paling dominan dari Ma’âlim al-Tanzîl adalah bi al-ma´tsûr-nya.[41]
Sebagai sebuah tafsir yang lahir pada zamannya, tidak dapat dipungkiri bahwa Ma’âlim al-Tanzîl bukan merupakan karya orisinal al-Baghawî semata, tetapi banyak terilhami oleh karya-karya tafsir sebelumnya. Hal ini dinyatakan oleh al-Baghawî sendiri sebagaimana berikut.
وما نقلت فيه من التفسير عن عبد الله بن عباس رضي الله عنهما، حبر هذه الأمة، ومن بعده من التابعين، وأئمة السلف، مثل: مجاهد، وعكرمة، وعطاء بن أبي رباح، والحسن البصري، وقتاده، وأبي العالية، ومحمد بن كعب القرظي، وزيد بن أسلم، والكلبي، والضحاك، ومقاتل بن حيان، ومقاتل بن سليمان، والسُّدّي، وغيرهم فأكثرها مما أخبرنا به الشيخ أبو سعيد أحمد بن إبراهيم الشريحي الخوارزمي، فيما قرأته عليه عن الأستاذ أبي إسحاق أحمد بن محمد بن إبراهيم الثعلبي عن شيوخه رحمهم الله.[42]

Setelah iu, disusul dengan memberikan catatan panjang terhadap sejumlah tafsir dan qirâ´at yang djadikan referensi penafsirannya.
* أما تفسير عبد الله بن عباس رضي الله عنهما ترجمان القرآن الذي قال فيه النبي صلى الله عليه وسلم: "اللهم علمه الكتاب" وقال: "اللهم فقهه في الدين" قال أبو إسحاق: أخبرنا أبو محمد ابن عبد الله بن حامد أنا أبو الحسن أحمد بن محمد بن عبدوس الطرائفي ثنا عثمان بن سعيد الدارمي ثنا عبد الله بن صالح أن معاوية بن صالح حدثه عن علي بن أبي طلحة الوالبي عن عبد الله بن عباس. وقال: أنا أبو القاسم الحسن بن محمد بن حبيب ثنا عبد الله بن محمد الثقفي أنا أبو جعفر محمد بن نصرويه المازني أنا محمد بن سعيد بن محمد بن الحسن بن عطيه بن سعد العوفي قال حدثني عمي الحسين بنالحسن بن عطيه حدثني أبي عن جدي عطيه عن ابن عباس. وقال الثعلبي ثنا أبو القاسم الحسن بن محمد بن الحسن النيسابوري أنا أحمد بن محمد إبراهيم الصريمي المروزي أنا أبو العباس أحمد بن الخضر الصيرفي، أنا أبو داود سليمان بن معبد السنجي أنا علي بن الحسين بن واقد عن يزيد النحوي عن عكرمة عن ابن عباس.
* وأما تفسير مجاهد بن جبر المكي قال: أخبرنا أبو محمد عبد الله بن حامد الأصفهاني قال أنا أبو عبد الله محمد بن أحمد بن بطة ثنا عبد الله بن محمد بن زكريا ثنا سعيد بن يحيى بن سعيد الأموي ثنا مسلم بن خالد الزنجي عن ابن أبي نجيح عن مجاهد.
* وأما تفسير عطاء بن أبي رباح قال: ثنا أبو القاسم الحسن بن محمد بن حسن النيسابوري ثنا أبو عبد الرحمن أحمد بن ياسين بن الجراح الطبري أنا أبو محمد بن بكر بن سهل الدمياطي ثنا عبد الغني ابن سعيد الثقفي عن أبي محمد موسى بن عبد الرحمن الصنعاني عن ابن جريج عن عطاء بن أبي رباح.
*وأما تفسير الحسن البصري قال: حدثني أبو القاسم الحسن بن محمد بن عبد الله بن المكتب حدثني أبو الحسن محمد بن أحمد بن الصلت المعروف بابن شنبوذ المقرئ 2/أ ثنا سعيد بن محمد ثنا المستهل بن واصل عن أبي صالح عن عمرو بن عبيد عن الحسن بن أبي الحسن البصري.
* وأما تفسير قتادة قال: أنا أبو محمد عبد الله بن حامد الأصفهاني أنا أبو علي حامد بن محمد بن الهروي ثنا أبو يعقوب إسحاق بن الحسن بن ميمون الحربي ثنا أبو أحمد الحسين بن محمد المروزي ثنا شيبان بن عبد الرحمن النحوي عن قتادة وقال ثنا أبو القاسم الحبيبي أنا أبو زكريا العنبري ثنا جعفر ابن محمد بن سوار أنا محمد بن رافع عن عبد الرزاق عن معمر عن قتادة بن دعامة السدوسي.
* وأما تفسير أبي العالية واسمه رُفيع بن مهران قال: ثنا أبو القاسم الحسن بن محمد بن الحسن المفسر أنا أبو عمرو أحمد بن محمد بن منصور العمركي بَسْرخَس ثنا أبو الحسن أحمد بن إسحاق بن إبراهيم بن [يزيد] [البصري] أنا أبو علي الحسن بن موسى الأزدي عن عمار بن الحسن بن بشير الهمذاني عن عبد الله بن أبي جعفر عن أبيه عن الربيع بن أنس عن أبي العالية الرياحي.
* وأما تفسير القرظي: قال: ثنا أبو القاسم الحسن بن محمد بن حبيب ثنا أبو العباس محمد بن الحسن الهروي ثنا رجاء بن عبد الله أنا مالك بن سليمان الهروي عن أبي معشر عن محمد بن كعب القرظي.
* وأما تفسير زيد بن أسلم قال: أنا الحسن بن محمد بن الحسن قال كتب إليَّ أحمد بن كامل ابن خلف أن محمد بن جرير الطبري حدثهم قال: ثنا يونس بن عبد الأعلى الصدفي أنا عبد الله بن وهب أخبرني عبد الرحمن بن زيد بن أسلم عن أبيه.
* وأما تفسير الكلبي: فقد قرأت بمرو على الشيخ أبي عبد الله محمد بن الحسن المروزي في شهر رمضان سنة أربع وستين وأربعمائة قال: أنا أبو مسعود محمد بن أحمد بن محمد بن يونس الخطيب الكُشْمِيْهَني في محرم سنة خمسين وأربعمائة قال أنا أبو إسحاق إبراهيم بن أحمد بن محمد بن معروف [الهُرْمُزْفَرَهي] ثنا محمد بن علي الأنصاري المفسر ثنا علي بن إسحاق وصالح بن محمد السمرقندي قالا: ثنا محمد بن مروان السدي عن محمد بن السائب الكلبي عن أبي صالح أنا باذان مولى أم هانئ عن ابن عباس.
* وأما تفسير الضحاك بن مزاحم الهذلي قال: أنا الأستاذ إسحاق الثعلبي ثنا أبو القاسم الحسن بن محمد السدوسي ثنا أبو عمر أحمد بن محمد العمركي بسرخس ثنا جعفر بن محمد بن سوار ثنا أحمد بن محمد بن جميل المروزي ثنا أبو معاذ عن عبيد الله بن سليمان الباهلي عن الضحاك.
* وأما تفسير مقاتل بن حيان قال: أنا عبد الله بن حامد الوزَّاني ثنا أحمد بن محمد بن عبدوس ثنا إسماعيل بن قتيبة ثنا أبو خالد يزيد بن صالح الفراء النيسابوري حدثنا [بكير بن معروف البلخي الأسدي] أبو معاذ 2/ب عن مقاتل بن حيان.
* وأما تفسير مقاتل بن سليمان قال: أخبرنا أبو إسحاق إبراهيم بن محمد المهرجاني أنا أبو محمد عبد الخالق بن الحسين بن محمد السقطي المعروف بابن أبي رؤبة ثنا عبد الله بن ثابت بن يعقوب المَقْرِيّ أبو محمد قال: حدثني أبي حدثني الهذيل بن حبيب أبو صالح [الدنداني] عن مقاتل بن سليمان.
* وأما تفسير السدي قال: ثنا أبو القاسم الحسن بن محمد بن الحسن أنا أبو الطيب محمد بن عبد الله ابن مبارك الشعيري ثنا أحمد بن محمد بن نصر اللباد ثنا عمرو بن طلحة القناد عن +اسباط عن إسماعيل السدي. وما نقلته عن المبتدأ لوهب بن منبه وعن المغازي لمحمد بن إسحاق أبو شعيب فأخبرنيه أبو سعيد الشريحي قال: أنا أحمد بن محمد بن إبراهيم الثعلبي قال: أنبأني أبو نعيم عبد الملك بن الحسن بن محمد بن إسحاق بن الأزهري أنا أبو الحسن محمد بن أحمد بن البراء العبدي قال: قرأت على أبي عبد الله عبد المنعم بن إدريس عن أبيه عن وهب بن منبه. وأنا أبو سعيد الشريحي أنا أبو إسحاق الثعلبي أنا أبو عبد الله محمد بن عبد الله الحافظ أنا أبو العباس محمد بن يعقوب بن يوسف المعقلي ثنا أحمد بن عبد الجبار العطاردي أنا يونس بن بكير عن محمد بن إسحاق بن يسار المدني وأنا أبو سعيد الشريحي أنا أبو إسحاق الثعلبي أنا أبو محمد عبد الله بن محمد بن أحمد بن عقيل الأنصاري أنا أبو الحسن علي بن الفضل الخزاعي أنا أبو شعيب بن عبد الله بن الحسين الحراني أنا النفيلي أنا محمد بن سلمة عن محمد بن إسحاق.
فهذه أسانيد أكثر ما نقلته عن هؤلاء الأئمة وهي مسموعة من طرق سواها تركت ذكرها حذرًا من الإطالة وربما حكيت عنهم وعن غيرهم من الصحابة أو التابعين قولًا سمعته بغير هذه الأسانيد بل أذكر أسانيد بعضها في موضعه من الكتاب إن شاء الله تعالى.
ثم إن الناس كما أنهم متعبدون باتباع أحكام القرآن وحفظ حدوده فهم متعبدون بتلاوته، وحفظ حروفه على سنن خط المصحف الإمام الذي اتفقت عليه الصحابة، وأن لا يجاوزوا فيما يوافق الخط عما قرأ به القراء المعروفون الذين خلفوا الصحابة والتابعين، واتفقت الأئمة على اختيارهم.
وقد ذكرت في الكتاب قراءات من اشتهر منهم بالقراءة، واختياراتهم على ما قرأته على الإمام أبي نصر محمد بن أحمد بن علي المروزي رحمه الله تلاوة ورواية قال: قرأت على أبي القاسم طاهر بن علي الصيرفي قال: قرأت على أبي بكر أحمد بن الحسين بن مهران بإسناده المذكور في كتابه المعروف بكتاب الغاية وهم: أبو جعفر يزيد بن القعقاع، وأبو عبد الرحمن نافع بن عبد الرحمن المدنيان، وأبو معبد عبد الله بن كثير الداري المكي، وأبو عمران عبد الله بن عامر الشامي، وأبو عمرو زبان بن العلاء المازني، وأبو محمد يعقوب بن إسحاق الحضرمي البصريان، وأبو بكر عاصم بن أبي النجود الأسدي، وأبو عمارة حمزة بن حبيب الزيات، وأبو الحسن علي بن حمزة الكسائي الكوفيون فأما أبو جعفر فإنه أخذ القراءة عن عبد الله بن عباس وأبي هريرة وغيرهما وهم قرأوا على أبي بن كعب، وأما نافع فإنه قرأ على أبي جعفر القارئ وعبد الرحمن بن هرمز الأعرج وشيبه بن نصاح وغيرهم من التابعين الذين قرأوا على أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم وقال الأعرج قرأت على أبي هريرة، وقرأ أبو هريرة على أُبِّي بن كعب.
وأما عبد الله بن كثير فإنه قرأ على مجاهد بن جبر وقرأ مجاهد على ابن عباس، وقرأ ابن عباس على أبي ابن كعب، وقرأ أبي بن كعب على رسول الله صلى الله عليه وسلم.
[وأما أبو عمرو فإنه قرأ على مجاهد وسعيد بن جبير، وهما قرآ على ابن عباس وقرأ ابن عباس على أبي ابن كعب وقرأ أبي بن كعب على رسول اللّه صلى الله عليه وسلم] وأما عبد الله بن عامر فإنه قرأ على المغيرة بن شهاب المخزومي، وقرأ المغيرة على عثمان بن عفان.
وأما عاصم فإنه قرأ على أبي عبد الرحمن السلمي وقرأ أبو عبد الرحمن على علي بن أبي طالب قال عاصم: وكنت أرجع من عند أبي عبد الرحمن فأقرأ على زر بن حبيش، وكان زر قد قرأ على عبد الله بن مسعود.
وأما حمزة فإنه قرأ على عبد الرحمن بن أبي ليلى، وسليمان الأعمش، وحمران بن أعين وغيرهم. وقرأ عبد الرحمن بن أبي ليلى على جماعة من أصحاب علي، وقرأ الأعمش على يحيى بن وثاب، وقرأ يحيى على جماعة من أصحاب عبد الله، وقرأ حمران على أبي الأسود الدؤلي وفرأ أبو الأسود الدؤلي على عثمان وعلي.
وأما الكسائي فإنه قرأ على حمزة، وأما يعقوب فإنه قرأ على أبي المنذر سلام بن سليمان الخراساني، وقرأ سلام على عاصم.
فذكرت قراءات هؤلاء للاتفاق على جواز القراءة بها، وما ذكرت من أحاديث رسول الله صلى الله عليه وسلم في أثناء الكتاب على وفاق آية، أو بيان حكم فإن الكتاب يطلب بيانه من السنة، وعليهما مدار الشرع وأمور الدين - فهي من الكتب المسموعة للحفاظ وأئمة الحديث، وأعرضت عن ذكر المناكير، وما لا يليق بحال التفسير، فأرجو أن يكون مباركًا على من أراده وبالله التوفيق.[43]

Langkah selanjutnya, sebelum melakukan penafsiran, al-Baghawî melakukan kajian terhadap tiga hal yang berkaitan dengan konteks Al-Qur´an yang dibaginya menjadi 3 fashal, di mana dalam setiap fashal al-Baghawî memberikan penjelasan dengan cara memasukkan jalur periwayatan secara per fashal, yaitu:
(1) فصل في فضائل القرآن وتعليمه
(2) فصل في فضائل تلاوة القرآن dan
(3) فصل في وعيد من قال في القرآن برأيه من غير علم.[44]
Setelah selesai membahas ketiga hal di atas, maka al-Baghawî melanjutkannya dengan memberikan penafsiran secara tahlîlî (analitis-ma´tsûr).[45]
Dalam kata pengantarnya, Muhammad ‘Abdullâh al-Namr dkk sebagai muhaqqiq, menyatakan bahwa Ma’âlim al-Tanzîl termasuk kategori kitab pertengahan, di mana al-Baghawî menukil basis penafsirannya dari sahabat, tabi’in, dan generasi selanjutnya. Dalam metode penafsirannya, al-Baghawî merumuskan sejumlah langkah, yaitu:
  1. Menafsirkan dengan bahasa yang mudah, tidak bertele-tele, membahas kata-kata gharīb sampai kepada pengertian yang dimaksud dengan cara merujuk derivasi kata yang disertai dengan cross check dalam Al-Qur´an dan Hadis serta penafsiran sahabat, tabi’in dan para ahli linguistik.
  2. Menggunakan metode Al-Qur´ân bi Al-Qur´ân dan atau bi al-hadîts aw bi awqâl al-shâhabah dalam menjelaskan makna. Tidak ketinggalan pula selalu berpedomen kepada aqwâl al-tabi’în wa al-mujtahidîn. Metode ini merupakan eksplorasi dari teori anna Al-Qur´ân yufassiru ba’dhuhu ba’dhân sehingga ayat yang bersifat mujmal di satu tempat, di-tafshîl di tempat lain atau men-takhsîsh ayat yang bersifat ‘umûm dengan ayat yang lain. Misalnya:
عند تفسر قوله تعالى:{وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ} إذ بّين معنى المَدِّ ثم أورد قوله تعالى: {وَنَمُدُّ لَهُ مِنَ الْعَذَابِ مَدًّا} (2) ثم بين معنى الإمداد فأورد قول الله تعالى: {وَأَمْدَدْنَاكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ}. وعند قوله تعالى: فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا} يقول: لأن الآَيات كانت تنزل تترى آية بعد آية، كلما كفروا بآية ازدادوا كفرًا ونفاقًا، وذلك معنى قوله تعالى: {وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ}.
  1. Melakukan klarifikasi atas qira´ât tertentu yang dirasanya menyebabkan perubahan makna. Ini dilakukan, misalnya dalam penafsiran :
قوله تعالي: {وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ} إذ يقول رحمه الله: "قرأ أهل المدينة وعاصم وقَرن بفتح القاف، وقرأ الآخرون بكسرها، فمتى فتح القاف فمعناه: أقررن أي الزمن بيوتكن من قولهم قررت بالمكان أقر قرارًا...... ومن كسر القاف فقد قيل: هو من قررت أقر معناه أقررن بكسر الراء، فحذفت الأولى ونقلت حركتها إلى القاف كما ذكرنا، وقيل- وهو الأصح- إِنه أمرٌ من الوقار، كقولهم من الوعد: عدن، ومن الوصل: صلن، أي كُنَّ أهل وقار وسكون، من قولهم: وقر فلان يقر وقورًا إذا سكن واطمأن.
  1. Merujuk pendapat-pendapat Ahl Sunnah dalam menolak pendapat-pendapat yang bertentangan dengannya sekaligus membela pendapat Ahl Sunnah, baik dengan cara manqûl atau ma´qûl. Seperti dalam menafsirkan:
قوله تعالى:{لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ} مثبتًا الرؤية عيانًا، مستدلًا بقوله تعالى:  وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ} وقوله تعالى: {كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ} وقوله تعالى:{لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ} ثم بين أن النبي صلى الله عليه وسلم فسر الزيادة بالنظر إلى وجه الله تعالى، ثم أورد حديثًا في إثبات الرؤية، وفرق بين الإدراك والرؤية.
  1. Memberikan penjelasan fiqhiyyah terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengannya. Bahkan, menurut muhaqqiq, kebanyakan melakukan klarifikasi ulang pendapat-pendapat ahli fikih sekaligus mentarjihkan dengan pandangan-pandangan Syâfī’î. Tetapi, terkadan al-Baghawî juga membiarkannnya tanpa melakukan pentarjihan.
  2. Terkadang menyebutkan cerita-cerita Isrâ´îliyyât.
  3. Dalam jalur riwayat, al-Baghawî memperbanyak pula jalur dari al-Kalabî.[46]

D. Penutup
            Demikianlah sepintas tentang Tafsîr Ma'âlim al-Tanzîl karya al-Baghawî. Sebagai sebuah karya anak zamannya, maka tak dapat dipungkiri apabila penafsiran yang dilakukan serta ide-ide yang dituangkan sang pengarang merupakan implementasi khazanah keilmuan yang mengitarinya. Sayangnya, tak seperti Tafsīr al-Thabarī atau Ibn Katsīr, keberadaan Tafsīr al-Baghawī ini, sependek yang penulis ketahui, masih belum mendapat apresiasi yang semestinya dalam kajian tafsir, baik secara metodologis ataupun kritik isi (penafsiran). Mudah-mudahan tulisan ini bisa memberikan setitik pengetahuan lebih lanjut tentang pengarang dan karakter Tafsîr Ma'âlim al-Tanzîl. Wallâhu a'lam bi al-Shawâb.


[1] Lihat firman Allah dalam QS. Al-Baqarah (2): 185 yang berbunyi:
شَهرُ رِمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ اْلقُرْآنَ هُدًي لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ اْلهَدَي وَاْلفُرْقَانَ ...
[2] Lihat firman Allah dalam QS. Al-Isrâ´ (17): 9 yang berbunyi:
إِنَّ هَذَا اْلقُرْآنَ يَهْدِيْ لِلَّتِيْ هِيَ أَقْوَمُ ...
[3] Lihat salah satu firman Allah dalam QS. Al-Hasyr (59): 21 yang berbunyi:
لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا اْلقُرْآنَ عَلَي جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّغًا مِنْ خَشْيَهِ اللهِ وَتِلْكَ اْلأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ.
[4] Analogi ini mungkin dapat menjelaskan maksud pernyataan di atas. Seringkali saat mendengar atau membaca Al-Qur´an, seseorang tiba-tiba merasa sangat tertarik akan tetapi, pada saat yang bersamaan, ia tidak dapat menjelaskan mengapa atau apa yang menyebabkannya merasa tertarik tersebut; apakah ini muncul karena persoalan teologis, semacam aspek esoterik dan keberagamaan seseorang, ataukah disebabkan oleh hal lain yang inheren dalam Al-Qur´an itu sendiri? Kondisi ini memberikan keyakinan bahwa Al-Qur´an memiliki daya tarik tersendiri serta memberikan pengaruh luar biasa bagi yang merasakannya.
[5] Komaruddin Hidayat menyebutnya sebagai gerak sentrifugal dan sentripetal. Gerak sentrifugal merujuk kepada teks Al-Qur´an yang memiliki daya dorong yang sangat kuat bagi umat Islam untuk melakukan penafsiran dan pengembaraan makna ayat-ayat Al-Qur´an untuk selanjutnya melakukan pengembaraan intelektual karena dorongan Al-Qur´an tersebut. Sedangkan gerak sentripetal dimaksud bahwa seluruh wacana keislaman yang telah berlangsung belasan abad dan telah melahirkan sekian banyak tafsir dan komentar mengenai berbagai bidang persoalan hidup yang sekuler, namun upaya untuk selalu merujuk kepada Al-Qur´an juga sangat kuat. Lihat, Hidayat, Komaruddin, Menafsirkan Kehendak Tuhan (Jakarta: Teraju, 2003), cet. I, hlm. 17-18.
[6] Dalam studi ilmu tafsir, dari segi sumber, tafsir dibagi menjadi (1) tafsîr bi al-ma´tsûr aw al-riwâyah aw manqûl, semisal Tafsîr Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta´wîl Âyy Al-Qur´ân karya Ibn Jarîr al-Thabarî, Tafsîr Al-Qur´ân al-‘Azhîm karya Ibn Katsîr dan al-Durr al-Mantsûr fī al-Tafsîr bi al-Ma´tsûr karya Jalâl al-Dîn ibn ‘Abd al-Rahmân al-Suyūthī serta (2) tafsîr bi al-ra´yi aw al-ma´qûl aw al-aql wa al-ijtihâd, seperti Tafsîr al-Kasysyâf ‘an Haqâ´iq al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-´Aqâwil fī Wujûh al-Ta´wîl karya Abû Qâsim Jâr Allâh al-Zamakhsyarî dan Madârik al-Tanzl wa Haqā´iq al-Ta´wîl karya Abû al-Barakât al-Nasafî. Dari segi corak dan pendekatannya, dibagi menjadi (1) tafsîr al-Lughawî, seperti Ma’ânî Al-Qur´ân karya al-Farrâ´, (2) tafsîr al-shûfî, seperti Tafsîr Haqâ´iq Al-Qur´ân karya al-Sulamî, (3) tafsîr al-‘ilmî, seperti Tafsîr Jawâhir Al-Qur´ân karya Abû Hâmid al-Ghazâlî al-Thûsî, (4) tafsîr al-falsafî, seperti Tafsîr Mafâtîh al-Ghayb aw Tafsîr al-Kabîr karya Fakhr al-Dîn al-Râzî, (6) tafsîr al-fiqhî, seperti Ahkâm Al-Qur´ân karya Abû Bakar al-Jashshâsh dan al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur´ân karya Abû ‘Abd Allâh al-Qurthubî, dan (7) tafsîr al-adabî al-ijtimâ’î, seperti Tafsîr Al-Qur´ân al-Hakîm al-Masyhûr bi Tafsîr al-Manâr karya al-Sayyid al-Imâm Muhammad Rasyîd Ridhâ. Sementara dari segi metodenya, dipecah menjadi (1) tahlîlî, (2) muqârin, (3) ijmâlî, dan (4) mawdhû’î.
[7] Ibn Taymiyyah berkata:
قال العلامة ابن تيمية: (والبغوي تَفْسِيرُهُ مُخْتَصَرٌ مِنْ الثَّعْلَبِيِّ لَكِنَّهُ صَانَ تَفْسِيرَهُ مِنْ الْأَحَادِيثِ الْمَوْضُوعَةِ وَالْآرَاءِ الْمُبْتَدَعَةِ).
                Ibn Taymiyyah, Abû al-‘Abbâs Taqqiy al-Dîn Ahmad ibn ‘Abd al-Halīm al-Harânî, Majmû’ al-Fatâwa, 37 Juz, ditahqîq oleh Anwâr al-Bâz & ‘Âmir al-Jazâr (t.t: Dâr al-Wafâ´, 2005), cet. III, Juz XIII, hlm 354.
                Pada tempat yang lain, Ibn Taymiyyah menandaskan:
وقد سئل عن أي التفاسير أقرب إلى الكتاب والسنة؟ الزمخشري أم القرطبي، أم البغوي؟ أو غير هؤلاء؟ فأجاب: وَأَمَّا التَّفَاسِيرُ الثَّلَاثَةُ الْمَسْئُولُ عَنْهَا فَأَسْلَمُهَا مِنْ الْبِدْعَةِ وَالْأَحَادِيثِ الضَّعِيفَةِ الْبَغَوِيّ، لَكِنَّهُ مُخْتَصَرٌ فِي تَفْسِيرِ الثَّعْلَبِيِّ وَحَذَفَ مِنْهُ الْأَحَادِيثَ الْمَوْضُوعَةَ وَالْبِدَعَ الَّتِي فِيهِ وَحَذَفَ أَشْيَاءَ غَيْرَ ذَلِكَ).
Ibn Taymiyyah, Abû al-‘Abbâs Taqqiy al-Dîn Ahmad ibn ‘Abd al-Halīm al-Harânî, al-Fatâwâ al-Kubrâ, 6 Jilid, ditahqîq oleh Muhammad ‘Abd al-Qâdir ‘Athâ & Mushtafâ ‘Abd al-Qâdir ‘Athâ (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1976), cet. I, Jilid V, hlm. 85 dan Majmû’ al-Fatâwa, hlm. 386.
[8] Nama lengkap beliau adalah Abû Ishâq Ahmad ibn Muhammad ibn Ibrâhîm al-Naysâbûrî al-Tsa’labî. Sejumlah pakar tidak menyebutkan tahun kelahiran beliau dan hanya mencatumkan informasi bahwa beliau wafat pada bulan Muharram tahun 427 H. Lihat, al-Suyûthî, Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Bakar, Thabaqât al-Mufassirîn, ditahqîq oleh ‘Alî Muhammad ‘Umar (Kairo: Maktabah Wahbah, 1396 H), cet. I, hlm. 17. Al-Adnarawî, Ahmad ibn Muhammad, Thabaqât al-Mufassirîn, ditahqîq oleh Sulaymân ibn Shâlih al-Khazzî (Madinah: Maktabah al-‘Ulûm wa al-Hikam, 1997), cet. I, hlm. 106. Al-Dzahabî, Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsmân, Tazkirat al-Huffâzh, 4 Jilid, ditahqîq oleh Zakariyyâ ‘Umayrât (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), Jilid III, cet. I, hlm. 194. Al-Suyûthî, Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Bakar, Bighyat al-Wi’ât fî Thabaqât al-Lughawiyyîn wa al-Nuhât, 2 Jilid, ditahqîq oleh Muhammad Abû al-Fadhl Ibrâhîm (Lebanon: al-Maktabah al-Ashriyyah, t.thn), Jilid I, hlm. 356. Al-Dzahabī, Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsmân ibn Qâyimâz, Siyyar A’lâm al-Nubalâ´, 23 Jilid, ditahqîq oleh Syu’ayb al-Arnâ´ûth dan Muhammad Na’îm al-‘Arqasûsî (Beirut: Mu´assasah al-Risâlah, 1413 H), Jilid 17, hlm. 346. Al-Subkî, Tâj al-Dîn ibn ‘Alî ibn ‘Abd al-Kâfî, Thabaqât al-Syâfīî’iyyah al-Kubrâ, 10 Jilid, ditahqîq oleh Mahmûd Muhammad al-Thanâhî dan ‘Abd al-Fattâh Muhammad al-Halw (Hajr lithibâ’ah wa al-Nasyr wa al-Tawjī, 1413 H), cet. II, Jilid 4, hlm. 58-59. Dalam karyanya yang lain, al-Dzahabî hanya memberikan informasi bahwa beliau wafat pada bulan Muharram tanpa mengikutsertakan penanggalan tahun kematiannya. Lihat, al-Dzahabî, Syams al-Dîn Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsmân, Tārīkh al-Islâm wa Wifayât al-Masyâhîr wa al-A’lâm, ditahqîq oleh ‘Umar ‘Abd al-Sallâm Tadmurî (Beirut: Dâr al-Kitâb al’Arabî, 1987), Jilid 19, cet. I, hlm. 186.
Adapun nama al-Tsa’labî, yang kemudian dijadikan nama “tidak resmi” bagi tafsirnya di kemudian hari, menurut al-Sam’ânî merupakan laqab (julukan) semata dan bukan nama keturunan. Sebagaimana yang dikutip oleh Ibn Khalikân:قال السمعاني: يقال له الثعلبي والثعالبي، وهو لقب لا نسب. Lihat, Ibn Khalikân, Abû al-‘Abbâs Syams al-Dîn Ahmad ibn Muhammad ibn Abû Bakar, Wifayât al-A’yân wa Anbâ´u Abnâ´i al-Zamân, 7 Jilid, ditahqîq oleh Ihsân ‘Abbâs (Beirut: Dâr Shâdir, 1900), Jilid 1, hlm. 80. Lihat juga dalam al-Dzahabî, Syams al-Dîn Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsmân, Tārīkh al-Islâm wa Wifayât al-Masyâhîr wa al-A’lâm, hlm. 185. Al-Dzahabī, Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsmân ibn Qâyimâz, Siyyar A’lâm al-Nubalâ´, hlm. 345 dan Al-Subkî, Tâj al-Dîn ibn ‘Alî ibn ‘Abd al-Kâfî, Thabaqât al-Syâfīî’iyyah al-Kubrâ, hlm. 59.
Sedangkan nama al-Naysâbûrî merujuk kepada nama sebuah daerah di Iran, yaitu Naysâbûr, yang menurut Ibn Khalikân, merupakan sebuah kota yang dibangun oleh salah satu raja Persia terakhir yang merasa kagum akan tempat tersebut. Lihat, Ibn Khalikân, Abû al-‘Abbâs Syams al-Dîn Ahmad ibn Muhammad ibn Abû Bakar, Loc.Cit.
[9] Al-Zarkilî, Khayr al-Dîn, al-A’lâm: Qâmûs Tarâjim li Asyhar al-Rijâl wa al-Nisâ´ min al-‘Arab wa al-Musta’ribîn wa al-Musytasriqîn, 8 Jilid (Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn, 1980), Jilid . Al-Zayd, ‘Abd Allâh ibn Ahmad ibn ‘Alî, “Tarjamah al-Imâm al-Baghawî,” dalam Mukhtashar Tafsîr al-Baghawî al-Musammâ bi Ma’âlim al-Tanzîl (Riyadh: Dâr al-Salâm li al-Nasyr wa al-Tawjî’, 1416), cet. I, hlm. 12.
[10] Al-Himawî, Abû ‘Abd Allâh Yâqût ibn ‘Abd Allâh, Mu’jam al-Buldân, 5 Jilid (Beirut: Dâr al-Fikr, t.thn.), Jilid 1, hlm. 468.
[11] Al-Namr, Muhammad ‘Abd Allâh, ‘Utsmân Jam’ah Dhamayriyyah dan Sulaymân Muslim al-Harsy (pentahqîq), “Tarjamah al-Imâm al-Baghawî,” dalam Abû Muhammad al-Husayn ibn Mas’ûd al-Baghawî Muhyî al-Sunnah, Ma’âlim al-Tanzîl, 8 Jilid (t.tp: Dâr Thayyibah, 1997), Jilid 1, cet. IV, hlm. 16.
[12] Misalnya, ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Bakar al-Suyûthî, Thabaqât al-Mufassirîn, hlm. 38. Al-Adnarawî, Ahmad ibn Muhammad, Thabaqât al-Mufassirîn, hlm. 158-160 dan al-Dzahabî, Muhammad Husayn, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, 3 Jilid (Mesir: Maktabah Wahbah, 2000), Jilid 1, cet. VII, hlm. 168. Al-Hamad, Ghânim Quddûrî, Muhâdharât fi ‘Ulûm Al-Qur´ân (Aman: Dâr ‘Amâr, 2003), cet. I, hlm. 189.
[13] Haqqî, Muhammad Shafâ´ Syaykh Ibrâhîm, ‘Ulûm Al-Qur´an min Khilâl Muqaddimât al-Tafâsîr min Nasy´atihâ ilâ Nihâyah al-Qarni al-Tsâmin al-Hijrî, 2 Jilid (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 2004), Jilid 1, cet. I hlm. 342.
[14] Al-‘Akarî, ‘Abd al-Hayy ibn Ahmad ibn Muhammad al-Hanbalī, Syadzârat al-Dzahab fī Akhbâr man Dzahab, 10 Juz, ditahqîq oleh ‘Abd al-Qâdir al-Arna´ûth & Mahmûd al-Arna´ûth (Damaskus: Dâr Ibn Katsîr, 1406), Juz IV, hlm. 48.
[15] Ibn Qâdhî Syuhbah, Abû Bakar ibn Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Umar, Thabaqât al-Syâfi’îyyah li Ibn Qâdhî Syuhbah, 4 Jilid, ditahqîq oleh al-Hâfizh ‘Abd al-Alîm Khân (Beirut: ‘Âlam Kutub, 1407), Jilid 1, cet. I, hlm. 281. Abû al-Fidâ´, al-Mukhtashar fî Akhbâr al-Basyar, 2 Jilid (t.tp: t.np, t.thn), Jilid 1, hlm. 304. Al-Malik al-Mu´ayyid Ismâ’îl ibn Abî al-Fidâ´, Târîkh Abî al-Fidâ´, 3 Jilid (t.t: t.np, t.thn), Jilid 2, hlm. 189. Sedangkan menurut Ibn Tugrî Birdî, yang beraktivitas sebagai pedagang kulit tersebut adalah ayahnya. Lihat, Ibn Tughrî Bardî, al-Nujûm al-Zâhirah fî Mulk Mishr wa al-Qâhirah (t.t: t.np, t.thn), Jilid II, hlm. 58.
[16] Baghsyûr sendiri merujuk kepada nama teritorial-geografis, sementara Bagh merujuk kepada nama kota. Lihat, Haqqî, Muhammad Shafâ´ Syaykh Ibrâhîm, ‘Ulûm Al-Qur´an min Khilâl Muqaddimât al-Tafâsîr min Nasy´atihâ ilâ Nihâyah al-Qarni al-Tsâmin al-Hijrî, hlm. 341 dalam footnote no 1.
[17] Al-Jazârî, Abû al-Hasan ‘Alî ibn Abî al-Karam Muhammad ibn Muhammad al-Syaybânî, al-Lubâb fî Tahdzîb al-Ansâb, 3 Jilid (Beirut: Dâr Shâdir, 1980), Jilid 1, hlm. 164. Al-Namr, Muhammad ‘Abd Allâh, ‘Utsmân Jam’ah Dhamayriyyah dan Sulaymân Muslim al-Harsy, Tarjamah al-Imâm al-Baghawî, hlm. 16 dan Al-Zayd, ‘Abd Allâh ibn Ahmad ibn ‘Alî, Tarjamah al-Imâm al-Baghawî, hlm. 12.
[18] Al-Dzahabî, Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsmân ibn Qâyimâz, Siyyar A’lâm al-Nubalâ´,  Jilid 19, hlm. 439-440.
[19] Al-Suyûthî, Jalâl ibn ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Bakar, Thabaqât al-Mufassirîn, hlm. 38.
[20] Ibn Khalikān, Abū al-‘Abbās Syams al-Dīn Ahmad ibn Muhammad ibn Abū Bakar, Jilid 2, hlm. 136.
[21] Al-Baghdâdî, Abû Bakar Muhammad ibn ‘Abd al-Ghannî, al-Taqyîd li Ma’rifat Ruwât al-Sunan wa al-Masânîd, hlm. 251.
[22] Al-Subkî, Tâj al-Dîn ibn ‘Alî ibn ‘Abd al-Kâfī, Thabaqât al-Syâfî’iyyah al-Kubrâ, Jilid 7, hlm. 75.
[23] Ibn al-Wardî, Zayn al-Dîn ‘Umar ibn Muzhaffir, Târîkh Ibn al-Wardî, 2 Jilid (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), Jilid II, hlm. 23.
[24] Al-Dzahabî, Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsmân, Siyyar A’lām al-Nubalā´,  Jilid 19, hlm. 443.
[25] Al-Zarqânî, Muhammad ‘Abd al-‘Azhîm, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm Al-Qur´ân, 2 Jilid (Mesir: ‘Îsâ al-Bâbî al-Halabî wa Syurakâh, t.t), Jilid 2, hlm. 30
[26] Menurut Muhammad Shafâ´ Syaykh Ibrâhîm Haqqî, gelar Muhyî al-Sunnah diberikan kepada al-Baghawî ketika beliau menulis salah satu karyanya, yaitu Syarh al-Sunnah, serta bermimpi melihat Nabi Saw yang berkata kepadanya, “Sungguh engkau telah menghidupkan Sunnah-ku dengan melakukan syarh terhadap hadits-haditsku.” Semenjak itulah, gelar Muhyî al-Sunnah melekat pada al-Baghawî. Lihat, Haqqî, Muhammad Shafâ´ Syaykh Ibrâhîm, ‘Op.Cit., Jilid 1, hlm. 343 dalam footnote no 2.
Sejumlah mayoritas pakar yang menggelari beliau dengan Muhyî al-Sunnah adalah Al-Dzahabî, Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsmân ibn Qâyimaz, al-Mu’în fî Thabaqât al-Mufassirîn, ditahqîq oleh Hammâm ‘Abd al-Rahmân Sa’îd (Damaskus: Dâr al-Furqân, 1404), cet. I, hlm. 43. Al-Baghdâdî, Abû Bakar Muhammad ibn ‘Abd al-Ghannî, al-Taqyîd li Ma’rifat Ruwât al-Sunan wa al-Masânîd, hlm. 251. Ibn Qâdhî Syuhbah, Abû Bakar ibn Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Umar, Thabaqât al-Syâfi’îyyah li Ibn Qâdhî Syuhbah, Jilid 1, hlm. 281. Al-Subkî, Tâj al-Dîn ibn ‘Alî ibn ‘Abd al-Kâfî, Thabaqât al-Syâfi’îyyyah al-Kubrâ, Jilid 7, hlm. 75 dan al-Suyûthî, ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Bakar, Thabaqât al-Mufassirîn, hlm. 38.
[27] Al-Baghawî, Muhyi al-Sunnah Abû Muhammad ibn al-Husayn ibn Mas’ûd, “Muqaddimah al-Mu´allif,” dalam Ma’âlim al-Tanzîl, 8 Jilid, ditahqîq oleh Muhammad ‘Abdullâh al-Namr dkk (t.t: Dâr Thayyibah li Nasyr wa al-Tawjî, 1998), Jilid 1, cet. IV, hlm 33 dan Al-Adnarawî, Ahmad ibn Muhammad, Thabaqât al-Mufassirîn, hlm. 158
[28] Al-Namr, Muhammad ‘Abd Allâh, ‘Utsmân Jam’ah Dhamayriyyah dan Sulaymân Muslim al-Harsy (muhaqqîq), Tarjamah al-Imâm al-Baghawî, hlm. 14.
[29] Haqqî, Muhammad Shafâ´ Syaykh Ibrâhîm, ‘Ulûm Al-Qur´an min Khilâl Muqaddimât al-Tafâsîr min Nasy´atihâ ilâ Nihâyah al-Qarni al-Tsâmin al-Hijrî, hlm. 343.
[30] Ibn Khalikān, Abū al-‘Abbās Syams al-Dīn Ahmad ibn Muhammad ibn Abū Bakar, Jilid 2, hlm. 136.
[31] Al-Suyuthi, Jalâl ibn ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Bakar, Thabaqât al-Mufassirîn, hlm. 49. Ibn Khalikân, Abū al-‘Abbâs Syams al-Dîn Ahmad ibn Muhammad ibn Abû Bakar, Wifayât al-A’yân wa Anbâ´u Abnâ´i al-Zamân, Jilid 2, hlm. 136.
[32] Telah dicetak dengan muhaqqiq oleh al-Allâmah al-Syaykh Ibrâhîm al-Ya’qûbî (Beirut: Dâr al-Dhiyâ li Thiba’âh wa al-Nasyr wa al-Tawjî, 1989)
[33] Telah dicetak dengan muhaqqiq Syu’ayb al-Arnâ´ûth (Beirut: al-Maktab al-Islâmî: Beirut, 1402 H) cet. II.
[34] Al-Bâbânî, Hidayah al-‘Ârifîn, Jilid 1, hlm. 165 dalam program CD al-Maktabah al-Syâmilah, versi 3.1.
[35] Al-Zayd, ‘Abd Allâh ibn Ahmad ibn ‘Alî, Tarjamah al-Imâm al-Baghawî, hlm. 12. Tentang hal ini, al-Zayd sendiri mengakui bahwa informasi yang diutarakannya masih bersifat kontadiksi dalam sejumlah silang pendapat (‘alâ khilâfin fî dzâlika).
[36] Ibn Khalikân, Abû al-‘Abbâs Syams al-Dîn Ahmad ibn Muhammad ibn Abû Bakar, Op.Cit., hlm. 137. Al-Jazârî, Abû al-Hasan ‘Alî ibn Abî al-Karam Muhammad ibn Muhammad al-Syaybânî, Op.Cit., hlm. 164. Al-Adnarawî, Ahmad ibn Muhammad, Thabaqât al-Mufassirîn, hlm. 160. Al-Dzahabî, Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsmân ibn Qâyimâz, al-Mu’în fî Thabaqât al-Muhaddîtsîn, hlm. 43. Zâdat, ‘Abd al-Lathîf ibn Muhammad Riyâdh, Asmâ´ al-Kutub, ditahqîq oleh Muhammad al-Tûnajî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1983), hlm. 275. Abû Bakar, Muhammad ibn ‘Abd al-Ghannî, Takmilat al-Ikmâl, 4 Jilid, ditahqîq oleh ‘Abd al-Quyyûm ‘Abd Rabbi al-Nabî (Mekah: Jâmi’ah Umm al-Qurrâ, 1410 H), Jilid 1, cet. I, hlm. 420.
[37] Al-Suyûthî, Jalâl ibn ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Bakar, Op.Cit., hlm. 50. Al-Baghdâdî, Abû Bakar Muhammad ibn ‘Abd al-Ghannî, Op.Cit., hlm. 251.
[38] Al-Dzahabî dalam subbab “أشهر ما دُوِّنَ من كتب التفسير المأثور وخصائص هذه الكتب”. Sedangkan al-Zarqânî ketika melakukan pembahasan tentang Ma’âlim al-Tanzîl memberi komentar:
هو العلامة أبو محمد الحسين بن مسعود البغوي الفقيه الشافعي كان إماما في التفسير والحديث له التصانيف المفيدة ومنها معالم التنزيل أتى فيه بالمأثور ولكن مجردا عن الأسانيد.
                Al-Dzahabî, Muhammad Husayn, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, hlm. 22, Abû Sulaymân, Shâbir Hasan Muhammad, Mawrid al-Zham’ân fî ‘Ulûm Al-Qur´ân (Bombay: al-Dâr al-Salafiyyah, 1984), cet. I, hlm. 215 dan al-Shâbûnî, Muhammad ‘Alî, al-Tibyân fî Ulûm Al-Qur´ân (Indonesia: Dâr Ihyâ al-Turâts ‘Arabî, 1985), cet. I, hlm. 189 dan 191.
[39] Al-Zarqânî ketika melakukan pembahasan tentang Ma’âlim al-Tanzîl memberi komentar:
معالم التنزيل أتى فيه بالمأثور ولكن مجردا عن الأسانيد.
                Al-Zarqânî, Muhammad ‘Abd al-‘Azhîm, Manāhil al-‘Irfān fî ‘Ulûm Al-Qur´ân, Jilid 2, hlm. 30.
[40] Ibn Taymiyyah berkata:
قال العلامة ابن تيمية: (والبغوي تَفْسِيرُهُ مُخْتَصَرٌ مِنْ الثَّعْلَبِيِّ لَكِنَّهُ صَانَ تَفْسِيرَهُ مِنْ الْأَحَادِيثِ الْمَوْضُوعَةِ وَالْآرَاءِ الْمُبْتَدَعَةِ).
                Ibn Taymiyyah, Abû al-‘Abbâs Taqqiy al-Dîn Ahmad ibn ‘Abd al-Halîm al-Harânî, Majmû’ al-Fatâwa, 37 Juz, ditahqîq oleh Anwâr al-Bâz & ‘Âmir al-Jazâr (t.t: Dâr al-Wafâ´, 2005), cet. III, Juz XIII, hlm 354.
                Pada tempat yang lain, Ibn Taymiyyah menandaskan:
وقد سئل عن أي التفاسير أقرب إلى الكتاب والسنة؟ الزمخشري أم القرطبي، أم البغوي؟ أو غير هؤلاء؟ فأجاب: وَأَمَّا التَّفَاسِيرُ الثَّلَاثَةُ الْمَسْئُولُ عَنْهَا فَأَسْلَمُهَا مِنْ الْبِدْعَةِ وَالْأَحَادِيثِ الضَّعِيفَةِ الْبَغَوِيّ، لَكِنَّهُ مُخْتَصَرٌ فِي تَفْسِيرِ الثَّعْلَبِيِّ وَحَذَفَ مِنْهُ الْأَحَادِيثَ الْمَوْضُوعَةَ وَالْبِدَعَ الَّتِي فِيهِ وَحَذَفَ أَشْيَاءَ غَيْرَ ذَلِكَ).
                Ibn Taymiyyah, Abû al-‘Abbâs Taqqiy al-Dîn Ahmad ibn ‘Abd al-Halīm al-Harânî, al-Fatâwâ al-Kubrâ, 6 Jilid, ditahqîq oleh Muhammad ‘Abd al-Qâdir ‘Athâ & Mushtafâ ‘Abd al-Qâdir ‘Athâ (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1976), cet. I, Jilid V, hlm. 85 dan Majmû’ al-Fatâwa, hlm. 386. Al-Namr, Muhammad ‘Abdullâh dkk, “Manhaj al-Baghawî fî al-Tafsîr” dalam al-Baghawî, Muhyi al-Sunnah Abî Muhammad ibn al-Husayn ibn Mas’ûd, Ma’âlim al-Tanzîl, 8 Jilid, ditahqîq oleh Muhammad ‘Abdullâh al-Namr dkk (Dâr Thayyibah li Nasyr wa al-Tawjî, 1998), cet. IV, Jilid 1, hlm. 8.
                Sedangkan al-Khâzin dalam muqaddimah tafsirnya menyatakan:
من أجَّلِ المصنفات فى علم التفسير وأعلاها، وأنبلها وأسناها، جامع للصحيح من الأقاويل، عار عن الشبُهِ والتصحيف والتبديل، محلَّى بالأحاديث النبوية، مطرَّز بالأحكام الشرعية، موشَّى بالقصص الغريبة، وأخبار الماضيين العجيبة، مرصَّع بأحسن الإشارات، مُخَرَّج بأوضح العبارات، مُفَرَّغ فى قالب الجمال بأفصح مقال".
[41] Faudah, Mahmud Basuni, Tafsir-Tafsir Al-Qur´an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1987), cet. I, hlm. 53 dan 57.
[42] “Muqaddimah al-Mu´allif” dalam al-Baghawî fî al-Tafsîr” dalam al-Baghawî, Muhyi al-Sunnah Abū Muhammad ibn al-Husayn ibn Mas’ûd, Op.Cit., hlm. 34.
[43] Ibid., hlm. 34-38.
[44] Al-Baghawî, Muhyi al-Sunnah Abû Muhammad ibn al-Husayn ibn Mas’ûd, Ma’âlim al-Tanzîl, Jilid 1, hlm 38-45.
[45] Suatu metode yang menjelaskan makna-makna yang dikandung oleh ayat Al-Qur´an yang urutannya disesuaikan dengan tertib ayat yang ada dalam mushhaf Al-Qur´an. Penjelasanan makna-makna ayat tersebut, bisa makna kata atau penjelasan umumnya, susunan kalimat, asbāb al-nuzûl-nya serta keterangan yang dikutip dari Nabi Saw, sahabat maupun tabi’in atau menafsirkan ayat-ayat Al-Qur´an dengan memaparkan berbagai aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang sedang ditafsirkan itu serta menerapkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan dari mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Diantara kelompok tafsir yang masuk metode analitis-ma´tsûr adalah Tafsîr Ma’âlim al-Tanzîl karya al-Baghawî (w. 516 H) dan al-Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr bi al-Ma´tsûr karya Jalâl al-Dîn al-Suyûthî (849 – 911 H), sedangkan kitab-kitab yang termasuk metode analitis-ra´y adalah Tafsîr al-Khâzin atau Lubâb al-Ta´wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl karangan al-Khâzin (741 H), Tafsîr Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta´wîl karya al-Baydhâwî (w. 691 H), Tafsīr al-Kasysyâf ‘an Haqâ´iq al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta´wîl karya Mahmûd ibn ‘Umar al-Zamakhsayarî (w. 538 H), Tafsîr Al-Qur´ân al-‘Azhîm karangan al-Tustarî (283 H), Tafsîr Haqâ´iq Al-Qur´ân karya al-Syirāzī (w. 606 H), Tafsîr Ahkâm Al-Qur´ân karya Ibn al-Arabî (w. 543 H), Tafsîr al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur´ân karya al-Qurthubî, al-Tafsîr al-Kabîr aw Mafâtih al-Ghayb karya Fakhr al-Râzî (w. 606 H), Tafsîr al-Jawâhir fî Tafsîr Al-Qur´ân karya al-Syaykh Thanthâwî Jawharî, al-Tafsîr al-‘Ilm li al-Âyât al-Kawniyah karangan Hafni Ahmad, Tafsīr al-Manâr tulisan Muhammad Rasyîd Ridhâ (w. 1935 M), Tafsîr al-Marâghî karya Ahmad Mustahafâ al-Marâghî (w. 1945 M), Tafsîr Al-Qur´ân al-Karîm karya al-Syaikh Mahmûd Syaltût, Tafsir al-Azhar karya Prof. Hamka, dan Tafsir al-Mishbâh karya Prof. M. Quraish Shihab. Lihat, Baidan, Nasharuddin, Metode Penafsiran Al-Qur´ān: Kajian Kritis Terhadap Ayat-Ayat yang Beredaksi Mirip, hlm. 68-70 dan Metodologi Penafsiran Al-Qur´an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), cet III, hlm. 13-169.
Pemikir Aljazair kontemporer, Malik bin Nabi, menilai bahwa upaya para ulama menafsirkan Al-Qur´an dengan metode tahlīlī itu, tidak lain kecuali dalam rangka upaya mereka meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan Al-Qur´an. Sedangkan metode mawdhū’ī diartikan, di mana mufasirnya berupaya menghimpun ayat-ayat Al-Qur´an dari berbagai surat dan yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian, penafsir membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Lihat, Shihab, Quraih, Membumikan Al-Qur´ān: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2002), Cet. XXIII, hlm. 86-87.
Metode tahlîlî – yang dinamai oleh Baqir al-Shadr – dengan metode tajzî´î, adalah satu metode tafsir yang mufassir-nya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur´ān dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Qur´an sebagaimana tercantum di dalam mushhaf. Segala segi yang yang dianggap perlu, bermula dari arti kosakata, asbâb al-nuzûl, munâsabah dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat. Metode ini, walaupun dinilai sangat luas, namun tidak menyelesaikan satu pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya, pada ayat lain. Lihat, al-Sadr, Muhammad Baqir, “Pendekatan Tematik terhadap Tafsir Al-Qur´an,” dalam Ulumul Qur´an: Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, vol I, no 4 (Jakarta: LSAf, Januari-Maret 1990), hlm. 28- 36.
[46] ‘Abdullāh al-Namr dkk, “Manhaj al-Baghawī fī al-Tafsīr” dalam al-Baghawī, Muhyi al-Sunnah Abū Muhammad ibn al-Husayn ibn Mas’ūd, Op.Cit., hlm. 8-11.

Tidak ada komentar: