Jumat, 13 Agustus 2010

Pemikiran Islam Fazlur Rahman

A. Prawacana: Mendudukan Sosok Fazlur Rahman[1] dalam Pemikiran Umat
Dalam pandangan umum, salah satu penyebab kemandegan pemikiran Islam disebabkan oleh “menghilangnya” sosok sarjana Muslim ideal (baca: mujtahid) yang disertai pembelengguan nalar kreatifnya (baca: ijtihād). Keyakinan semacam ini, selama beberapa waktu, mentahbiskan pengembangan daya kognitif intelektual Muslim dalam aras yang terisolasi. Serangan yang lebih menghujam-mematikan dijumbuhkan oleh al-Ghazali terhadap filsafat sebagai metode penalaran religio-filosofis spekulatif yang pada beberapa abad sebelumnya menjadi salah satu alat intelektual sarjana Muslim, terutama di kalangan Mu’tazilah, mencapai titik kulminasi ‘ashr al-dzahab (golden age).
Melalui dua karyanya, Maqāshid al-Falāsifah dan Tahāfut al-Falāsifah, al-Ghazali mengutuk filsafat karena konstruksi argumentasi epistemologis yang di bangun para filosof, terutama para filosof Muslim sebelumnya, menunjukkan sejumlah kesesatan atau inkoherensi. Selain serangan ini ditujukkan untuk mengantisipasi pengaruh filsafat yang dianggapnya berbahaya bagi agama, juga dipandangnya sebagai konsepsi sesat yang dapat menjerumuskan seseorang ke dalam kekafiran Namun, tanpa disadari al-Ghazali, uraian sistematis dalam kedua karyanya tersebut telah memberi andil besar mengenalkan seluk beluk filsafat kepada non filsuf.[2]
Secara historikalitas, kesadaran umat Islam akan pentingnya aras kemoderenan bisa dirunut sampai kepada Ibn Taymiyyah yang menggemakan “terbukanya pintu ijtihad.”[3] Momentum kesadaran ini kemudian mulai dijadikan agenda besar secara lebih massif dan struktural oleh Syâh Waliyullah al-Dahlawî (w. 1762 M), Muhammad Ibn ‘Abd Wahhâb (w. 1787 M), Sayyid Jamâluddîn al-Afghânî (w. 1879 M), Sir Sayyid Ahmad Khân (w. 1898 M), dan Muhammad ‘Abduh (w. 1905 M). Kemudian, secara pararel, ditindaklanjuti oleh sarjana-sarjana Muslim lainnya di berbagai belahan dunia.
Kesadaran terhadap aras kemoderenan juga terjadi di Indonesia. Islam Indonesia, dekade tahun 1970-an, tengah mengalami kesejarahan babak baru dengan munculnya gerakan pembaruan Islam. Sekalipun gerakan ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari modernisme yang lebih awal, namun pembaruan Islam di Indonesia pada beberapa dasawarsa terakhir memiliki bentuk, corak, arah serta pendekatan baru yang berbeda dari pembaruan sebelumnya. Dalam perspektif sosiologis, munculnya perbedaan itu akibat – baik secara langsung ataupun tidak – dari perkembangan sosial budaya yang terjadi di Indonesia. Pada tingkatan ini, terdapar hubungan erat yang terjadi antara perkembangan sosial pada satu pihak dan respons intelektual yang terjadi pada masa-masa itu pada pihak lain.[4]
Secara esensial, watak pembaruannya bersifat keagamaan dan gerakannya dimotivasi kuat untuk melakukan formulasi metodologi yang konsisten dan universal terhadap penafsiran Al-Qur´an; suatu penafsiran yang rasional dan peka terhadap konteks kultural dan historis dari teks Kitab Suci dan konteks masyarakat modern yang memerlukan bimbingannya. Dalam perspektif ini, Nurcholish Madjid, salah satu lokomotif gerakan ini, mengemukakan misi Islam yang strategis sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur´an. Menurutmya, Al-Qur´an menunjukkan bahwa risalah Islam, disebabkan doktrin universalitasnya, selalu sesuai dengan lingkungan kultural apapun, sebagaimana (pada saat turunnya) hal itu telah disesuaikan dengan kepentingan lingkungan semenanjung Arab. Karenanya, Al-Qur´an harus selalu dikontekstualisasikan dengan lingkungan budaya penganutnya, di mana dan kapan saja.[5]
Sekalipun gerakan pembaruan di Indonesia tidak dapat dikaitkan secara langsung dengan pemikiran neo modernisme Fazlur Rahman, namun kemampuan Rahman dalam memberikan pertimbangan sehingga mengubah sikap Cak Nur untuk memilih Islamic Studies tinimbang Political Science, yang semula menjadi pilihan Cak Nur, menjadi titik awal penemuan pengaruh tersebut. Dalam skala lebih luas, pengaruh itu akan semakin mudah dilacak dengan kunjungan Rahman ke Indonesia pada awal 1980-an, penerjemahan artikel, dan sebagian besar buku-bukunya ke dalam bahasa Indonesia. Dalam dimensi yang lebih kongkrit, pengaruh itu tampak dengan jelas pada kesamaan atau kemiripan pemikiran yang ditawarkan gerakan pembaruan yang dimotori Cak Nur dan kawan-kawan dengan pemikiran Fazlur Rahman.[6]
Paparan Azra di atas, saya pahami, merupakan korelasi positif antara pemikiran Rahman dengan perkembangan dan pengembangan Islam di Indonesia serta implikasi-implikasinya sampai sekarang. Konstruksi pembaruan Rahman sendiri, lambat laun dan meyakinkan, telah membuahkan revolusi pemikiran. Ide-ide yang diarahkan untuk mengkritisi rancang bangun (konstruksi) keilmuan Islam ini telah membekas dan mendatangkan ilham bagi banyak pemikir Islam. Selain kritis, tokoh neo modernis Islam ini juga dikenal cerdas dan bertanggung jawab. Hingga hari ini, ratusan peneliti di seluruh dunia berusaha menguak ide-ide dan pemikirannya.[7]
Permasalahannya, bagi sebagian kalangan umat Islam di negara kita, pemikiran Rahman banyak menimbulkan kontroversi serta sering disalahpahami. Tetapi, hal itu merupakan penyikapan yang wajar dan sewajarnya, karena pendekatan yang ditempuh oleh Rahman dan kebiasaan kita dalam menyelesaikan persoalan umat memiliki perbedaan. Sebagian kalangan kita dalam menyelesaikan masalah terbiasa menempuh langkah yang berorientasi lapangan dengan kerangka politis, sedangkan orientasi pemikiran, pendekatan, dan pengungkapan Rahman lebh bersifat saintifik, analitis-kritis, dan dibangun di atas argumentasi logis-akademis.
Berpijak dari sejumlah asumsi di atas, maka penulis mencoba untuk melakukan pemetaan komprehensif serta pembacaan ulang dan kritis atas pemikiran Rahman, yang nantinya akan lebih menukik dalam menelisik konstruksi metodologi penafsiran Al-Qur´annya. Hal ini harus mendapatkan sebuah atensi lebih karena tersinyalir, oleh sejumlah kalangan tertentu, gagasan-gagasan segarnya sering disalahpahami.
Dimulai  dengan pertanyaan; apa yang menarik serta signifikan untuk dikaji dari ide-ide Rahman? Secara ringkas, bagaimana metodologi yang diusung Rahman sehingga menancapkan sejumlah rekonstruksi sistematik (systematic reconstruction) terhadap keilmuan Islam? Sebagai jawaban pendahuluan, harus disepakati bahwa ide besar Rahman bertumpu pada Al-Qur´an, lebih tepatnya: bagaimana prosedur memahami Al-Qur´an.[8] Dan, sesungguhnya, inilah yang akan menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini sehingga dapat merakit jejaring aplikasi metodologi Al-Qur´an Rahman secara kohesif dan simultan.
B. Sketsa Historis-Biografis dan Karir Akademis Fazlur Rahman
Sebuah pemikiran tidak lahir dari ruang kosong. Ia merupakan respons atau tanggapan terhadap situasi dan perkembangan yang mengitarinya. Sebuah pemikiran, dengan demikian, menyandarkan dirinya pada, serta merefleksikan, situasi aktual zamannya. Dalam memahami sebuah pemikiran, orang tidak bisa melepaskan begitu saja konteks sosio historis yang melatarbelakanginya. Tidak terkecuali ketika akan memahami sosok Rahman, berbagai konteks sosio historis yang menjadi wadah intelektualnya harus pula dipertimbangkan.
Berangkat dari statement di atas, cukup beralasan sekiranya ditekankan untuk memahami tentang pemikiran Rahman secara komprehensif, memiliki pengetahuan yang memadai tentang kondisi umum dunia Islam, di satu sisi dan situasi umat Islam di anak Benua India, pada sisi lainnya merupakan keniscayaan. Penekanan ini akan mendapatkan justifikasi logisnya jika kita memahami bahwa hampir sebagian besar konstruksi pemikiran Rahman (atau dapat dinyatakan dengan paradigma Rahmanian), sejatinya adalah respons sekaligus solusi terhadap berbagai persoalan krusial umat Islam, khususnya yang mendiami wilayah anak Benua India.
Oleh sebab itu, salah satu cara terbaik dalam memahami pemikiran Rahman, baik secara metodologis-teoritis maupun artikulasi-aplikasinya, adalah dengan melihat berbagai latar belakang historisitas (al-khalfiyyah al-târîkhiyyah) yang saling berjalin kelindan dalam membentuk konfigurasi pemikirannya yang kritis dan valid sehingga mencapai titik kulminasinya yang genuine. Patut dicatat bahwa pemikiran keislaman Rahman sendiri tidaklah hadir secara tiba-tiba dan lantas menyeruak ke permukaan menjadi salah satu ancangan terobosan yang jenius dalam mengatasi kemacetan bidang pemikiran Islam (ijtihād).
Konfigurasi pemikiran Rahman lahir dan dibentuk secara gradual-sistemik dengan menancapkan sejumlah rekonstruksi secara sistematik (systematic reconstruction) yang oleh sejumlah kalangan, baik orientalis maupun oksidentalis, dianggap sebagai sebuah kontribusi dan alternatif pengembangan ijtihâd yang paling berpengaruh dalam dunia pemikiran Islam pada zamannya, bahkan menembus cakrawala dan sekat-sekat pemikiran modern-kontemporer dewasa ini. Agar supaya pembahasan ini menjadi lebih sistematis, maka penulis melakukan organisasi kajian dengan meletakkan sejumlah pembahasan yang membentuk suatu format yang sinergis-integral dengan harapan dapat mendudukan gagasan keislaman Fazlur Rahman secara tepat (clear and disting), arif, dan berimbang.
Dengan demikian, menyuguhkan eksplorasi tentang sejumlah wacana yang berpusar di Pakistan, tekait dengan pemikiran-pemikiran pra Rahman ataupun dalam konteks zaman Rahman; baik yang menyangkut pencarian dan penafsiran bentuk ideal atas negara Islam Pakistan, sistem pendidikan sampai perdebatan seputar wacana-wacana keagamaan antara pihak tradisionalis, fundamentalis-revivalis, dan kaum modernis, merupakan kajian yang harus mendapatkan sentuhan awal sebelum berpindah kepada biografi dan karir akademis serta sejumlah gagasan kontoversial Rahman di negaranya tersebut. Insyā Allāh Ta’ālā.
  1. Setting Sosio Historis Pakistan
Sebelum mengangkat potret kehidupan dan perjalanan akademik Rahman, melakukan pembacaan tentang perkembangan wacana keislaman di anak Benua India, merupakan suatu hal yang niscaya. Selain ditujukkan untuk mendudukan keterpengaruhan pemikiran Rahman dengan tokoh-tokoh yang mendahuluinya, karena bagaimanapun pula diskursus yang terjadi di daerah itu – langsung ataupun tidak – telah memengaruhi pandangan rasional Rahman, juga diarahkan untuk melihat bagaimana “pembumian” Islam dengan segala kompleksitas yang melingkupinya.
  1. Setting Biografis dan Karir Akademis Fazlur Rahman
Fazlur Rahman dilahirkan pada tanggal 21 September 1919, ketika anak Benua Indo Pakistan masih belum terpecah ke dalam dua negara merdeka, di sebuah daerah yang kini terletak d Barat Laut Pakistan. Anak benua ini sendiri terkenal dengan sejumlah tokoh dan pemikir liberalnya, seperti Syah Waliyullah al-Dahlawi, Sir Sayyid Ahmad Khan, Amir ‘Ali, dan Muhammad Iqbal.[9] Rahman terlahir dalam keluarga Malak[10] di wilayah Hazara di perbatasan India. Akar-akar keagamaan keluarganya dapat dilacak pada ajaran-ajaran perguruan Deoband[11] yang mempunyai pengaruh luas di Anak Benua India. Dengan latar belakang semacam ini, sekaligus persinggungannya dengan sejumlah pemikir liberal di atas, tidak mengherankan jika Rahman kemudian berkembang menjadi seorang pemikir liberal dan radikal dalam peta pembaharuan Islam.[12]
            Ayahnya, Mawlanā Syihāb al-Dīn, adalah lulusan dari perguruan India terkenal, yaitu Dār al-‘Ulūm Deoband. Di Deoband, Syihāb al-Dīn belajar kepada beberapa tokoh terkenal, seperti ahli fikih (faqīh) serta guru sufi terkenal, Mawlanā Rasyīd Ahmad Gangohi (w. 1905 M), dan Mawlanā Mahmūd al-Hasan (w. 1920 M), yang terkenal dengan julukan Syaykh al-Hind. Rahman dibesarkan dalam keluarga yang alim atau tergolong taat beragama serta penganut mazhab Hanafi. Sebagaimana pengakuannya, dalam usia 10 tahun ia telah mampu menghapal Al-Qur´an serta keluarganya sendiri mempraktikan ibadah sehari-hari secara teratur.[13]
Sekalipun ia tumbuh dan berkembang di kalangan tradisionalis bermazhab Hanafi, namun Rahman, sejak berumur belasan tahun, telah melepaskan dirinya dari sekat-sekat yang sempit dalam pemikiran bermazhab sekaligus mampu mengembangkan pemikiran bebasnya.[14] Meski Rahman tidak belajar di Dār al-‘Ulūm tradisional, namun ia mampu menguasai kurikulum darse-nizami yang terdapat di lembaga semacam itu berkat didikan privat ayahnya. Berbekal kurikulum seperti itu sekaligus melengkapi latar belakangnya dalam memahami Islam tradisional dengan penekanan khusus pada bidang hukum (fiqh), teologi dialektis (‘ilm al-kalām), tradisi Nabi (Hadīts), tafsir Al-Qur´an, logika (manthīq), dan filsafat.[15] Menurut Rahman, di antara faktor-faktor yang telah membentuk karakter dan kedalamannya dalam beragama adalah pengajaran dari ibunya tentang kejujuran dan kasih sayang serta ayahnya yang kerap mengajarkan pendidikan agama di rumahnya sendiri dengan disiplin yang tinggi, sehingga ia mampu menghadapi berbagai macam tantangan di dunia modern.[16]
Walaupun model pendidikan yang diterapkan oleh lingkungan kecilnya benar-benar efektif dalam membentuk watak dan kepribadian Rahman ketika dihadapkan langsung dengan kehidupan nyata,[17] namun, menurutnya, sekalipun sang ayah sering memberi pelajaran tentang Hadit selain juga syari’ah kepadanya, semenjak kecil ia telah skeptis kepada Hadits. Penyikapan semacam ini, dalam kenyataannya merupakan warisan Sir Ahmad Khān dan gerakan Aligarhnya kepada modernisme Islam di anak Benua Indo Pakistan,[18] belakangan dikembangkan dan diartikulasikan secara sistematis oleh Rahman dalam kebanyakan karya intelektualnya.[19]
Setelah menamatkan pendidikan menengahnya di madrasah, pada tahun 1933 Rahman dibawa ke Lahore untuk memasuki sekolah modern. Rahman melanjutkan studinya ke Departemen Ketimuran, Universitas Punjab dengan spesialisasi bahasa Arab dan lulus pada tahun 1940 dengan gelar B.A. Dua tahun berikutnya, tepatnya tahun 1942, Rahman menyelesaikan Masternya dalam bidang dan di Universitas yang sama. Pada tahun 1946, Rahman berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studi doktoralnya di Universitas Oxford.[20] Keputusannya untuk belajar di Inggris ini, sejatinya, merupakan letupan awal dari serangkaian langkah kontroversialnya, yang di kemudian hari eskalasinya meningkat secara tajam, semenjak ia kembali ke Pakistan pasca studinya di Oxford dan ketika menjadi direktur sebuah organisasi Islam era pemerintahan Ayyub Khan.
Bersandar pada kondisi yang terjadi pada pra dan pasca kemerdekaan Pakistan, bukan sebuah pilihan tanpa argumen yang kuat apabila Rahman bersikukuh melanjutkan studi doktoralnya di Inggris. Rahman beralasan bahwa kondisi objektif masyarakat Pakistan belum mampu menciptakan suasana dan iklim intelektual yang solid. Rahman tidak menemukan kapasitas guru-guru besar di perguruan Islam tingkat tinggi di Pakistan yang memiliki tradisi riset ilmiah yang memadai. Hal ini diperparah dengan kenyataan negaranya yang lebih menjurus kepada pergolakan dan perdebatan politik, bukannya kajian-kajian ilmiah. Realitas yang berbeda, dipahami Rahman, terjadi di Barat. Ia melihat sisi kemajuan kehidupan tengah melanda di sana.[21]
            Tegasnya, Rahman menyadari betapa rendahnya mutu pendidikan tinggi Islam di India waktu itu atau dilatarbelakangi oleh ketidakpuasannya terhadap mutu pendidikan Islam di negara-negara Muslim.[22] Implikasinya, keputusan Rahman ini dipandang aneh dan ganjil oleh ulama-ulama Pakistan karena bukan suatu kebiasaan apabila seorang Muslim belajar Islam ke Barat. Bahkan, penyikapan ke Barat dalam bentuk dan alasan apapun, dinilai negatif oleh ulama Pskistan, sekalipun sikap yang diambil diatasnamakan untuk kebaikan dan kemajuan umat Islam sendiri. Penyikapan dan kecaman oleh ulama-ulama ini, jauh sebelum Rahman, telah terjadi kepada Sayyid Ahmad Khan. Lantaran sikapnya yang proaktif dengan politik Inggris dan pemikiran rasionalnya yang tidak dipahami anak zamannya, Ahmad Khan dituduh kafir oleh para ulama.[23]
            Selama proses pembelajarannya di Oxford, selain mengambil dan mengikuti kuliah-kuliah formal, Rahman giat mempelajari bahasa-bahasa Barat.[24] Penguasaan terhadap bahasa-bahasa tersebut, pada gilirannya, sangat membantu upayanya dalam memperdalam serta memperluas wawasan keilmuannya, terlebih lagi tentang studi-studi Islam lewat penelusuran literatur-literatur keislaman yang ditulis para orientalis dalam bahasa-bahasa mereka. Walaupun Rahman banyak menimba pengetahuan dari sarjana-sarjana Barat, tetapi ia sangat kritis terhadap pandangan-pandangan mereka bertalian dengan Islam dan umatnya.[25]
Studi doktoralnya ia rampungkan pada tahun 1950 dengan menulis sebuah disertasi tentang psikologi Ibn Sīnā, yang, dua tahun berikutnya diterbitkan menjadi Avicenna’s Psychology (London: Oxford University Press, 1952), di bawah bimbingan Prof. Simon van den Bergh.[26] Disertasi ini merupakan terjemahan, editan kritis, dan komentar atas satu bagian Kitāb al-Najāt dari filosof Muslim abad ke-11 yang terkenal tersebut.[27] Kitāb al-Najāt sendiri merupakan mukhtashshar (ringkasan) Ibn Sīnā dari karya monumentalnya, Kitāb al-Syifā´. Belakangan hari, Rahman juga menyunting karya Ibn Sīnā lainnya, yaitu Kitāb al-Nafs, yang masih merupakan bagian dari Kitāb al-Syifā´. Ketika menyunting Kitāb al-Nafs ini, yang tebalnya mencapai 300-an halaman dan 269 halaman darinya disunting dalam bahasa Arab, Rahman memeriksa dan memperbandingkan 8 buah manuskrip berbahasa Arab, dua teks Latin, dan teks litografis Teheran (1303 H) untuk mendeterminasi apa yang disebutnya sebagai editio princes. Lebih dari itu, ia juga menampilkan perbedaan bacaan dan sumber-sumbernya secara lengkap dan kritis. Di samping itu, Rahman menyertakan sebuah glosarium kata-kata teknis, persamannya dalam bahasa Latin dan Yunani dalam sebuah bagian mandiri setebal 29 halaman. Tidak ketinggalan dalam beberapa bagian, sejumlah kata teknis tersebut, diterangkannya secara mendetail (subtil) dan penuh dengan rujukan.
Terjemahan Rahman, di samping kajian-kajiannya yang mendalam tentang Ibn Sīnā, telah mengangkat reputasinya di kalangan sarjana-sarjana ketimuran sekaligus mendudukannya sebagai orang yang paham (expert) tentang Ibn Sīnā. Karyanya yang belakangan disebutkan, selain menunjukkan mutu kesarjanaannya yang menakjubkan, juga diterbitkan oleh penerbit yang sama pada tahun 1959 dengan judul Avicenna’s de Anima. Tidaklah mengherankan apabila suntingan Rahman ini mendapatkan atensi dan apresiasi yang tinggi dari sarjana-sarjana ketimuran, yang menekuni bidang yang sama.[28]
Setelah meraih doctor of philosophy (Ph.D) dari Universitas Oxford, Rahman memutuskan untuk menetap sementara waktu di Barat.[29] Selama beberapa tahun, rentang 1950-1958 Rahman memilih mengajar di Eropa, yang dimulai dengan mengajar bahasa Persia dan filsafat Islam di Universitas Durham. Ketika mengajar di Universitas inilah Rahman merampungkan karya orisinalnya, Propechy in Islam: Philosophy and Ortodoxy, namun karyanya ini baru diterbitkan pada tahun 1958 sewaktu ia telah mengajar di McGill University, Kanada. Atas beberapa pertimbangan, Rahman hijrah ke Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Kanada, di mana Rahman dipercaya memegang jabatan sebagai Associate Professor of Philosophy. Di sini pula, Rahman menjalin persahabatan dengan orientalis terkemuka, Wilfred C. Smith, yang ketika itu menjabat sebagai Direktur Institute of Islamic Studies, McGill University.[30]
Tahun 1960, setelah 3 tahun menyibukkan diri dengan segala aktivitas akademis di McGill University, Kanada, Rahman diminta kembali oleh Ayyūb Khān, Presiden Pakistan pada saat itu, untuk ikut berpartisipasi dalam membangun negara Pakistan. Pakistan sendiri, di bawah pimpinan Jenderal Ayyūb Khān, tengah memulai pembaruan politik dan identitas negara. Dalam pandangan Khān, salah satu unsur untuk membangun kembali semangat nasional adalah memperkenalkan transformasi politik dan hukum. Tranformasi itu diharapkan akan membawa Pakistan pada raison d’etre (khiththah)-nya sebagai negara dengan ide, visi, dan misi Islam. Dalam dekade inilah, Rahman memulai proyek paling ambisius dalam hidupnya dan, kemudian, menjadi titik tolak dalam karirnya. Antusiasme ini diperlihatkan Rahman dengan meninggalkan karir akademisnya di Kanada demi menjawab tantangan-tantangan yang segera menyambutnya di Pakistan.[31]
Kembalinya Rahman ke Pakistan, berbekal pendidikan formal dari Barat dan pengalamannya mengajar bertahun-tahun di sarang orientalisme ditambah dengan latar belakang liberalisme Indo Pakistan, menjadikannya sebagai sarjana dan pemikir modernis yang bebas dan sangat radikal. Gaya berpikirnya yang demikian, di mana realitas objektif tanah airnya tengah menjadi sarang kontroversi akut antara kubu modernis dan konservatif-tradisionalis, sangat kondusif bagi pengembangan keagamaan Rahman. Dengan mengidentifikasi dirinya sebagai modernis, Rahman telah siap untuk terjun ke kancah konflik dalam rangka memberikan definisi ideologis Pakistan sebagai negara Islam di antara kubu-kubu yang tengah bertarung di negaranya.
Di Pakistan, Rahman memulai karirnya di Pusat Lembaga Kajian Islam (Central Institute of Islamic Research).[32] Selama beberapa waktu, Rahman hanya menjabat sebagai staf, lalu professor tamu, dan akhirnya, pada tahun 1962, ditunjuk sebagai direktur lembaga ini yang diembannya selama 7 tahun (1961-1968). Di samping sebagai direktur lembaga tersebut, Rahman juga bekerja pada Dewan Penasihat Ideologi Islam (Advisory Council of Islamic Ideology),[33] sebuah badan pembuat kebijakan tertinggi di Pakistan.
Di kedua lembaga di atas, Rahman terlibat intens dalam upaya menafsirkan ajaran Islam dan menyandingkannya dengan program pembaruan Pakistan. Pusat Lembaga Kajian Islam bertugas untuk menafsirkan Islam dalam pengertian rasional dan ilmiah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Muslim Pakistan yang progressif. Sedangkan Dewan Penasihat Ideologi Islam bertugas, antara lain, meninjau seluruh hokum dan kebijaksanaan agar sesuai dengan petunjuk Al-Qur´an dan Sunnah.[34] Jadi, sebagai direktur Pusat Lembaga Kajian Islam, dengan ketersediaan sumber daya yang ada, Rahman harus mengajukan sejumlah kebijakan kepada Dewan Penasihat agar dimplementasikan oleh pemerintah.Rahman juga berhasil memprakarsai penerbitan Journal of Islamic Studies[35] serta Fikr-u Nazhr yang berbahasa Urdu. Saat-saat itu dan posisi penting inilah, di mana posisi direktur merupakan sebuah jabatan yang “rentan” dan “berbahaya”, Rahman berkesempatan untuk meninjau berlangsungnya pemerintahan dan kekuasaan dari dekat. Periode ini menjadi masa yang paling berharga dan menjadi pengalaman yang paling menggemparkan dalam hidup seorang Rahman.[36]
Dalam mengelola lembaga riset ini, Rahman telah berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan sejumlah terobosan progresif dengan menjalankan strategi ganda.[37] Ide ideal Rahman adalah mengangkat topik besar yang menjadi obsesinya, yaitu Islam dan visi Al-Qur´an. Dalam pandangan Rahman telah terjadi kesenjangan yang melebar terlalu jauh antara Islam yang terdapat dalam Al-Qur´an dan Islam dalam realitas sejarah, sehingga diperlukan penggabungan kembali keduanya dengan menjalinnya secara erat melalui suatu usaha yang sistemik dan kohesif. Dengan orientasi dan visi itu, ia mencoba mengaktualisasikan nilai dan prisip-prinsip Al-Qur´an dalam kehidupan yang kongkrit.[38]
Pemikirannya tentang Sunnah dan Hadits, fatwa tentang riba dan bunga bank, zakat dan pajak, keluarga berencana, kehalalan binatang sembelihan secara mekanis, poligami, hak waris cucu yatim atas harta peninggalan kakeknya, dan lain sebagainya dikontekstualisasikan ke dalam persoalan-persoalan yang sedang dihadapi Pakistan saat itu. Gagasan-gagasan pembaruannya tersebut dituangkan dalam dua jurnal di atas beserta media ilmiah lainnya yang beredar di Pakistan. Akan tetapi, karena gagasan-gagasan pembaruannya bersifat “nyeleneh” dan bertentangan secara diametral dengan opini-opini kalangan tradisionalis dan fundamentalis (neo revivalis), maka sejumlah pemikiran “segar”-nya, yang menggemakan tema-tema modern, menimbulkan tantangan keras sekaligus menimbulkan kontroversi akut yang berkepanjangan dan berskala nasional.[39]
Penentangan dan gerakan oposisi terhadap Rahman, selama menetap di Pakistan, mencapai titik klimaksnya ketika Jurnal Fikr-u Nazhr, pada September 1967, menerbitkan dua bab pertama dari karyanya, Islam, yang membahas tentang Muhammad dan Al-Qur´an. Masalah yang krusial dalam buku ini, di mana Rahman mengekspresikan puncak segala pandangan kontroversialnya, berkaitan dengan hakikat pewahyuan Al-Qur´an. Meskipun Rahman memiliki keyakinan yang sama dengan kalangan ortodoksi tentang hakikat wahyu, namun formulasi yang distandardisasikan oleh kalangan ortodoksi tentang hubungan antara Muhammad dan Al-Qur´an memberikan deskripsi yang terlalu mekanis dan eksternalistis. Ilustrasi penyampaian wahyu Tuhan kepada Muhammad oleh Jibril di “stigmatisasi” Rahman dengan ungkapan “hampir-hampir ibarat tukang pos yang menyampaikan surat-surat.”
Bagi Rahman, abstraksi hakikat pewahyuan di atas, merupakan bukti kemandulan intelektualitas ortodoksi yang tidak mampu membedakan dogma “kelainan” karakter verbal wahyu, di satu sisi, dengan eratnya korelasi karya dan kepribadian relijius Nabi, di sisi lain. Bertitik tolak dari pembedaannya dengan ortodoksi, Rahman mengajukan formulasi hubungan Muhammad, Al-Qur´an, dan hakikat pewahyuan dengan definisi “bahwa Al-Qur´an secara keseluruhannya adalah Kalām Allāh/verbum dei dan juga, dalam pengertian biasa, seluruhnya merupakan perkataan Muhammad.” [40]
Tahun berikutnya, pemogokan dan kerusuhan terjadi di mana-mana sebagai ungkapan keberatan sekaligus respons atas pandangan Rahman dalam karyanya tersebut. Akibat pernyataannya di atas, oleh sementara kalangan konservatif, Rahman dituduh sebagai munkir-i-Qur´an. Menanggapi hal ini serta menyadari tidak adanya dukungan yang positif kepadanya, pada 5 Sepetember 1968, Rahman mengajukan pengunduran diri selaku direktur Pusat Lembaga Kajian Islam yang langsung dikabulkan oleh Ayyub Khan. Sehari setelah itu, berbagai media massa Pakistan mengeskpos berita kemunduran diri tokoh kontroversial ini. Akhirnya, pada tahun 1969, Rahman secara resmi melepaskan keanggotaannya dari Dewan Penasihat Ideologi Islam.[41]
Bulan-bulan terakhir tahun 1968, ketika penentangan terhadap Rahman mencapai puncak eskalinya, ia mendapat tawaran mengajar sebagai professor tamu di Universitas California, Los Angeles selama satu musim pendek. Tawaran ini kemudian diapresiasinya dan pada tahun itu juga, Rahman beserta keluarganya pindah ke sana. Alasan kepergian Rahman, setidak-tidaknya, didasarkan pada dua alasan berikut. Pertama, Rahman menyadari negaranya belum menyediakan lingkungan kebebasan intelektual yang bertanggungjawab.[42] Kedua, massifnya oposisi yang tidak sehat dari kalangan tradisionalis dan fundamentalis kepadanya. Tahun 1969, Rahman mulai mengajar di Universitas Chicago dan semenjak tahun berikutnya, tahun 1970, Rahman resmi menjabat Guru Besar Pemikiran Islam dalam berbagai apeknya di Department of Near Eastern Languages and Civilization, University of Chicago.[43]
Selain mengajar di Universitas Chicago, Rahman juga sering diminta oleh berbagai pusat studi terkemuka di Barat untuk memberi kuliah atau berpartisipasi dalam seminar-seminar internasional yang berkaitan dengan tema keislaman. Pusat studi Yahudi Universitas Connecticut di Storrs, pada musim semi 1982, pernah memintanya memberi kuliah tentang sikap Islam terhadap agama Yahudi. Ia merupakan cendekiawan Muslim pertama yang pernah diangkat menjadi staf pada Divinity School Universitas Chicago. Rahman juga merupakan sarjana Muslim pertama yang dianugerahi medali Giorgio Levi della Vida yang sangat prestius untuk studi peradaban Islam dari Gustave E. von Grunebaum Center for Near Studies, University of Califonia Los Angeles (UCLA).[44]
Pada medio dasawarsa 80-an, kesehatan Rahman mulai terganggu karena penyakit diabetes dan jantung yang dideritanya. Meskipun demikian, ia tetap bersemangat menjalankan tugas akademik. Selain itu, Rahman juga tetap memberikan kuliah dan ceramah kepada kalangan Muslim dan non Muslim. Bahkan, ketika dokter pribadinya telah memberikan “lampu kuning” agar mengurangi aktivitasnya, ia tetap memenuhi undangan Pemerintah Indonesia pada musim panas 1985. di Indonesia, Rahman tinggal selama 2 bulan, melihat keadaan Islam negeri tersebut sambil beraudiensi, berdiskusi, dan memberikan kuliah di beberapa tempat. Akhirnya, tanggal 26 Juli 1988, setelah tidak kurang dari 18 tahun menetap di Chicago sekaligus mengkomunikasikan ide-idenya, tokoh neo modernis itu wafat di Amerika Serikat dalam usia 69 tahun setelah beberapa lama ia dirawat di rumah sakit Chicago.[45] Pada tahun 1986, Rahman mendapat gelar Harold H. Swift Distinguished Service Professor di Cicago, gelar yang diemban sampai wafatnya.[46]
Bentang pemikiran Rahman dalam studi keislaman memang luar biasa dan ditunjang dengan mutu kesarjanaan yang sangat menakjubkan. Selama mengabdikan kehidupan ilmiahnya di Universitas Chicago, Rahman telah mengajarkan sejumlah mata kuliah yang meliputi pemahaman Al-Qur´an, filsafat Islam, tasawuf, hukum Islam, pemikiran politik Islam, modernisme Islam, kajian tentang al-Ghazālī, Ibn Taymiyyah, Syāh Waliyullāh, Iqbal, dan lain sebagainya. Kesemua bidang pemikiran tersebut ditopang dengan cara berpikirnya yang analitis, sistematis, komunikatif, serius, jelas, dan berani dalam mencari pemecahan terhadap masalah-masalah Islam dan umatnya. Rahman adalah sarjana (scholar) Muslim kaliber dunia. Dalam kepribadian dirinya, berkumpul ilmu seorang ‘alīm yang alim dan ilmu seorang orientalis yang paling beken.[47]
Pandangan yang senada terhadap Rahman, sebagaimana yang diungkapkan Ma’arif di atas, dinyatakan pula oleh Wan Mohd Nor Wan Daud.[48] Menurutnya, salah satu kepribadian Rahman, yang membuatnya disukai orang adalah senantiasa senang membantu mereka yang ingin dan layak belajar. Sebagaimana pengakuannya, selama periode perkuliahan dan studi doktoralnya dari September 1979 sampai 1986, Rahman selalu memberikan teguran untuk bersikap kritis dalam menilai karya-karyanya, yang semenjak awal perkuliahan hal ini telah ditanamkan Rahman. Selama menimba ilmu di Chicago inilah, Wan Mohd Nor Wan Daud menjadi paham akan lontaran-lontaran kontroversial keislaman Rahman.[49]
Dalam beragumentasi, gaya ungkapan Rahman dirasakan terlalu keras. Dengan pemakaian kata-kata yang tajam, yang tidak selalu efektif menghadapi suasana mental umat yang belum siap, menunjukkan keterpengaruhannya oleh gaya Ibn Taymiyyah. Dalam sebuah kesempatan, Rahman pernah mengkritik seorang Professor Iran pengikut Bahai yang dinilainya kurang matang dalam beragumentasi dengan ungkapan, “There is something wrong in his mind.” Kata-kata semacam ini tidak jarang ditemukan juga dalam sejumlah tulisannya, bukan hanya kepada outsider, tetapi juga ditujukkan kepada ulama tradisional. Kritik tajam juga sering dilontarkan Rahman kepada umat Islam yang pendek akal, malas, dan berorientasi pada masa lampau. Dalam anggapannya, sikap-sikap seperti itu bertentangan dengan tujuan Al-Qur´an.
Teologi Kristen dan Kristen politik juga tidak luput dari sorotan tajamnya, sekalipun di antara mahasiswanya ada yang beragama Kristen atau Katolik. Hebatnya, kesemua kritik tersebut diartikulasikan dengan cara pergaulannya yang begitu mengesankan. Rahman adalah pribadi yang sangat rendah hati (low profile). Lautan pengetahuannya tidak membuat ia menjadi sosok yang “angker”. Inilah, mungkin, yang menjadi salah satu faktor seorang pendeta Yahudi sekaligus mahasiswanya berujar kepada Ma’arif dengan ungkapan, “Belum pernah saya menemukan guru sebesar dan sebaik ini.” Padahal, dalam kelas Al-Qur´an-nya, tidak jarang Rahman mengeritik orang Yahudi dengan kata-kata tajam dan terus terang, tetapi dibalut dengan argumentasi yang kuat dan objektif.[50]
Ketika berkunjung ke Indonesia, Rahman memberikan ekspektasi yang cukup tinggi terhadap perkembangan Islam. Hal ini diungkapkan secara jujur olehnya:
Indonesia, sekalipun merupakan negara Muslim yang paling banyak penduduknya, merupakan wilayah geografis yang sangat terabaikan dalam konstelasi dan diskursus umum tentang Islam, terlebih berkait dengan pembahasan bidang-bidang khusus, seperti hukum dan pendidikan Islam. Ini disebabkan adanya kesan umum bahwa Indonesia adalah kawasan Islam yang berada “di luar arus pemikiran intelektual.” Namun, akhir-akhir ini, geliat pekembangan intelektual di Indonesia sangat menggairahkan dan kegiatan intelektualitas Islamnya mencapai taraf tingkat tinggi.[51]
Itulah kira-kira sepenggal kepribadian, kejeniusan intelektual, dan determinasi seorang Fazlur Rahman dalam ranah pemikiran keislaman, baik ketika direspon oleh manusia-manusia zamannya maupun oleh pengagum sekaligus penghujatnya sampai dewasa ini. Tokoh yang lahir di Hazara ini, sekarang termasuk wilayah teritorial Pakistan, dikategorikan sebagai salah seorang yang dianggap paling bertanggung jawab dalam masalah pembaruan Islam secara total dan tuntas.[52]
Orientasi dan rujukan Rahman adalah Al-Qur´an. Baginya, Al-Qur´an merupakan doktrin kehidupan dan kesatuan ilmu pengetahuan.[53] Tulisan ini saya cukupkan sampai di sini karena hanya diarahkan sebagai pendahuluan dalam rangka mendudukan posisi Rahman di tengah-tengah konstelasi pemikiran umat sekaligus menjadi pengantar awal dalam mencecap lebih lanjut kedalaman pemikiran-pemikirannya yang komprehensif tentang persoalan Islam dan umatnya sekaligus rancang bangun solusi yang ditawarkannya dengan alternatif pemaduan kekayaan tradisi (turāts) dengan modernitas Islam.
  1. Pemikiran Keislaman Rahman: Lontaran Gagasan Kontroversial
Kritisisme yang dibangun oleh Rahman, tidak hanya ditujukkan kepada cara pandang kalangan konservatif semata, di mana di dalamnya terdapat ulama-ulama tradisional, tetapi digagas dan disematkan kepada semua golongan, baik fundamental-literalis, modernisme klasik, neo revivalis-fundamentalis dan juga kalangan modernis. Lebih lanjut, kritik itu pun diarahkan kepada bangunan pemikiran dan keilmuan Islam secara umum. Dekosntruksi yang dicanangkannya pun bukan hanya tertuju kepada pemahaman-pemahaman artifisial an sich, tetapi dilanjutkan dengan tawaran-tawaran segar sebagai sebuah kontruksi baru dalam memahami Islam yang lebih sesuai dengan pembacaan realitas kekinian.
Terasa agak kurang bijaksana apabila penilaian terhadap pemikiran Rahman dilakukan secara tendensional-emosional, tanpa mempertimbangkan orisinalitas pemikirannya, yang hampir mencakup segala bidang keislaman, yang tersebar dalam sejumlah buku-bukunya. Hal inilah, sebagaimana yang diungkapkan oleh Syafi’i Ma’arif, yang terjadi pada Prof. Hamid Algar ketika menilai pemikiran Rahman. Ironisnya, baik Rahman maupun Algar sama-sama memilih hidup di Barat, di mana Algar menjadi guru besar di Universitas California, sedangkan Rahman menjadi guru besar pemikiran Islam di Universitas Chicago. Untungnya, Rahman memiliki karya-karya yang cukup komprehensif tentang segala aspek pemikirannya, sesuatu yang belum dihasilkan oleh Algar.[54]
Oleh karena kenyataan Rahman banyak menimba pengetahuan dari sarjana-sarjana Barat, maka ia dianggap sebagai agen orientalis. Setidak-tidaknya, hal inilah yang menyokong munculnya dugaan dan tuduhan yang intinya menganggap “nyeleneh” pemikiran Rahman.[55] Ungkapan-ungkapan miring dan hujatan-hujatan pedas terhadap Rahman juga banyak disuarakan oleh sebagian kalangan umat Islam yang tidak mengenal pemikirannya secara komprehensif. Kenyataan ironis ini dapat dibuktikan dalam sebuah cerita Ma’arif. Menurut Buya, begitu panggilan akrab (laqab) beliau di kalangan angkatan muda Muhammadiyah, ketika berjalan-jalan di Chicago, ia berkenalan dengan seseorang dari Pakistan. Setelah menperkenalkan identitasnya sebagai mahasiswa Islamic Studies di bawah bimbingan Rahman, di Universitas Chicago, spontan orang Pakistan tersebut mengatakan, “Fazlur Rahman is not a good moslem, he does not believe in revelation.”[56]
Demikian, Rahman adalah pribadi yang banyak memiliki banyak keunggulan dan kelebihan sekaligus kekurangan dan kelemahan. Banyak yang menyayangkan cara Rahman yang cenderung straight to the point dalam mengungkapkan sejumlah gagasannya. Seandainya Rahman mau sedikit bersikap lunak, terutama terhadap kelompok-kelompok yang menjadi sasaran kritiknya, beliau tidak harus terusir dari negaranya atau mungkin tidak perlu ada kontroversi yang berlarut-larut, yang mengakibatkan sebagian karyanya dilarang beredar di negerinya sendiri, sehingga dalam paruh waktu tertentu pemikirannya hanya beredar di kalangan tertentu. Kontroversi tentang Rahman tidak hanya berhenti di situ. Bahkan, kontroversi tersebut terus bergulir mengiringi laju pemikiran inovatifnya yang menghentak kesadaran umat dan acapkali keluar dari mainstream kesepakatan ulama tradisionalis yang dikritiknya. Sosoknya bisa dikatakan hampir identik dengan segala hal yang berbau kontroversial.[57]
Sejujurnya, hubungan Rahman dengan kalangan tradisionalis dan fundamentalis berjalan dengan baik. Sepenggal kisah ini menunjukkan betapa eratnya hubungan antara Rahman dengan al-Mawdudi, sebagai representasi kalangan tradisionalis dan fundamentalis. Ketika Rahman baru menyelesaikan studi Masternya dan tengah belajar untuk program Ph.D di Lahore, Rahman pernah diajak al-Mawdudu bergabung dengan Jamā’at al-Islāmī dengan syarat harus meninggalkan program studinya tersebut. Sebab, menurut al-Mawdudi “semakin banyak engkau (Rahman) belajar, maka semakin beku kemampuan-kemampuan praktismu.”[58]
Namun, Rahman menolak ajakan al-Mawdudi tersebut dan lebih meneruskan program studinya dengan segala konsekwensi yang dihadapinya. Belakangan, Rahman menjadi salah seorang kritikus pemikiran keagamaan al-Mawdudi yang paling tangguh, yang ia tuangkan dalam sejumlah tulisan awalnya ketika ia tengah mengajar di Barat pasca menyelesaikan studi doktoralnya.[59] Sejatinya, bibit-bibit “permusuhan” Rahman dengan kalangan tradisionalis dan fundamentalis telah dimulai sejak Rahman memutuskan untuk meneruskan studi ke Inggris. Kondisi ini, kemudian diperuncing ketika Rahman ditunjuk sebagai Direktur Pusat Lembaga Kajian Islam.
Terdapat tiga faktor utama yang harus dicermati untuk menjelaskan terjadinya sejumlah kontroversi dan oposisi terhadap pemikiran Rahman yang berujung kepada pengunduran dirinya dari lembaga riset Islam. Pertama, para ulama Pakistan sudah lama bersitegang dengan segala sikap dan pemikiran yang cenderung atau pro Barat. Penyikapan seperti ini mendapatkan momentumnya ketika Rahman kembali ke Pakistan. Keputusan Rahman untuk melanjutkan studi di Barat tidak dapat dibenarkan oleh mereka, sehingga penunjukkan Rahman sebagai Direktur Pusat Lembaga Kajian Islam dan anggota Dewan Penasihat Ideologi Islam tidak pernah direstui. Menurut mereka, jabatan Direktur Pusat Lembaga Kajian Islam merupakan hak eksklusif seorang ‘alīm yang terdidik secara tradisional.[60]
Kedua, cara Rahman mengemukakan tafsiran-tafsiran modernnya sangat agresif dengan menempuh pendekatan shock treatment, yaitu suatu bentuk pengekspresian secara blak-blakan, tanpa kompromi, dan basa-basi dengan lingkungannya. Gaya ini kerap kali menimbulkan kesan arogansi dan dirasa menekan kalangan ulama Pakistan. Rahman sendiri, yang memosisikan dirinya sebagai figur modernis, bersikap optimistik terhadap posisi ini. Bahkan, rahman, dengan basis inelektual yang mapan, merupakan figur modernis yang keras dan radikal.[61] Tegasnya, pelibatan diri Rahman dalam membangun Pakistan (dan dalam melakukan pembaruan Islam), menjadikan Rahman, dalam banyak hal, lebih dekat dengan pandangan-pandangan kaum modernis. Namun, berkat kritisisme yang diperolehnya selama di Barat dan dasar keislamannya yang kuat telah menmberikan Rahman suatu dasar yang kukuh untuk bersikap kritis terhadap konsep-konsep Barat dan Islam sekaligus, sehingga ia mampu menunjukkan karakteristik pandangan dan pemikirannya secara khas, yaitu neo modernisme yang liberal.[62]
Ketiga, terdapat penilaian bahwa rezim Ayyub Khan menetapkan sejumlah kebijakan yang bersifat sekuler dengan cara melepaskan komitmen “Islam” dari rumusan konstitusi negara. Pakistan yang lahir dari karakteristik masyarakat dan latar belakang identitas keislaman, dalam usia yang relatif masih muda, tidak menyokong kebijakan tersebut, terutama yang diwakili oleh para ulama. Faktor inilah yang merupakan penyebab utama timbulnya gerakan demostrasi dan sebuah protes besar berskala nasional, yang sejatinya ditujukkan kepada Ayyub Khan, yang kental dengan aroma politis. Posisi objektif Rahman serta kolaborasinya dengan Ayyub Khan hanya menjadikannya terjebak serta “korban” dalam lingkaran politis ini.[63]
Berbekal sekelumit pemahaman kondisi di atas, penulis akan sajikan sejumlah gagasan kontroversial Rahman selama di Pakistan. Hal ini penting diungkap, selain akan menunjukkan bahwa ia telah mengkonstruk bangunan metodologisnya dari fase ini  serta kontinyuitasnya menuju kristalisasi dalam konstruksi yang lebih sistematis di periode Chicago, juga untuk melihat bagaimana cara Rahman mengkontekstualisasikan gagasan-gagasan pembaruannya dengan memperhatikan aspek historikalitas teks dan aspek situasionalitas sasaran dan tujuan-tujuan pemaknaannya.
C.      Hermeneutika Al-Qur´an Fazlur Rahman: Teori dan Artikulasi Langkah-Langkah Metodis
            Pembahasan yang akan dicoba dieksplorasi pada bagian ini adalah tentang keterpengaruhan Rahman atas hermeneutika; sebuah metode analisis dalam mengurai penafsiran sitematis-kronologis-historis dan double movement-nya dengan bertumpu pada hermeneutika objektivis ála Emilio Betti. Akan terasa lebih tepat. sekiranya sebelum membahas tentang itu, pemahaman Rahman tentang Al-Qur´an secara definitif serta hakikat pewahyuannya dapat dielaborasi terlebih dahulu.
1. Al-Qur´an dan Hakikat Pewahyuan dalam Pandangan Fazlur Rahman
            Memahami pandangan Rahman tentang Al-Qur´an dan rumusannya terhadap hakikat pewahyuan Al-Qur´an, yang berbeda dengan kalangan konservatif, merupakan pesoalan yang tidak bisa diabaikan begitu saja karena hal ini akan sangat membantu dalam mengetahui gagasan-gagasan lain Rahman, yaitu teori sistematis-kontekstual-historis dan gerakan ganda (double movement), terutama tentang pembahasan etika Al-Qur´an yang kerap kali diabaikan oleh para pemerhati Al-Qur´an. Pembahasan ini pun merupakan eksplorasi yang lebih mendalam dari paparan sebelumnya.
Menurut Rahman, Al-Qur´an merupakan respon terhadap aktivitas Muhammad Saw selama kurun waktu pewahyuannya selama, kurang lebih, 23 tahun. Tanpa kepercayaan seperti ini, tidak seorang pun dapat dikatakan telah menjadi seorang Muslim, bahkan untuk menjadi seorang Muslim yang nominal.[64] Demikian, Al-Qur´an lahir dan diturunkan bukan dalam ruang hampa, tetapi dalam sejarah umat manusia (masyarakat Arab). Itu sebabnya, Rahman menyebutnya sebagai respon Ilahi melalui pikiran Muhammad Saw terhadap situasi-situasi sosio-moral dan historis masyarakat Arab abad ke-7 M.[65]
Berangkat dari keyakinan seperti itu, seskipun Rahman memiliki keyakinan yang sama dengan kalangan ortodoksi tentang hakikat wahyu, namun formulasi yang distandardisasikan oleh kalangan ortodoksi tentang hubungan antara Muhammad dan Al-Qur´an memberikan deskripsi yang terlalu mekanis dan eksternalistis.[66] Ilustrasi penyampaian wahyu Tuhan kepada Muhammad oleh Jibril di “stigmatisasi” Rahman dengan ungkapan “hampir-hampir ibarat tukang pos yang menyampaikan surat-surat.”[67]
Bagi Rahman, abstraksi hakikat pewahyuan di atas, merupakan bukti kemandulan intelektualitas ortodoksi yang tidak mampu membedakan dogma “kelainan” karakter verbal wahyu, di satu sisi, dengan eratnya korelasi karya dan kepribadian relijius Nabi, di sisi lain. Bertitik tolak dari pembedaannya dengan ortodoksi, Rahman mengajukan formulasi hubungan Muhammad, Al-Qur´an, dan hakikat pewahyuan dengan definisi “Al-Qur´an secara keseluruhannya adalah Kalām Allah/verbum dei dan juga, dalam pengertian biasa, seluruhnya merupakan perkataan Muhammad.” [68]
Peryataan Rahman tersebut, tentu saja, menggegerkan masyarakat Muslim Pakistan serta para ulama tradisionalis dan konservatif yang selama ini menentangnya, tidak terkecuali kita sampai hari ini. Bagi Rahman, sinyalemen tersebut bukanlah tanpa dasar, di mana Al-Qur´an secara eksplisit mengakuinya, karena jika bersikukuh bahwa Al-Qur´an diturunkan kepada hati Nabi, bagaimana mungkin ia menjadi sesuatu yang berada di luar Nabi? Untuk membuktikan bahwa Al-Qur´an bersumber dari Allah, maka Rahman memberikan penjelasan psikologis sebagai berikut:
Menurut al-Qur´an sendiri dan konsekwensinya juga bagi kaum Muslim, Al-Qur´an adalah Kalām Allah (verbum dei). Muhammad juga dengan tegas meyakini bahwa ia merupakan penerima risalah yang sepenuhnya lain secara total; kelainan total ini (kami akan mencoba menyingkap secara lebih tepat kesadaran akan kelainan total itu) demikian hebatnya, sehingga dia menolak – karena kuatnya kesadaran ini – beberapa klaim kesejarahan menurut tradisi Judeo-Kristiani yang paling mendasar tentang Ibrāhīm dan nabi-nabi lainnya. Lewat sebuah saluran, “kelainan” ini “mendiktekkan” Al-Qur´an dengan otoritas mutlak. Suara dari kedalaman hidup berbicara dengan jelas, tidak dapat disangkal, dan mendesak. Kata Qur´ān yang berarti “bacaan”, tidak saja menunjukkan tentang ini secara gamblang, tetapi teks Al-Qur´an sendiri dalam beberapa tempat menandaskan bahwa Al-Qur´an diwahyukan secara verbal, bukan hanya pewahyuan “makna” dan ide-idenya semata. Istilah wahy dalam Al-Qur´an secara jelas terbatas (agak berdekatan) dalam pengertian inspirasi, tetapi tidak berarti mengesampingkan bentuk verbal yang diperlukan (hanya saja kami tidak mengartikan kata/verbal dengan suara).[69]
Lebih lanjut, Rahman menjelaskan eksplorasi psikologisnya:
Di samping itu, dalam hubungannya dengan kesadaran biasa, terdapat pengertian yang salah mengenai pengapungan ide dan perasaan yang terdapat di dalamnya serta secara mekanis dapat dilapisi dengan kata-kata. Sebenarnya, terdapat suatu hubungan organis antara perasaan, kata, dan ide. Dalam inspirasi, bahkan inspirasi biasa, hubungan itu sedemikian lengkap, sehingga persaan, ide, dan kata-kata merupakan suatu kemajemukan menyeluruh dengan suatu kehidupan inspirasi itu sendiri.[70]
Jadi, bagi Rahman, sumber asal kreatif terletak di luar capaian biasa keperantaraan (agen) manusia, tetapi prose situ timbul sebagai suatu bagian integral pikiran Nabi. Dengan kata lain, ide dan kata-kata lahir di dalam dan dapat dikembalikan kepada pikiran Nabi, sedangkan sumbernya berasal dari Allah.[71] Apa yang diutarakan Rahman tentang hakikat wahyu, pada dasarnya, merupakan penegasan ulang dari statement pendahulunya, yaitu Syah Waliyullah dan Mohammad Iqbal. Syah Waliyullah, tentang hal ini, secara tegas menyatakan bahwa “wayh verbal muncul dalam bentuk kata-kata, ungkapan, dan gaya bahasa yang telah ada dalam pikiran Nabi.”
Dalam karya berbahasa Persia, Satha’at, Syah Waliyullah mengelaborasi lebih lanjut pernyataannya sebagai berikut:
Ketika Tuhan berkehendak mengkomunikasikan suatu petunjuk yang dimaksudkan abadi hingga akhir zaman, Dia menundukkan pikiran Nabi dalam suatu cara sehingga Dia menurunkan kitab-Nya melalui cara yang samar-samar dan tidak berbeda di dalam hati nurani (pure heart) Nabi … Pesan ketuhanan menghujam ke dalam hati nurani (pure heart) Nabi seperti yang telah ada di dalam dunia Ilahi, sehingga dengan demikian Nabi mengetahui dengan yakin bahwa pesan ini merupakan Kalām Allah (verbum dei)… Setelah itu, ketika kebutuhan muncul, rangkaian kata yang terangkai dengan baik dikeluarkan dari fakultas-fakultas rasional Nabi melalui perantaraan malaikat.”[72]
Untuk memperkuat argumentasi Waliyullah di atas, maka Rahman mengemukakan pandangan Mohammad Iqbal tentang kesatupaduan antara perasaan, kata, dan ide. Iqbal menandaskan pernyataannya sebagai berikut:
Harus dicamkan bahwa perasaan mistik, seperti halnya semua perasaan, juga memiliki elemen kognitif, dan saya yakin, disebabkan oleh elemen kognitif itulah sehingga perasaan menjelma ke dalam bentuk ide. Kenyataannya, merupakan ciri khas perasaan untuk mencari ekspresi dalam pemikiran. Tampaknya, perasaan dan ide merupakan aspek non temporal dari unit pengalaman batin yang sama. Perasaan yang tidak diartikulasikan mencari jalan untuk memenuhi suratan nasibnya dalam suatu ide yang, pada gilirannya, cenderung memperkembangkan ke luar pakaian dirinya sendiri yang dapat dilihat. Bukan sekedar ungkapan metaforis untuk mengatakan bahwa ide dan kata secara serempak muncul dari rahim perasaan, kendati pemahaman yang logis juga tidak dapat berbuat lain kecuali meletakkan keduany dalam tatanan temporal dan, karenanya, menciptakan kesulitannya sendiri dengan menganggapnya secara bersamaan terisolasi. Terdapat suatu pengertian di mana kata itu juga diungkapkan.[73]
Dengan demikian, secara psikologis, ide dan kata merupakan suatu organis serta lahir dalam pikiran Nabi secara serentak. Namun, karena asal mula kompleksitas riadik (perasaan-ide-kata) ini berada di luar kontrol Nabi dan merupakan suatu perbuatan kreatif (creative act), maka ia harus dipandang sebagai wahyu yang berasal dari suatu sumber di luar diri Nabi. Ringkasnya, Iqbal berargumen bahwa kata-kata muncul bersamaan dengan ide tanpa terkontrol secara sadar oleh Nabi sebagai penerima wahyu.[74]
Dalam rangka membangun karakter Ilahiah murni dari wahyu dan keunikan Al-Qur´an, sekaligus membedakannya dengan bentuk-bentuk puisi, artistik, dan inspirasi mistik lainnya, Rahman menyatakan:
Élan dasar Al-Qur´an adalah moral. Dari sana mengalir penekanan tegas terhadap monoteisme maupun keadilan sosial. Hukum moral adalah abadi, ia merupakan perintah Tuhan; manusia tidak dapat membuat atau memusnahkan hukum moral itu, ia harus menyerahkan dirinya pada hukum tersebut. Penyerahan diri terhadap hukum moral disebut Islām dan aplikasinya dalam kehidupan disebut dengan ibādah. Oleh karena penekanan Al-Qur´an yang tegas terhadap hukum moral ini, maka Tuhan Al-Qur´an tampak bagi kebanyakan orang sebagai Tuhan Yang Maha Adil. Namun, hukum moral dan nilai-niai spiritual, agar bisa diterapkan, harus diketahui. Sementara dalam hal kekuatan persepsi kognitif, manusia memiliki perbedaan tegas antara satu dengan lainnya hingga tingkat yang tidak terbatas … Seorang Nabi adalah seseorang yang dalam keseluruhan karakter, (dan) perilaku aktualnya rata-rata lebih unggul tinimbang manusia pada umumnya … Ketika persepsi moral Muhammad mencapai titik tertinggi dan menjadi identik dengan hukum moral itu (dalam saat-saat tersebut perilaku Muhammad berada di bawah kritisisme Al-Qur´an), maka Kalām diberikan bersama-sama dengan inspirasi (wahy) itu sendiri. Dengan demikian, Al-Qur´an adalah murni Kalām Ilahi, tetapi, tentu saja secara bersamaan berkaitan erat dengan kepribadian Muhammad, yang relasinya dengan Kalām Ilahi tersebut, tidak dapat dibayangkan secara mekanis seperti sebuah perekam. Kalām Ilahi tersebut mengalir melalui hati Nabi.[75]
Rahman melanjutkan argumentasinya bahwa wahyu Al-Qur´an lahir dalam hati dan pikiran Nabi, yang mana hal tersebut dikonfirmasi oleh Al-Qur´an sendiri, yaitu QS. Al-Syu’arā´ (26): 193-194[76] dengan pemahaman bahwa “Rūh yang terpercaya telah menurunkannya kepada hatimu agar kamu menjadi seorang pemberi peringatan” dan QS. Al-Baqarah (2): 97[77] yang diartikannya “Katakanlah: siapa yang menjadi musuh Jibril (biarkanlah begitu), karena Dialah yang menurunkannya ke dalam hatimu (dengan seizin Allah).”
Dengan keyakinan bahwa wahyu Al-Qur´an lahir dalam hati dan pikiran Nabi, maka secara langsung Rahman menolak penamaan malaikat sebagai perantara wahyu kepada Nabi. Menurutnya, Al-Qur´an tidak mengatakan bahwa yang menyampaikan wahyu kepada Nabi adalah sebagai malaikat., melainkan rūh atau utusan spritual. Malaikat yang sering dinyatakan oleh Al-Qur´an adalah mahluk-mahluk langit yang mengabdi kepada Allah, yang melakukan berbagai macam kewajiban; mulai mencabut nyawa manusia hingga memikul Arsy Allah serta dapat diutus kepada para nabi dan orang-orang beriman demi menguatkan hati mereka. Al-Qur´an tidak menyatakan bahwa malaikat-malaikat tersebut sebagai pembawa wahyu. Bahkan, yang tepat, yang menyampaikan wahyu kepada Muhammad adalah rūh tersebut.[78]
Sekalipun demikian, menyimpulkan bahwa rūh suci sangat berbeda dengan malaikat merupakan kesimpulan yang tergesa-gesa. Dalam QS. Al-Takwīr (81): 19-21,[79] dinyatakan bahwa mungkin sekali rūh suci adalah malaikat yang paling mulia dan dekat dengan Allah. Di dalam beberapa tempat yang lain, Al-Qur´an menyebutkan malaikat dan rūh suci tersebut secara bersamaan (QS. Al-Qadr [97]: 4,[80] Al-Ma’ārij [70]: 4,[81] dan Al-Nahl [16]: 2[82] ). Bahkan jika diamati, dalam ayat terakhir Al-Nahl (16): 2, tidak dikatakan bahwa rūh tersebut sebagai mahluk lain di samping para malaikat, tetapi sebagai sesuatu yang selalu mereka (malaikat) bawakan.
Pernyataan orang-orang Mekah yang berulangkali meminta agar malaikat diturunkan kepada Nabi selalu disangkal oleh Al-Qur´an. Ini, tandas Rahman, memberi petunjuk bahwa yang mereka inginkan adalah sesuatu yang dapat dilihat, didengar, dan diajak berbicara. Padahal, Al-Qur´an senantiasa menegaskan bahwa yang menyampaikan wahyu adalah rūh yang datang ke dalam hati Nabi, sebagaimana diisyaratkan dalam QS. Al-Syu’arā´ (26): 193-194 dan rūh ini diidentikkan dengan Jibrīl, QS. Al-Baqarah (2): 97. Rahman juga menambahkan bahwa wahyu dan yang menyampaikannya bersifat spritual serta terjadi di dalam batin Muhammad,[83] sebagaimana dikonfirmasi dalam QS. Al-Syūrā´ (42): 24.[84] Demikian, Rahman berkesimpulan, Hadits-Hadits yang menyatakan bahwa Jibril terlihat sebagai manusia biasa serta berbicara dengan Nabi seperti yang disaksikan oleh para sahabat Nabi harus dianggap sebagai kisah-kisah yang direkayasa di kemudian hari.[85]
Menyimak paparan Rahman tentang Al-Qur´an dan hakikat pewahyuannya, maka dapat disimpulkan bahwa wahyu lahir dalam hati dan pikiran Nabi, sementara “malaikat” yang menyampaikannya diistilahkan dengan rūh. Sejatinya, definisi-definisi yang diungkapkan oleh Rahman tentang Al-Qur´an dan hakikat pewahyuannya, merupakan eksplorasi dari gagasan-gagasan Syah Waliyullah dan Muhammad Iqbal. Rahman hanya memberikan sedikit polesan agar karakter wahyu yang unik berbeda dari bentuk-bentuk pengetahuan kreatif lainnya, seperti puisi dan kreativitas seni lainnya.
Sekalipun demikian, gagasan tentang hakikat pewahyuan Al-Qur´an memiliki implikasi signifikan dalam konstruk penafsiran sistematis-kronologis-historis dan double movement-nya. Upaya untuk memisahkan antara ide keabadian dan karakter Ilahiah (moral) Al-Qur´an dari ide keabadian kandungan legal spesifiknya, melalui pendekatan sejarah yang ketat adalah konsekwensi langsung dari pandangannya tentang hakikat pewahyuan Al-Qur´an. Menurutnya, ketentuan Ilahi yang berhubungan dengan dimensi sosial memiliki domain moral dan legal spesifik. Domain legal spesifik merupakan transaksi antara keabadian Kalām Allah dan situasi lingkungan aktual Arabia pada abad ke-7. Situasi lingkungan tertentu ini akan selalu berubah.
Semetara domain moral, yang berada di balik ketentuan legal spesifik, merupakan respon terhadap situasi lingkungan yang akan tetap bertahan sampai kapan pun. Bagi Rahman, keabadian legal spesifik Al-Qur´an terletak dalam prinsip-prinsip moral yang mendasarinya, bukan pada ketentuan-ketentuan literalnya. Selain itu, eksposisi tentang tujuan dari ajaran dan legislasi Al-Qur´an merupakan posisi yang harus diindahkan. Kedua aspek ini tersinyalir menjadi pedoman dalam mengembangkan konstruksi metodologisnya di kemudian hari.
Rahman menyatakan, Al-Qur´an sebagai firman Allah[86] pada dasarnya adalah sebuah kitab mengenai prinsip, nasehat keagamaan, dan moral bagi umat manusia, bukan sebagai dokumen hukum, meskipun dalam Al-Qur´an terdapat sejumlah hukum-hukum dasar, seperti salat, puasa, dan haji.[87] Dari awal hingga akhir, Al-Qur´an selalu memberikan penekanan pada semua aspek moral, yang diperlukan bagi tindakan kreatif manusia. Oleh karena itu, kepentingan sentral Al-Qur´an adalah manusia dan perbaikannya.[88]
Pernyataan di atas, menunjukkan bahwa Rahman memandang Al-Qur´an – termasuk ajaran Nabi – secara substansif dan konstitutif adalah untuk keperluan tindakan manusia di dunia.[89] Demikian, Al-Qur´an harus dijadikan dasar dan acuan pokok dalam semua sikap dan perilaku umat Islam, baik sebagai individu ataupun sebagai bagian dari masyarakat. Kitab Suci ini hendaknya sekaligus menjadi sumber nilai yang dapat dijadikan landasan untuk pengembangan solusi dalam menjawab persoalan yang dihadapi mereka.
Dalam aplikasinya, Rahman selalu merujuk kepada A-Qur´an karena dalam pendangannya, Al-Qur´an sebagai firman Allah sama kongkritnya dengan Perintah atau Hukum Allah sendiri,[90] bahkan sebagai Allah itu sendiri, sekaligus mempresentasikan kedalaman dan keluasan hidup itu sendiri. Al-Qur´an tidak dapat dipergunakan untuk mendukung bias-bias intelektual dan kultural.[91] Atas dasar itu, semua pandangan keagamaan, termasuk teologi, harus mengacu kepada sumber dasar tersebut.
Rahman enegskan, Al-Qur´an merupakan petunjuk yang paling komprehensif bagi manusia. Pandangannya ini didasarkan pada QS. Yūsuf (12): 111, Yūnus (10): 37, dan Al-An’ām (6): 114. sebagai konsekwensinya, ia menyarankan, dan berupaya, agar Kitab Suci ini dipahami sebagai suatu kepaduan yang berjalin kelindan yang dapat menghasilkan suatu pandangan hidup (weltanschauung)yang pasti dan menyeluruh.[92] Dalam rangka mencapai hal itu, Rahman mengemukakan suatu metode interpretasi Al-Qur´an yang rasional, sistematis, dan komprehensif. Pola seperti itu merupakan satu-satunya metode yang dapat diandalkan (reliable), baik dalam memahami nilai-nilai moral ataupun aspek legal.[93]
            Secara umum, dalam membangun metodologi pemahaman al-Qur´an yang komprehensif, pengaruh al-Syāthibī dan Muhammad ‘Abduh dalam konstruksi pemikiran Rahman tidak dapat dilepaskan. Dari al-Syāthibī, Rahman mengadopsi keyakinan bahwa dalil-dalil syari’ah (Al-Qur´an dan Hadits Nabi) harus dipahami secara totalitas dan kumulatif. Sementara dari ‘Abduh, Rahman menandaskan perlunya suatu bentuk penafsiran dan pemahaman Al-Qur´an secara keseluruhan dan tidak dipahami secar sepenggal-sepenggal (ad hoc).[94]
            Bertolak dari keharusan pemahaman Al-Qur´an secara komprehensif, Rahman mengembangkan suatu metodologi yang sistematis dan aplikatif, yang dalam anggapannya, pada masa-masa sebelumnya belum ditangani secara sungguh-sungguh. Metodologi tersebut harus melibatkan faktor-faktor kognitif dari wahyu dan mengesampingkan aspek-aspek estetik-apresiatif atau kekuatan apresiasinya. Tujuannya, agar risalah atau misi Al-Qur´an benar-benar dipahami sehingga memungkinkan orang-orang yang beriman dan yang ingin hidup dalam bimbingan Al-Qur´an dapat melaksanakan ajarannya secara koheren dan bermakna.
            Lebih dari itu, melalui pendekatan yang murni kognitif, baik orang Muslim atau non Muslim – dalam masalah-masalah tertentu – dapat bersatu, asalkan mereka memiliki simpati dan ketulusan hati yang semestinya. Meskipun demikian, iman yang memberikan motivasi yang diperlukan untuk hidup di bawah bimbingannya hanya milik orang-orang yang benar-benar Muslim.[95]jelasnya, melalui pendekatan kognitif, seorang Muslim dan yang lainnya sama-sama mempunyai kesempatan yang tidak berbeda secara intelektual untuk memahami Al-Qur´an secara objektif dan benar, meskipun untuk mengimani dan mempercayainya merupakan masalah yang lain.
2. Konsepsi Hermeneutika Fazlur Rahman
Kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, yaitu hermeneuein, yang dapat diterjemahkan dengan menafsirkan, menginterpretasikan atau menerjemahkan. Selanjutnya, derivasi hermeneuein menghasilkan kata hermeneia, sebagai kata benda, yang berarti penafsiran atau interpretasi, sementara kata hermeneutes, kata subjek, bermakna interpreter (penafsir).[96] Dengan demikian, hermeneutika (hermeneutik) dapat didudukan dan bertindak sebagai penafsir serta ditunjukkan pembedaannya dengan kata hermetik. Kata hermetik sendiri merupakan pandangan filsafat yang diasosiasikan pada tulisan-tulisan hermetik, suatu literatur ilmiah Yunani yang berkembang pada abad awal-awal pasca Kristus.[97] Tulisan ini disandarkan kepada Hermes Trimegistus.[98]
Padanan transliterasi hermeneutika dalam bahasa Inggris adalah hermeneutics (noun/kata benda) dengan kata hermeneutic sebagai adjective (kata sifat)-nya.[99] Sebagian kalangan membedakan kata hermeneutic (without ‘s’) dan hermeneutics (with ‘s’). Term yang pertama, ditujukkan sebagai sebuah kata adjective (kata sifat), apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi ketafsiran dengan menunjuk keadaan atau sifat yang terdapat dalam satu penafsiran. Sementara term yang kedua, sebagai kata benda (noun), memiliki tiga pengertian, yaitu (1) sebagai ilmu penafsiran, (2) sebagai ilmu yang menelisik maksud yang terkandung dalam kata-kata dan ungkapan penulis, dan (3) sebagai penafsiran yang, secara khusus, menunjuk kepada penafsiran kitab suci.[100]
Dalam kata kerja hermeneuien terkandung tiga unsur pokok. Pertama, adanya pesan, tanda atau berita yang seringkali berbentuk teks. Kedua, adanya sekelompok orang atau penerima pesan dari teks tersebut. Ketiga, adanya perantara antara teks dan penerima teks. Dalam pengalaman nyata, ketiga unsur itu dapat diganti tempatnya dalam urutan waktu, khususnya si penafsir dapat “pindah” ke tempat kedua atau malahan ke tempat pertama. Penampilannya di depan para penerima menyatakan adanya suatu pesan. Kata hermenutika sendiri, dengan demikian, menunjukkan seluruh wilayah berlangsungnya hermeneuein itu.[101]
Ketiga unsur inilah yang nantinya akan menjadi komposisi utama dalam seluk beluk hermeneutika (triadic structure of the act of interpretation), yaitu sifat-sifat teks, alat apa yang dipakai untuk memahami teks, dan bagaimana pemahaman dan penafsiran itu ditentukan oleh anggapan-anggapan dan kepercayaan-kepercayaan mereka yang menerima dan menafsirkan teks. Apabila dirunut ke belakang, keberadaan hermeneutika dapat dilacak sampai Yunani Kuno. Pada waktu itu, diskursus tentang hermeneutika telah menunjukkan geliatnya sebagaimana yang terdapat dalam tulisan Aristoteles yang berjudul Peri Hermenians (de interpretation).[102]
Ditilik dari perspektif historis, konsep tentang hermeneutika selalu diasosiasikan dengan Hermes Trimegistus, seorang dewa dalam mitologi Yunani. Sekalipun cacatan pertama mengenainya terdapat dalam surat Manetho kepada Ptolemy II sebelum tahun 250 SM, namun kepercayaan tentang tokoh ini sudah dianut luas sejak jauh sebelumnya. Bahkan, ketokohannya dapat ditemukan hampir dalam setiap tradisi kuno. Hermes, dalam agama Mesir Kuno diidentifikasi sebagai Toth, sebagai Ukhnuh dalam agama Yahudi, di mana baik Toth dan Ukhnuh dikenal sebagi Nabi Musa,[103] dan Housyang dalam tradisi Persia. Sementara dalam mitologi Yunani, ia dianggap sebagai anak lelaki Zeus dengan Maia, dan dalam kepercayaan Romawi Kuno diidentikkan dengan Mercury.[104]
Sumber-sumber mitologi Yunani lainnya menjelaskan bahwa Hermes merupakan utusan para dewa kepada manusia. Ia bertugas menyampaikan perintah dewa-dewa kepada manusia sekaligus menafsirkan pesan bahasa langit ke dalam bahasa bumi. Sekalipun pendapat ini merupakan kelazimannya, namun Noah Webster memiliki perspektif yang berbeda tentang peran seorang Hermes. Dalam Kamus-nya, Noah menandaskan, “Hermes, in Greek Mythology, a god who served as massanger for the other gods.” [105] Betapapun demikian, dalam semua kepercayaan, Hermes diakui sebagai Bapak (founding father) pemikiran dan ilmu pengetahuan. Sampai sekarang, fragmen-fragmen ajarannya masih terdapat dalam Corpus Hermeticum, Ascelapius serta sejumlah naskah lainnya yang tersebar dalam berbagai tradisi, baik Yunani, Persia, Kristiani, dan lain sebagainya.[106] Sementara dalam hipotesis Hosein Nasr, sosok Hermes Trimegistus tidak lain adalah Nabi Idrīs yang disebutkan dalam Al-Qur´an dan agama Islam.[107]
Penisbatan ketokohan seseorang dalam sebuah kepercayaan, tradisi, dan agama dengan ketokohan orang lain dalam kepercayaan, tradisi, dan agama berbeda, bukan merupakan hal yang baru bahkan, telah menjadi suatu fenomena yang berjalan “sewajarnya.” Pada pertengahan abad ke-20, seorang ulama Pakistan, Mawlana Kalam Azad, dalam karyanya Tafsīr Sūrah al-Fātihah, menyatakan opini bahwa Nabi Zulkifli – yang berarti seseorang dari Kifl, di mana terulang sebanyak 2 kali dalam Al-Qur´an; QS. Al-Anbiyā´ (21): 85 dan Shād (38): 48, sebagai sosok yang saleh dan sabar – adalah Shakyamuni Budha. Sekalipun mayoritas ulama mengidentifikasikan Dzulkifli dengan Nabi Ilyas, Azad memiliki determinasi lain. Ia menjelaskan kata Kifl sebagai bentukan Arabisasi dari Kapila, kependekan dari Kapilavastu. Kalam Azad juga mengemukakan statement deskripsi Al-Qur´an tentang pohon Tin (fig tree), tersebut dalam QS. Al-Tīn (95): 1-5, merujuk pada sosok Budha pula, karena dia telah mencapai pencerahan pada kaki pohon tersebut.[108]
Demikian pula yang terjadi dengan kasus Nabi Idrīs sebagai Hermes. Patut dipahami dahulu bahwa Nabi Idrīs dikenal sebagai manusia pertama yang mengetahui tulisan, teknologi tenun, kedokteran, astrologi, dan lain sebagainya. Ringkasnya, merujuk cerita yang beredar di kalangan pesantren, pekerjaan Nabi Idrīs adalah sebagai tukang tenun atau, menurut versi riwayat lain, sebagai tukang bangunan. Apabila dirujuksilangkan posisi Nabi Idrīs yang berprofesi sebagai tukang tenun dengan mitologi Yunani tentang Hermes, maka akan diketemukan korelasi positif sekaligus penisbatan antara keduanya.
Menurut Hidayat,[109] bahasa Latin dari kata kerja (verba) menenun atau memintal adalah tegere, sementara produk yang dihasilkannya disebut textus atau text memang merupakan isu sentral dalam kajian hermeneutika. Dengan begitu, hermeneutika dapat didudukan, dengan mengartikulasikannya pada tugas Hermes, sebagai sebuah ilmu dan seni membangun makna melalui interpretasi rasional dan imajinatif dengan bahan bakunya berupa teks. Peran krusial yang harus diselesaikan oleh Hermes/Nabi Idrīs adalah bagaimana menafsirkan pesan dewa (baca: Tuhan) yang berbicara dengan bahasa “langit” agar supaya dapat dipahami oleh manusia yang berbahasa “bumi.” Dari posisi inilah lantas muncul pemaknaan metaforis profesi tukang tenun/memintal, yaitu memintal atau merangkai sabda Tuhan agar dapat ditangkap dan mudah dipahami oleh manusia.[110]
Menurut Zygmunt Bauman, hermeneutika (berasal dari bahasa Yunani, hermeneutikos), berkaitan dengan upaya menjelaskan atau menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang masih tidak jelas, kabur, remang-remang dan penuh kontradiksi sehingga menimbulkan keraguan dan kebingungan bagi para pendengar atau pembacanya. Terkadang keraguan ini muncul ketika pembaca dihadapkan pada berbagai dokumen yang saling berbeda penjelasannya mengenai hal yang sama sehingga pembaca harus bekerja melakukan kajian ulang untuk menemukan sumber-sumber otentik serta pesan yang jelas.[111]
Sementara Lorens Bagus, dalam Kamus-nya, menyatakan bahwa hermenutika (Inggris; hermeneutic dan Yunani: hermeneutikos) berarti ilmu dan teori tentang penafsiran yang bertujuan menjelaskan teks mulai dari ciri-cirinya, baik objektif (arti gramatikal kata-kata dan variasi historisnya) maupun subjektif (maksud pengarang).[112] Dengan demikian, sebagai sebuah teori dan metode interpretasi, hermenutika, menurut Richard E. Palmer, merupakan studi atas pemahaman (understanding of understanding), khususnya, yang berkaitan dengan pemahaman teks. Menurutnya, ada tiga disiplin ilmu humaniora yang menjadi studi sentral hermeneutika, yaitu teologi, filsafat dan interpretasi sastra. Hal tersebut terungkap dari konsep hermenuin yang merujuk kepada tiga pengertian, yaitu (1) to express atau pengungkapan atau pembicaraan yang berkaitan dengan pembacaan kata, (2) to explanation atau penafsiran atau penjelasan yang berkaitan dengan situasi dan (3) to translation atau penterjemahan yang berkaitan dengan penerjemahan bahasa asing.[113] Gampangnya, secara umum, hermeneutika adalah suatu teori atau filsafat tentang interpretasi makna serta secara keseluruhan, pula dapat diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi tahu dan mengerti.[114]
Kesimpulannya, secara terminologis, hermeneutika bisa didefinisikan dalam tiga hal berikut. Pertama, proses pengungkapan pikiran seseorang dalam bentuk kata-kata, menerjemahkannya serta bertindak sebagai penafsir. Kedua, usaha mengalihkan suatu bahasa asing yang maknanya gelap dan tidak diketahui ke dalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh si pembaca dan ketiga, pemindahan ungkapan pikiran yang kurag jelas menjadi sebentuk ungkapan yang lebih terang.[115]
Pada mulanya, kehadiran hermenutika tidak terlepas dari pertumbuhan dan kemajuan tentang bahasa dalam wacana filsafat serta keilmuan lainnya. Tradisi filsafat kuno sebetulnya merupakan cara yang baik untuk mengelaborasi sumber-sumber klasik tentang hermeneutika dengan menempuh tiga cara. Pertama, dalam tradisi alegoris diciptakan sarana rasional untuk menjelaskan tradisi dan mitologi Homerik. Kedua, dengan menitikberatkan pada peran interpretasi dan ramalan dalam khazanah dalam agama Yunani kuno. Ketiga, adalah jalan yang mencari segala sesuatu yang mirip atau dapat dianggap sebagai “hermenutika” dalam teks-teks klasik Yunani kuno, seperti De Interpretatione karya Aristoteles, sekalipun hal ini hampir tidak berkaitan dengan apa yang saat ini kita pahami sebagai “interpretasi” karena hanya merupakan elemen-elemen pokok yang membentuk suatu kalimat. Ketiga perspektif tentang hermeneutika Yunani ini, yang bisa disebut dengan perspektif alegoris, religius dan logis, telah menjadi pokok bahasan berbagai macam studi keilmuan.[116]
Di sini dapat ditandaskan bahwa hermeneutika dalam tradisi Barat, pada awalnya, merupakan bagian dari ilmu filologi,[117] yaitu ilmu yang membahas tentang asal-usul bahasa dan teks. Oleh karena itu, historiografi[118] merupakan klien hermeneutika yang paling setia. Mulai abad ke XVI, hermeneutika mengalami perkembangan dan memperoleh perhatian yang lebih akademis dan serius ketika ilmuwan gereja di Eropa terlibat diskusi dan debat mengenai autentisitas Bibel. Mereka ingin memperoleh kejelasan serta pemahaman yang benar mengenai kandungan Bibel yang, dalam berbagi hal, dianggap bertentangan. Dengan demikian posisi hermeneutika mulai mencakup juga metode kritik historiografi.[119] Kemudian, hermeneutika banyak dipakai oleh mereka yang berhubungan erat dengan Ktab Suci Injil dalam menafsirkan kehendak Tuhan pada manusia.
Dalam tradisi Yahudi-Kristiani purba, misalnya, ditemukan suatu tradisi hermenutika yang kuat. Sejumlah peristiwa di periode purbakala ditafsirkan sebagai lambang dari berbagai kejadian yang akan dan sudah terjadi. Umpamanya saja, tafsir atas Kidung Agung atau siklus Keluaran bangsa Israel dari Mesir yang ditafsirkan kembali dalam siklus pasca Kristiani. Lebih lanjut, eksegesis alegoris gaya Klemens dan, terutama, Origenes dari Aleksandria Barat sekitar tahun 200 M sampai tahun 400 M, Ambrosius dan Agustinus tidak kalah berani mengembangkan bentuk literer ini berhadapan dengan teks-teks Kitab Suci Yahudi-Kristiani.[120]
Terkait konsep Bibel, The New Encyclopedia Britannica menulis bahwa hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi Bible (the study of the general principle of biblical interpretations). Tujuannya adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bibel. Dalam sejarah interpretasi Bibel, terdapat beberapa model utama interpretasi Bibel. Pertama, literal interpretation atau interpretasi literal, yaitu interpretasi yang sesuai dengan makna yang jelas (plain meaning), sesuai konstruksi tata bahasa dan konteks sejarahnya. Dengan demikian, metode ini meyakini bahwa kata-kata yang terdapat dalam Bibel merupakan verbum dei Tuhan. Metode ini dianut oleh banyak tokoh dalam sejarah Kristen, seperti Jerome (pakar Bibel pada abad IV M), Thomas Aquinas, Nicholas of Lyra, John Colet, Martin Luther, dan John Calvin.
Kedua, moral interpretation atau interpretasi moral, yaitu interpretasi yang mencoba membangun prinsip-prinsip penafsiran yang memungkinkan nilai-nilai etik diambil dari beberapa bagian dari dalam Bibel. Biasanya digunakan teknik alegoris dalam model ini. Ketiga, allegorical interpretation atau interpretasi alegoris, yaitu teks-teks Bibel mempunyai makna dalam pada level kedua, di atas seseorang, sesuatu ataupun yang jelas-jelas disebutkan secara gamblang dalam teks. Format utama model ini adalah tipologi. Tokoh-tokoh kunci dan peristiwa-peristiwa penting dalam Perjanjian Lama (Old Tastement) dilihat sebagai satu tipe bayangan ke depan untuk tokoh dan peristiwa-peristiwa yang ada dalam Perjanjian Baru (New Tastement). Keempat, anagogical interpretation.[121]
Intinya, ketika mengkaji Bibel secara kritis, para teolog Yahudi-Kristen mengakui bahwa Bibel yang selama ini dianggap sebagai textus receptus ternyata memiliki sejumlah kesalahan mendasar. Kajian kritis Bibel tersebut melahirkan banyak metode kritis yang disebut dengan biblical criticism (kritik Bibel). Salah satu bentuk dari biblical critisicm adalah metode kritis-historis (historical-critical method). Ketika diterapkan dalam pada studi Bibel, kritik-historis melibatkan penentuan teks yang paling lama, watak kesustraannya, kondisi-kondisi yang memunculkannya, dan makna asalnya. Dalam metode yang luas ini terdapat beberapa jenis kritik lain yang saling terkait. Menyebut diantaranya adalah kritik teks (textual critisicm), kajian filologis (philological study), kritik sastra (literary critisicm), kritik bentuk (form critisicm), dan kritik redaksi (redaction critisicm).[122]
Dalam mengkaji perkembangan konsep hermeneutika, dapat dilihat dari perspektif pemikiran tokoh (hermeneut) dan perspektif pengembangan metodologisnya. Menurut Palmer dan Sumaryono, beberapa tokoh yang mempunyai peran besar dalam perkembangan hermeneutika. Pertama, Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768-1834), tokoh hermeneutika romantisis, ia-lah yang memperluas pemahaman hermeneutika dari sekedar kajian teologi (teks Bibel) menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat. Menurut perspektif tokoh ini, dalam upaya memahami wacana ada sekian unsure yang harus diperhatikan, yaitu penafsir, teks, maksud pengarang, konteks historis, dan konteks kultural.
Kedua, Wilhelm Dilthey (1833-1911), tokoh hermeneutika metodis, berpendapat bahwa proses pemahaman bermula dari pengalaman, kemudian mengekspresikannya. Pengalaman hidup manusia merupakan sebuah neksus struktural yang mempertahankan masa lalu sebagai sebuah kehadiran masa kini. Ketiga, Edmund Husserl (1889-1938), tokoh hermeneutika fenomenologis, menyebutkan bahwa proses pemahaman yang benar harus mampu membebaskan diri dari prasangka dengan membiarkan teks berbicara sendiri. Oleh sebab itu, menafsirkan sebuah teks berarti secara metodologis mengisolasikan teks dari semua hal yang tidak ada hubungannya, termasuk bias-bias subjek penafsir dan membiarkannya mengomunikasikan maknanya sendiri pada subjek.
Keempat, Martin Heidegger (1889 -1976), tokoh hermeneutika dialektis, menjelaskan tentang pemahaman sebagai sesuatu yang muncul dan sudah ada mendahului kognisi. Oleh sebab itu, pembacaan atau penafsiran selalu merupakan pembacaan ulang atau penafsiran ulang. Dalam bidang hermeneutika, Martin Heidegger merumuskan sebuah hermeneutika fenomenologis. Sekilas hal ini seperti tampak sebuah konsep yang kontradiktif. Fenomenologi membiarkan objek berbicara sendiri, sedang hermeneutik adalah seni melihat objek sebagai teks yang menyimpan makna. Menafsirkan berarti tidak membiarkan objek-objek berbicara sendiri melainkan menguak apa yang tersembunyi di baliknya.
Kelima, Hans-Georg Gadamer (1900-2002), tokoh hermeneutika dialogis, baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis. Artinya, kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode, tetapi melalui dialektika dengan mengajukan banyak pertanyaan. Dengan demikian, bahasa menjadi medium sangat penting bagi terjadinya dialog. Keenam, Jurgen Habermas (1929), tokoh hermeneutika kritis, menyebutkan bahwa pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan horizon pemahaman adalah kepentingan sosial yang melibatkan kepentingan kekuasaan interpreter. Setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias dan unsur kepentingan politik, ekonomi, sosial, suku dan gender.
Ketujuh Paul Ricoeur (1913) yang membedakan interpretasi teks tertulis dan percakapan. Makna tidak hanya diambil menurut pandangan hidup pengarang, tetapi juga menurut pengertian pandangan hidup dari pembacanya. Kedelapan, Jacques Derrida (1930), tokoh hermeneutika dekonstruksionis, mengingatkan bahwa setiap upaya menemukan makna selalu menyelipkan tuntutan bagi upaya membangun relasi sederhana antara petanda dan penanda. Makna teks selalu mengalami perubahan tergantung konteks dan pembacanya. Berikut akan dipaparkan secara singkat modus operandi hermeneutika para tokoh tersebut.
Hermeneutika, sekalipun dalam klarifikasi terminologisnya dipahami secara beragam, namun pada dasarnya istilah ini dapat didudukan dalam tiga pengertian pokok. Pertama, mengungkapkan, menafsirkan, dan menjelaskan. Kedua, mengungkapkan dan ketiga, proses mentransmisikan pemahaman dan membuat paham, baik melalui wacana,[123] menafsirkan sesuatu yang telah dibicarakan, atau menafsirkan dengan cara terjemahan.[124]
Dalam kajian hermeneutika, problem kesenjangan bahasa, kultur, penafsiran, dan misteri sebuah teks merupakan inti persoalan. Dengan begitu, sejak awal, hermeneutika berurusan dengan tugas menerangkan kata-kata dan teks yang dirasakan asing oleh masyarakat, baik karena datang dari Tuhan yang berbicara dengan bahasa “langit” ataupun dari generasi terdahulu yang hidup dalam tradisi dan bahasa “asing.” Persoalan penafsiran dan pemahanan ini semakin fenomenal dengan hadirnya masyarakat global yang ditandai dengan pluralitas agama, kebudayaan, dan bahasa. Sebagai juru bicara Tuhan, Hermes/Nabi Idrīs harus berusaha merangkai kata dan makna yang berasal dari Tuhan agar dapat mudah dipakai oleh manusia.
Pada prinsipnya, hermeneutika berkaitan dengan bahasa. Ketika sebuah teks dibaca seseorang, disadari atau tidak akan memunculkan interpretasi terhadap teks tersebut. Dengan kata lain, setiap kegiatan manusia yang berkaitan dengan berpikir, berbicara, menulis dan menginterpretasikan selalu berkaitan dengan bahasa. Realitas yang masuk dalam semesta perbincangan manusia selalu sudah berupa realitas yang terbahasakan sebab manusia memahami segala sesuatu dalam bahasa.[125]
Berbahasa, selalu mengandaikan adanya dua dimensi, yaitu dimensi internal dan eksternal. Dimensi internal adalah situasi psikologis dan kehendak berpikir (intensi). Sedangkan dimensi ekternal adalah tindakan menafsirkan dan mengekspresikan kehendak batin dalam wujud lahir, yaitu kata-kata yang ditujukan kepada orang lain.[126] Karena berbahasa selalu melibatkan penafsiran kehendak batin, maka tidaklah semua yang kita ucapkan senantiasa berhasil merepresentasikan seluruh isi hati dan pikiran dari benak kita. Oleh karenanya, kebenaran sebuah bahasa bukan semata terletak pada susunan gramatikanya saja, tetapi juga pada tata pikir, intensi dan implikasi dari sebuah ucapan. Begitu besar peranan bahasa dalam kehidupan manusia, sehingga Ernst Cassirer menyatakan bahwa manusia adalah animal symbollicum.[127]
Kiranya pernyataan al-Jāhizh (w. 255 H/868 M) tentang hakikat bahasa sebagai perangkat komunikasi secara filosofis patut untuk diapresiasi. Al-Jāhizh menyatakan bahwa makna (ma’ānī) adalah sesuatu yang berada dalam benak seseorang, terkonstruk sedemikian rupa dan tersimpan di wilayah jiwa manusia yang paling dalam, tersembunyi dan sangat jauh hingga tidak bisa diketahui oleh orang lain dari si pemilik makna kecuali dengan menggunakan perantara. Peratara ini bisa bisa jadi berupa simbol bunyi yang tertulis dan disepakati dalam komunitas tertentu dan atau berupa perangkat lainnya. Dalam istilah linguistik modern, elemen-elemen bahasa sebagai perangkat komunikasi, baik yang tertulis ataupun yang tidak dinamakan dengan kode.[128]
Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika tidak hanya memandang teks, tetapi juga berusaha menyelami kandungan makna literalnya. Hermeneutika berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horison-horison (cakrawala) yang melingkupi teks tersebut. Horison yang dimaksud adalah horison teks, pengarang, dan pembaca. Dengan memperhatikan ketiga horizon tersebut diharapkan suatu upaya pemahaman atau penafsiran menjadi kegiatan rekonstruksi dan reproduksi makna teks, yang selain melacak bagaimana suatu teks dimunculkan oleh pengarangnya dan muatan apa yang masuk serta ingin dimasukkan oleh pengarang ke dalam teks, juga berusaha melahirkan kembali makna sesuai dengan situasi dan kondisi saat teks dibaca atau dipahami. Dengan kata lain, hermeneutika memperhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam upaya penafsiran yaitu teks, konteks, kemudian melakukan upaya kontekstualisasi.
Satu hal yang tidak dapat dihindari oleh siapapun adalah adanya kenyataan bahwa perintah-perintah Tuhan (Divine instructions) selalu bertumpu pada teks, sedangkan pada saat yang bersamaan teks itu sendiri selalu bertumpu sepenuhnya pada bahasa.[129] Bahasa inilah yang menjadi sumber silang pendapat sepanjang masa, karena ia tidak lain dan tidak bukan adalah hasil kesepakatan komunitas dan ciptaan budaya manusia.[130] Bahasa sendiri, tampaknya, memiliki realitas objektif sendiri karena maknanya tidak dapat ditentukan secara efektif dan sepihak, baik oleh author (pengarang) maupun oleh pembaca (reader). Pemahaman teks seharusnya merupakan produk interaksi yang hidup antara pengarang (author), teks (text) dan pembaca (reader).
Dengan demikian, terdapat proses penyeimbangan antara berbagai muatan kepentingan yang dibawa oleh masing-masing pihak dan terjadi proses negosiasi (negotiating process) yang bersifat terus-menerus, tidak kenal lelah antara ketiga pihak.[131] Dalam studi kritik literer (literary criticism) diperoleh penjelasan bahwa pengarang teks harus selalu mempertimbangkan apakah ia akan tetap berada dalam kebiasaan tertentu ataukah harus melampaui kebiasaan-kebiasaan tersebut sehingga harus berani menghadapi berbagai konsekuensi yang ditimbulkan. Sesungguhnya, begitu sebuah teks dilahirkan, ia memiliki dunia kehidupan, hak-hak dan integritasnya sendiri.[132]
Berangkat dari asumsi dasar teori hermeneutic bahwa seorang pembaca teks (reader) tidak memiliki akses langsung kepada penulis atau pengarang teks karena perbedaan ruang, waktu, dan tradisi, maka pengarang mengekpresikan diri dalam bahasa teks, dengan demikian ada makna subjektif. Selanjutnya, menjadi masalah adalah bagaimana membawa keluar makna subjektif sebagai objektif kepada orang lain? Boleh jadi dan dapat dikatakan bahwa hermeneutik dapat mengungkapkan horizon masa lalu kepada dunia masa kini dan dalam perkembangan selanjutnya muncul hermeneutik sebagai kritik.[133]
Untuk membangun keterbukan, mendudukan hubungan atau relasi antara teks (text), pengarang (author), dan pembaca (reader), maka ketiga-tiganya harus dikaitkan secara proporsional. Anatomi ketiganya dapat digambarkan pada skematisasi di bawah ini sekaligus proses relasi yang proporsional.
Mendefinisikan teori sistematis-kontekstual-historis dan gerakan ganda (double movement) Rahman sebagai sejenis tafsir merupakan suatu analisis yang tidak cermat, tepat, dan gegabah. Rahman sendiri baru memunculkan metode dan pendekatan hermeneutika, mengadopsi pendapat Sibawaihi,[134] setelah ia menawarkan teori gerakan ganda (double movement)-nya dalam buku Islam & Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Metodologi penafsiran Al-Qur´an yang digagas oleh Fazlur Rahman boleh dibilang berkenaan dengan interpretasi teks, dan bukan dirumuskan dalam ilmu tafsir, setidak-tidaknya dalam pengertian konvensional, sebagaimana lazimnya dipahami.[135] Metodologi penafsiran Al-Qur´an Rahman diistilahkan dengan terminologi hermeneutika, sebuah perangkat pemahaman yang berasal dari kahazanah keilmuan Barat.
Berangkat dari “kekecewaan” dan pembacaan terhadap karya-karya sarjana Muslim terdahulu, baik yang mendasarkan pada filsafat Yunani, tradisi Persia, dan kesalehan sufi, tetapi menurutnya, tidak ada satu pun karya yang jujur tentang etika didasarkan pada Al-Qur´an.[136] Apa yang digagasnya sebagai teori sistematis-kontekstual-historis dan gerakan ganda (double movement), sejatinya merupakan konstruksi tentang etika Al-Qur´an dengan memformulasikannya dalam bentuk penafsiran dan bantuan metode hermeneutika.
Sekalipun Rahman tidak pernah mengklaim jenis hermeneutika apa yang dianutnya, namun menurut Moosa, pendekatan yang dianutnya tidak jauh berbeda dengan pendekatan Ibn Taymiyyah, Muhammad ibn ‘Alī al-Syawkānī, dan Syah Waliyullah dengan penekanan terhadap sentralitas Al-Qur´an. Hermeneutika Rahman sendiri berpusat dalam dua pilar, yaitu teori kenabian serta hakikat wahyu dan pemahaman tentang sejarah. Kedua komponen ini, sesungguhnya, yang membentuk hermeneutika Al-Qur´annya secara global.[137]
Bangunan hermeneutika Rahman juga ditujukkan sebagai respon terhadap pendekatan tafsir tradisonal abad pertengahan dan, bahkan, modern yang bersifat atomistik dan parsialistik. Dalam pemikirannya, pendekatan semacam ini mengabaikan koherensi dan kohesi pesan wahyu dalam membentuk pandangan dunia (weltanschauung/world view) Al-Qur´an sendiri. Idealisme konstruksi hermeneutiknya tertuju pada pemahaman fakta-fakta historis serta nilai-nilai yang dikandungnya.[138]
Memahami konstruksi hermeneutika Rahman dalam penafsiran sitematis-kronologis-historis dan double movement Al-Qur´an harus didudukan dalam konstelasi dan pertarungan dua aliran hermenutika, yaitu aliran intensionalisme dan aliran hermeneutika Gadamerian. Aliran intensionalisme memandang makna sudah ada karena dibawa pengarang/penyusun teks sehingga tinggal menunggu interpretasi penafsir (hermeneut). Sementara Hans Goerge Gadamer menyatakan bahwa bahasa merupakan modus operandi dari cara berada manusia di dunia dan juga merupakan wujud yang seolah-olah merangkul seluruh konstitusi tentang dunia ini. Ditambahkan Heidegger bahwa bahasa adalah dimensi kehidupan yang bergerak, yang memungkinkan terciptanya dunia sejak awal, bahasa mempunyai eksistensi sendiri yang di dalamnya manusia turut berpartisipasi.[139]
Alih-alih mendukung aliran filsafat hermeneutik (philosophical hermeneitic) atau subjektivisme, di dalamnya terdapat Gadamer, Haidegger, Bultmann, dan Ebeling, Rahman menunjukkan pemihakan kepada aliran teori hermenutik (hermeneutical theory) atau objektivismenya Emilio Betti, yang merupakan kelanjutan dari hermenutika Schleiermacher dan Dilthey. Berikut akan dipaparkan sekilas tentang pola hermenutika Schleiermacher dan Dilthey. Kemudian akan dicoba untuk melihat konsep hermenutika Betti dan pengaruhnya terhadap konstruk hermenutika Rahman dalam teori double movement.
Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher merupakan tokoh romantisme[140] dalam kajian hermeneutika sekaligus mendudukannya sebagai Bapak hermeneutika modern.[141] Schleiermacher mengembangkan pemikirannya di bidang hermeneutika dan menjadi filosof Jerman pertama yang merefleksikan suatu hermeneutika filsafat secara serius. Sekalipun begitu, proyeksi hermeneutikanya merupakan kelanjutan dari pembidanan Friedrich Ast yang memilah tugas hermeneutika menjadi tiga. Pertama, pemahaman materi yang diperbincangkan di dalam karya. Kedua, pemahaman bahasa, dan ketiga, pemahaman roh karya.[142]
Dalam kategori ketiga sajalah kerangka hermeneutika filosofis-romantis Schleiermacher diarahkan. Pemahaman roh karya menuntut pemahaman roh zaman dan pandangan semesta dari pengarang (author) yang akan saling berinteraksi serta saling melengkapi.[143] Tujuan hermeneutika Schleiermacher adalah berupaya menyelamatkan Kristianitas dengan menginterpretasikannya sebagai agama perasaan dan intuisi (the sense of infinite in the finite).[144] Melalui pemikirannya tentang eksegesis, Schleiermacher ingin mendobrak dua otoritas sekaligus, yaitu supremasi akal dan dogmatisme eksegesis.
Problem pertama muncul ketika sistem-sistem filsafat modern dari Rene Descartes[145] dan Immanuel Kant[146] selalu berpusat pada ‘aku’ yang transenden dan lalu menguniversalkannya, sehingga dipersepsikan bahwa muatan benak semua orang adalah seragam. Hermeneutika romantik Schleiermacher bertolak pijak dari problem tentang pikiran lain (other mind). selama ini problem interpretasi sebuah teks hanya berlangsung pada penentuan aturan-aturan pemahaman normatif untuk mendapatkan makna suatu teks serta melupakan bahwa teks ditulis oleh pengarang yang mempunyai benak yang kaya akan muatan emosi, perasaan, dan batin. Apa yang hermeneutika romantik kehendaki adalah realitas akan yang lain (the other) dari teks yang selama ini direduksi pada aturan-aturan sintaksis-literal semata.
Pemberontakan terhadap dogmatisasi penafsiran mengembangkan pemikiran Schleiermacher tentang pemahaman sebagai seni yang menekankan kebebasan individu penafsir dari gejala dogmatisme tafsir untuk secara intuitif menangkap maksud batiniah teks asli. Sekalipun begitu, praktek penafsiran yang dimaksud Schleiermacher bukan praktek penafsiran yang melulu intuitif, yang tidak mentaati aturan atau seni (bersifat arbitrer), melainkan suatu praktek penafsiran yang mengikuti suatu aturan yang ketat dari teknik penafsiran. Apabila hanya mengandalkan kesewenangan intuitif semata, maka penafsiran akan menjadi suatu yang lain karena keterbatasan, kontingensi, hipotesis, dan perpektifis suatu upaya pemahaman.
Pembedaan romantisisme dari paham lainnya adalah penekanan atas peranan perilaku proyektif dari benak manusia. Tindak mengetahui secara spontan dan seutuhnya adalah tindak proyeksi imajinatif ke dalam objek eksternal atau sebuah tindak identifikasi dengan objek sehingga kesadaran hidup yang dipersepsi dalam objek adalah milik kita sendiri. Hal ini merupakan einfuhlung atau cara romantik mengetahui, di mana untuk mengetahui suatu objek, seorang romantis harus menjadi objek tersebut. Pemahaman hermeneutika romantik berarti apropriasi suatu kesadaran asing kemudian menggiringnya menjadi kesadaran kita sendiri (one’s own consciousness).[147]
Reduksi pemahaman pada aturan-aturan sintaksis-literal semata akan membawa kita pada kesalahpahaman dari maksud pengarang. Hermeneutika romantik Schleiermacher, pada intinya, meyakini bahwa tidak ada pemahaman yang berjarak (understanding at a distance). Pemahaman artinya memiliki keterlibatan internal dengan apa yang dipahami. Demikian, tugas hermeneutika, menurut Schleiermacher, bisa diformulasikan sebagai pemahaman atas teks dengan memahami sebaik mungkin dan atau lebih baik dari pengarangnya. Hal ini berarti menempatkan teks pada waktu logis dari makna berdasarkan analisa formal dan penelitian historis dan, pada aras bersamaan, hal itu juga berarti menelusuri proses penyusunan sehingga penafsir dapat menempatkan dirinya di dalam pengarang.[148]
Konstruksi hermeneutika romantis Schleiermacher tidak terlepas dari konsepsinya tentang bahasa dan praktek penafsiran. Ketika bahasa menjadi aturan-aturan sintaksis pengungkapan makna yang dianut oleh suatu komunitas bahasa tertentu, maka posisi bahasa di sini dipahaminya sebagai dimensi supra individual. Setiap ungkapan berupa bahasa haruslah tunduk pada aturan-aturan sintaksis yang ada. Bahasa sebagai dimensi individual merupakan media pengungkapan suatu interioritas batin yang unik-individual, di mana manusia tidak selalu berpikir tentang hal yang sama saat berhadapan dengan kata yang sama.
Adapun mereka yang memandang bahasa sebagai dimensi supra individual menganut penafsiran yang longgar, di mana pemahaman dapat terjadi dengan sendirinya dan bersikap negatif terhadap tujuan pemahaman. Praktek penafsiran ini, menurut Schleiermacher, terjadi dalam hermeneutika tradisional yang menggunakan prinsip-prinsip umum untuk menjelaskan ayat-ayat yang tidak jelas. Padahal kekeliruan dalam pemahaman haruslah dihindari. Schleiermacher memandang bahasa sebagai dimensi individual, di mana upaya pemahaman memerlukan suatu hermeneutika filosofis yang memandang teks tidak semata-mata sebagai suatu yang bersifat objektif-berjarak.[149]
Proses interpretasi, menurut Schleiermacher, dapat dibagi menjadi dua pendekatan. Pertama, pendekatan gramatikal, yaitu upaya rekonstruksi konteks linguistik-historis suatu teks atau aturan-aturan sintaksis suatu komunitas bahasa di mana teks itu ditulis. Pendekatan ini merupakan pendahuluan (preliminary) menuju suatu pemahaman yang meminta kita untuk bekerja kembali melalui teks kepada orang yang memproduksi teks tersebut pada awalnya. Kedua, pendekatan psikologis, dimana pendekatan ini di kemudian hari lebih ditekankan oleh Schleiermacher. Schleiermacher sendiri membedakan pendekatan psikologis menjadi interpretasi berseni atau teknis yang disebutnya metode divinatoris dan metode komparatif. Metode divinatoris berupaya untuk memperoleh pemahaman langsung tentang pengarang sebagai individual dengan membawa penafsir untuk mentransformasi dirinya ke dalam diri pengarang. Di sisi lain, metode komparatif bekerja dengan menempatkan pengarang dalam suatu tipe umum. Metode ini lebih bersifat klasifikatoris untuk keperluan komparasi antara satu teks dengan teks yang lain atau satu pengarang dengan pengarang yang lain.[150]
Doktrin bahwa realitas semesta bersifat spiritual dan alam, pada dasarnya, merupakan cermin dari jiwa manusia. Hanya saja, pengetahuan tentang semesta spiritual tidak dapat diperoleh lewat cara-cara analitik rasional, tetapi hanya dengan keterlibatan dan ketertenggelaman intuitif-emosional dalam suatu proses yang simultan. Sumbangan hermeneutika romantis Schleiermacher terhadap hermeneutika bukan terletak sebagai objek intelektual dengan memetakan aturan-aturan sintaksis semata, melainkan upaya pemahaman teks sebagai usaha memperoleh kembali yang subjektif-individual dari balik teks dengan menerapkan kebebasan imajinasi-intuisi.[151]
Sejatinya, hermeneutika romantisme Schleiermacher sejalan dengan Kant dalam penekanan pada kehendak bebas, di mana ia pun mengesampingkan unsur pengetahuan dalam iman. Namun, jika kant meletakkan yang transenden di ranah noumena yang terasing,[152] maka Schleiermacher ingin memberi tempat pada perasaan dan emosi beragama yang ia mengerti sebagai rasa ketergantungan dari Allah yang dialami manusia. Jika model hermeneutika romantisme Schleiermacher diaplikasikan, maka akan memunculkan  rumusan iman dan agama menjadi pengalaman religius, teologi menjadi antopologi, dan wahyu menjadi kesadaran religius bangsa manusia.[153]
Semenjak Aguste Comte memperkenalkan positivisme pada pertengahan abad ke-19, determinisme metode ilmu kealaman begitu kuat merasuk ke dalam metode ilmu-ilmu kemanusiaan, ilmu sosial, dan ilmu budaya. Keyakinan bahwa hanya metode ilmu kealaman yang bisa masuk kategori ilmiah, karena mengklaim objektivitas, membuat homogenisasi metode menjadi begitu kental. Proses homogenisasi dan determinasi metodologis ini tidak lepas dari kesibukan para filosof untuk selalu berbicara tentang bagaimana seseorang menyadari keberadaan objek-objek fisik dan sejauh mana unsur-unsur subjektif memasuki dan mempengaruhi pengalaman kita tentang objek fisik tersebut. [154]
Kriteria secara fisikal/objek-objek fisik, seolah-oleh merupakan objek pengetahuan yang paling penting. Sebagai akibat dari proses ini, maka ilmu-ilmu non kealaman banyak menerapkan metode yang menekankan kuantifikasi, seperti observasi, eksprimen, dan statistik. Tidak dipungkiri bahwa penerapan metode ilmu kealaman yang lebih eksakta dan menekankan kuantifikasi telah memberi kontribusi sejumlah bagian elementer bagi pengembangan ilmu-ilmu non kealaman, seperti sosiologi, psikologi, dan juga ekonomi.[155] Dalam perkembangan selanjutnya kalangan komunitas ilmu sosial, kemanusiaan atau budaya, setelah melalui beberapa kegiatan reflektif dan diskursus, merasakan adanya sesuatu yang kurang dan tidak bisa dijelaskan ketika metode ilmu kealaman diterapkan. Ada dimensi tertentu dari peristiwa sosial, sejarah, atau budaya yang tidak bisa disentuh oleh metode eksakta-kuantitatif.
Munculnya kesadaran pada kalangan komunitas ilmuwan sosial, kemanusiaan dan budaya bukanlah sejenis kesadaran yang tiba-tiba saja menyeruak ke permukaan. Proses penyelesaian terhadap problematika ini sudah muncul pada akhir abad XIX atau awal abad XX, ketika Wilhelm Dilthey (1833-1911) mencoba membedakan dua bidang ilmu pengetahuan, yaitu Geisteswissenschaften (ilmu kemanusiaan) dan Naturwissenschaften (ilmu kealaman). Bagi Dilthey, dua bidang ini menuntut pendekatan dan metode yang berbeda, karena keduanya memiliki objek pembahasan yang berbeda pula. Ilmu kealaman berurusan dengan benda-benda fisik, sementara ilmu kemanusiaan berurusan dengan hidup manusia.
Dilthey merasakan ancaman serius dari saintisme. Ia menyadari bahwa ada bidang-bidang tertentu yang tidak bisa disentuh oleh model metodis erklaren (penjelasan) sebagai metode ilmu kealaman. [156] Bidang ini hanya bisa eksploitasi melalui verstehen (pemahaman) dan hermeneutika. Tegasnya, ilmu kealaman memerlukan metode erklaren, penjelasan atau eksplanasi, sementara ilmu kemanusiaan memerlukan metode verstehen, pemahaman dan hermeneutika.[157] Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak filosof dan ilmuan dikemudian hari mengambil inspirasi dari pemikiran Dilthey tentang metode yang ia tawarkan. Pemikir seperti Habermas, Weber, Marx, juga Gadamer atau Paul Ricoeur banyak mengambil inspirasi dari pemikiran Dilthey tersebut.
Dilthey membicarakan ilmu kemanusiaan dalam scope yang luas, yang mencakup ilmu sejarah, ekonomi, ilmu hukum, politik, termasuk pula ilmu kesusasteraan, psikologi, dan lain-lain.[158] Dilthey membedakan secara tajam antara Naturwissenschaften[159]dan Geisteswissenschaften.[160] Semua ilmu yang termasuk dalam kategori ilmu alam, seperti biologi, kimia, fisika dan lainnya mempergunakan metode induksi dan eksperimen. Metode ini lebih bersifat erkleren daripada verstehen. Sedangkan ilmu-ilmu kemanusiaan menuntut pendekatan yang mampu menembus sekat dan batasan-batasan pengalaman hidup dalam setiap objeknya. Bagi Dilthey, kebermaknaan hidup mencakup realitas yang sangat kompleks dan lebih dari sekedar realitas biologis; merujuk kepada semua keadaan jiwa, proses serta kegiatannya, baik disadari atau tidak serta terdiri dari beragam kehidupan individual-komunal-kolektif dan bersamanya membentuk kehidupan semua umat manusia secara sosial dan historis. Semua produk kehidupan yang bermakna, seperti emosi, pikiran, tindakan sampai dengan pranata dan lembaga sosial, agama, kesenian, ilmu pengetahuan, dan filsafat adalah termasuk kehidupan.[161]
Berangkat dari keyakinan seperti itu, Dilthey menolak setiap bentuk interpretasi transendental yang menyempitkan realitas, seperti halnya positivisme. Pemikiran, penilaian, norma, dan semua aturan berasal dari kehidupan manusia yang bersifat empiris. Baginya, tidak ada standar deduktif yang berasal dari luar kehidupan. Dilthey menolak pemikiran Kant tentang thing in itself (das ding an sich)[162] atau dunia ideanya Plato.[163] Dengan demikian pemikiran, penilaian, dan juga norma tak lepas dari unsur relativitas. Dilthey juga menolak positivisme yang terlalu mendistorsi realitas sebatas pencerapan-pencerapan dan kesan-kesan inderawi. Bagi Dilthey realitas lebih dari itu, kompleks dan sangat kaya.
Bila Immanuel Kant memperkenalkan kategori-kategori a priori,[164] maka Dilthey memperkenalkan kategori hidup. Kategori a priori-nya Kant lebih berorientasi dalam menjelaskan kenyataan-kenyataan fisik, sementara kategori hidupnya Dilthey berpretensi untuk memahami hidup dalam pengalaman yang terstruktur. Kategori-kategori penting yang ditawarkan oleh Dilthey diantaranya kategori luar-dalam, kategori maksud, nilai, makna, dan kategori keseluruhan-bagian. Namun kategori ini bukanlah kategori statis dan tetap. Ia semakin bertambah seiring jalannya proses kehidupan itu sendiri. Kategori luar-dalam, misalnya, dipergunakan untuk melihat aspek lahir dan aspek batin suatu fenomena tindakan manusia. Kategori nilai memungkinkan kita untuk mengalami waktu sekarang, kategori maksud memungkinkan kita untuk mengarahkan masa depan dan kategori makna membuat kita bisa menghayati pengalaman masa lampau. Di samping itu, kategori keseluruhan bagian memungkinkan kita untuk menafsirkan kilasan-kilasan peristiwa yang terjadi dalam suatu rangkaian.[165]
Setelah menunjukkan betapa kaya dan kompleks realitas hidup tersebut, maka Dilthey melihat adanya dua bidang pengetahuan yang selama ini tumpang tindih, padahal memiliki lahan yang berbeda dan menuntut pendekatan dan metode yang berbeda. Dilthey melihat sesuatu yang kontra produktif bila cara yang digunakan untuk mendekati Naturwissenschaften (ilmu kealaman) digunakan untuk mendekati Geisteswissenschaften (ilmu kemanusiaan). Bagi Dilthey, dinamika kehidupan jiwa manusia merupakan susunan kompleks yang terdiri atas pengetahuan, perasaan dan kehendak. Hal ini tidak bisa ditundukkan ke dalam norma-norma kausalitas-mekanistik seperti dalam pola-pola kuantitatif.
Dilthey berambisi untuk meyusun sebuah dasar epistemologis bagi ilmu kemanusiaan, terutama ilmu sejarah. Dalam kerangka inilah Dilthey menawarkan hermeneutika sebagai metode bagi ilmu kemanusiaan. Tantangan yang dihadapi Dilthey adalah bagaimana menempatkan penyelidikan sejarah sejajar dengan penelitian ilmiah dalam bidang ilmu alam. Perbedaan objek kedua ilmu ini cukup mencolok.[166] Bila ilmu kemanusiaan mengenal dua dimensi eksterior dan interior bagi objeknya, maka ilmu alam hanya mengenal dimensi eksterior. Dilthey menganjurkan penggunaan hermeneutika karena, baginya, hermeneutika adalah dasar dari Geisteswissenschaften. Adapun berkenaan dengan keterlibatan individu dalam kehidupan masyarakat yang hendak dipahaminya, diperlukan sebentuk pemahaman yang khusus. Hermeneutikanya Dilthey berkisar pada tiga unsur, yaitu verstehen (memahami), erlebnis (dunia pengalaman batin), dan ausdruck (ekspresi hidup), di mana ketiga-tiganya saling berkaitan dan saling mengandaikan.
Verstehen adalah suatu proses mengetahui kehidupan kejiwaan lewat ekspresi-ekspresi yang diberikan pada indera. Memahami adalah mengetahui yang dialami orang lain lewat suatu tiruan (mimikri) pengalamannya. Ringkasnya, verstehen adalah menghidupkan kembali atau mewujudkan kembali pengalaman seseorang dalam diri individual lain. Erlebnis adalah kenyataan sadar keberadaan manusia dan merupakan kenyataan dasar hidup dari mana segala kenyataan dieksplisitkan. Dalam erlebnis hidup merupakan realitas fundamental yang teralami secara langsung sehingga belum memunculkan pembedaan subjek dan objek. Erlebnis adalah basis kenyataan bagi munculnya imajinasi, ingatan, dan pikiran. Ia ada sebelum ada refleksi dan sebelum ada pemisahan subjek dan objek. Sementara ausdruck atau ekspresi adalah ungkapan kegiatan jiwa yang terekspresikan dalam berbagai bentuk tindakan.
Pertama, ekspresi yang isinya telah tetap dan identik, seperti rambu-rambu lalu lintas. Kedua, ekspresi tingkah laku manusia. Tingkah laku ini bisa individual atau serangkaian tindakan yang panjang. Ketiga, ekspresi spontan, seperti tersenyum, tertawa, kagum dan seterusnya. Ekspresi ini merupakan ungkapan perasaan yang kadang dangkal dan kadang sangat dalam.
Tanpa mempergunakan verstehen, ilmu kemanusiaan khususnya sejarah (minat khusus Dilthey), tidak akan memperoleh pengetahuan yang dicari. Manusia, sebagai objek pengertian, dalam ilmu kemanusiaan memiliki kesadaran. Ini memungkinkan bagi pengamatan dalam menyelidiki sejumlah alasan tersembunyi dibalik perbuatan manusia. Ilmu kemanusiaan tidak hanya mampu mengetahui apa yang telah diperbuat manusia, tetapi juga pengalaman batin (erlebnis), pikiran, ingatan, keputusan nilai, dan tujuan yang mendorongnya berbuat. Perbuatan atau tindakan merupakan ekspresi jiwa manusia serta merupakan sekumpulan ide dan makna yang diharapkan oleh individu maupun masyarakat, baik berupa kata, sikap, karya seni, dan juga lembaga-lembaga sosial. Memahami ekspresi (ausdruck) dengan menghayati kembali kesadaran kita serta merta akan menimbulkan penghayatan berekspresi. Peneliti ilmu kemanusiaan harus berusaha seperti hidup dalam objeknya atau membuat objek hidup dalam dirinya. Dengan penghayatan akan mudah memunculkan verstehen.
Menurut Dilthey, setiap pengalaman baru, secara conent, ditentukan oleh semua pengalaman yang sampai saat itu dimiliki, sebaliknya pengalaman baru itu memberi arti dan penafsiran baru kepada pengalaman-pengalaman lama. Bila seorang peneliti ingin mengerti perbuatan pelaku sejarah yang berupa ekspresi-ekspresi (ausdruck), maka ia harus merekonstruksikan kesatuan dan kebersatuannya dengan pengalaman batin (erlebnis). Tegasnya, dengan merekonstruksikan pengalaman hidup seorang pelaku sejarah ke dalam batin seorang peneliti, maka akan menghasilkan efek yang sama seperti halnya pelaku sejarah mengalaminya pada waktu itu. Verstehen sendiri merupakan kegiatan memecahkan arti tanda-tanda ekspresi yang termanifestasi dalam hidup atau kegiatan jiwa. Verstehen adalah proses kehidupan mental diketahui melalui ekspresinya yang ditangkap oleh panca indera. Kenyataannya, ekspresi tersebut lebih dari hanya sekedar objektifikasi fisik, karena ia dihasilkan oleh kegiatan jiwa.
Proses memahami dan menginterpretasi seperti yang dikehendaki oleh Dilthey di atas memerlukan beberapa persyaratan sebagai berikut. Pertama, peneliti harus membiasakan diri dengan proses-proses psikis yang memungkinkan keberlangsungan suatu makna. Memahami kecemasan, cinta, dan harapan dibutuhkan kemampuan pengalaman. Oleh karenanya, hermeneutika perlu dilengkapi dengan studi psikologi deskriptif. Kedua, pengetahuan tentang konteks. Pemahaman terhadap bagian memerlukan pengetahuan tentang keseluruhan. Apabila suatu kata hanya bisa dimengerti dalam konteks yang lebih luas, demikian juga tindakan manusia. Ketiga, memiliki pengetahuan tentang sistem sosial dan kultural sebagai proses identifikasi gejala. Memahami suatu kalimat harus mengetahui konteks dalam bahasa yang bersangkutan. Syarat ini berkaitan erat dengan syarat kedua. Studi tentang satu pemikiran menghendaki konteks karya-karya yang lain dan studi tentang karya menghendaki konteks sosial-historis yang lebih luas.
Meskipun orang menyadari keadaaan dirinya sendiri melalui ekspresi orang lain namun orang masih dirasa perlu untuk membuat interpretasi atas ekspresi atau ungkapan tersebut. Hermeneutik hanya akan bekerja jika ekspresi atau ungkapan-ungkapan tersebut tidak asing atau sudah kita kenal. Jika ungkapan tidak mengandung sesuatu yang bersifat ganjil atau misteri, maka hermeneutika menjadi tidak perlu. Demikian juga bila sama sekali asing maka hermeneutika menjadi tidak mungkin.
Pada satu sisi tidak bisa dihindari bahwa interpretasi terhadap ekspresi untuk menemukan kebertautannya dengan erlebnis senantiasa melibatkan apa yang disebut lingkar hermeneutik. Terlalu sulit dideskripsikan secara logis ketat kapan suatu pemahaman tercapai. Suatu bagian hanya dapat dipahami melalui keseluruhan, sementara suatu keseluruhan hanya dapat dipahami melalui bagian. Seorang peneliti hanya dapat memahami pikiran-pikiran hanya dengan menunjuk situasi yang membangkitkan pikiran itu. Sedang situasi yang membangkitkan pikiran tersebut hanya dapat dipahami berdasarkan apa yang sudah dipikirkan. Pemahaman dan makna senantiasa bergantung pada hubungannya dan merupakan bagian dari situasi. Hal ini selalu terkait dengan perspektif dan situasi historis. Kenyataan adanya lingkaran dalam proses pemahaman mengungkapkan bahwa masing-masing bagian mengandaikan yang lain sehingga konsepsi pemahaman tanpa pengandaian tidak memiliki dasar faktual. Tetapi, bukan berarti hermeneutika ini menjadi proses semaunya. Setidaknya Dilthey menekankan beberapa hal yang bisa dianggap sebagai aturan main sebuah hermeneutika.
Dilthey sangat menekankan “kedekatan batin” yang memberikan ciri khas pada “pengalaman yang hidup” (lived experience). Pengalaman inilah yang menjadi objek sesungguhnya dari hermeneutika. Pengalaman-pengalaman hidup kita sehari-hari tidak dapat seluruhnya disebut sebagai “pengalaman yang hidup”. Hanya pengalaman yang bisa memberi “kedekatan batin” terhadap masa lalu dan masa depan saja yang bisa disebut sebagai “pengalaman yang hidup”. Untuk memperoleh interpretasi dan pemahaman dalam ilmu kemanusiaan, khususnya sejarah, setidaknya ada tiga langkah dalam pengopresian hermeneutika.
Pertama, memahami sudut pandang atau gagasan asli pelaku. Kedua, memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka pada hal-hal yang secara langsung berhubungan dengan peristiwa sejarah. Ketiga, menilai peristiwa tersebut berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat peneliti masih hidup. Langkah ini sebenarnya hanya eksplisitisasi dari pemikiran Dilthey tentang prinsip dasar hermeneutika bahwa ketika peneliti merekonstruksi kembali dalam batinnya pengalaman-pengalaman seorang pelaku sejarah, maka ia mampu memahami pelaku tersebut. Memahami mengandung arti bahwa “dalam keadaan serupa, aku sendiri juga akan berbuat dan berpikir demikian”. Untuk bisa memahami pelaku sejarah, peneliti menggunakan pengalamannya pada masa kini untuk bisa masuk ke dalam kulit pengalaman pelaku sejarah.[167]
Ketertarikan Betti terhadap hermenutika tidak lahir dari keinginan filosofis untuk mengungkap kebenaran sebuah karya seni (Gadamer), keinginan untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang kodrat yang ada (Heidegger), atau sebuah tekanan untuk menyelamatkan makna ayat Bibel (Bultmann dan Ebeling). Betti hanya bermakud untuk membedakan antara cara/model beragam interpretasi dalam disiplin manusia dan merumuskan kerangka fundamental dari prinsip-prinsip yang dapat menafsirkan perilaku dan maksud manusia.[168] Hermeneutika, bagi Betti, adalah sebagai auslegung dan bukannya deutung atau spekularive deutung.[169] Hermeneutika model ini adalah sebagai an intellectual discipline and educational training which is fundamental in life.[170]
Dalam pandangan Emilio Betti, interpretasi merupakan sarana dalam memahami. Kaitannya dengan pemahaman, interpretasi objektif akan membantu mengatasi kendala pemahaman sekaligus memberikan ketepatan kembali dari pikiran objektif yang ada pada subjek tersebut. Selanjutnya, pengetahuan yang relatif objektif mensyaratkan seorang penafsir untuk memasuki hubungan subjek-objek dan pokok bahasan, misalnya teks, yang akan ditafsirkan.
Dalam mencapai sebuah interpretasi yang objektif, Betti menegaskan, tujuan utamanya adalah mengklarifikasi perbedaan esensial antara auslegung (penafsiran) dan sinngebung (peran penafsir dalam penyerahan makna terhadap objek). Oleh karena itu, bagi Betti, penafsiran terhadap objek merupakan sebuah objektivikasi dari semangat manusia (geist) yang diekpresikan dalam bentuk pikiran yang sehat. Interpretasi membutuhkan pengakuan dan rekonstruksi makna yang telah dimasukkan oleh pengarang. Dengan kata lain, seorang penafsir harus melakukan ‘ziarah’ ke dalam subjektivitas asing dan melalui suatu inversi proses kreatif, kemudian kembali lagi pad aide atau interpretasi yang telah dimasukkan ke dalam objek. Berbicara tentang objektivitas tanpa melibatkan subjektivitas dari penafsir merupakan tindakan yang absurd. Namun, subjektivitas sang penafsir harus menembus keasingan dan ketidakjelasan objek.[171]
Untuk melakukan interpretasi objektif dan pemahaman yang akurat, Betti menekankan empat syarat penting yang bersifat teoritis yang harus ada dalam proses penafsiran. Pertama, aspek filologi, yaitu rekonstruksi terhadap koherensi suatu ungkapan dari sisi gramatikal dan logika. Aspek ini bernilai efektif dalam usaha memahami secara permanen simbol-simbol yang sudah pasti. Kedua, aspek kritik. Kegiatan ini dihadapkan pada hal-hal yang membutuhkan sikap untuk dipertanyakan, misalnya mengenaui statement yang tidak logis atau adanya gap (kesenjangan) dalam sekumpulan argument yang muncul. Ketiga, aspek psikologis. Aspek ini diberlakukan ketika penafsir meletakkan dirinya dirinya dalam diri pengarang, yaitu ketika memahami atau menciptakan kembali personalitas dan posisi intelektual si pengarang. Keempat, aspek morfologi-teknis. Pendekatan ini ditujukkan kepada pemahaman isi-arti dari kata yang bersifat mental-objektif dalam hubungannya dengan logika khusus dan prinsip-prinsip yang digunakannya. Pada sisi ini, objek dipandang apa adanya tanpa dikatkan dengan sifat atau faktor-faktor eksternal.[172]
Jadi, menurut Betti, suatu interpretasi hendaknya bersifat gerakan yang melibatkan aspek kebahasaan, latar belakang historis, dan pengenalan terhadap si pengarang secara bersama-sama. Melalui pendekatan ini, hasil interpretasi yang relatif objektif sangat dimungkinkan untuk dicapai. Dengan menetapkan prosedur-prosedur yang digagasnya, Betti berkeyakinan, seorang penafsir mampu untuk berbuat seperti yang telah dilakukan oleh pengarang teks itu sendiri atau malah melampauinya.[173] Berkaitan dengan adanya pengetahuan yang objektif ini, Rahman menjelaskan bahwa pengetahuan mengenai latar belakang yang kongkrit dari situasi historis turunnya wahyu mempunyai arti yang signifikan dalam rangka untuk menemukan objektivitas pemahaman terhadap arti sebenarnya dari Al-Qur´an. Dengan demikian, teks dan konteks  tidak dapat dipisahkan atau teks menemukan maknanya dalam konteks. Dalam tradisi Islam, tutur Rahman, konsep ini dikenal dengan asbāb al-nuzūl.[174]
3. Metode Interpretasi Sistematis-Kronologis-Historis
Konsepsi hermeneutika Rahman, sesungguhnya baru digunakan Rahman ketika mengelaborasi teori double movement, yaitu sebuah konstruk penafsiran yang dimulai dari situasi kontemporer–ke masa Al-Qur´an diturunkan–dan kembali lagi ke masa kontemporer.[175] Jauh sebelum istilah hermenutika tersebut dipergunakan, Rahman hanya menyebut metodologi penafsirannya dengan metode penafsiran sistematis (the systematic interpretation method). Perumusan metode tasfir Al-Qur´an, baik metode penafsiran sistematis (the systematic interpretation method) ataupun teori double movement, yang dlakukan oleh Rahman tidak muncul serta merta, tetapi berlangsung secara bertahap yang memakan waktu, tidak kurang, dari 12 tahun.
Sebelum berangkat memahami metode penafsiran yang sistematis (the systematic interpretation method),[176] terdapat dua hal penting yang terlebih dahulu harus diindahkan oleh pembaca agar supaya dapat mendudukan metodologi penafsirannya secara tepat karena hal ini berkaitan dengan reformasi Al-Qur´an. Pertama, sebelum memperkenalkan suatu perubahan besar, terlebih dahulu dipersiapkan sebuah pijakan yang kokoh. Dalam arti lain, pentingnya pemahaman tentang graduasi penetapan hukum dalam Al-Qur´an atau tadarruj. Kedua, setiap tindakan dan perubahan besar yang dilakukan oleh Nabi memiliki latar belakng atau konteks sejarahnya. Ini memberikan isyarat kemampuan memahami asbāb al-nuzūl wahyu. Terkait prinsip ini, Rahman memandangnya sangat penting agar pemahaman terhadap suatu perintah dikontektualisaikan berdasarkan nilai yang mendasarinya, bukan sebatas kata-kata literalnya belaka.[177]
Dalam metode penafsiran sistematis (the systematic interpretation method), Rahman mengemukakan perlunya perumusan pandangan dunia Al-Qur´an (weltanschauung), pengkajian terhadap situasi historis yang melatarbelakangi kehadiran pesan Al-Qur´an, situasi kontemporer sehingga diketahui perbedaan keduanya, dan menafsirkan legislasi Al-Qur´an melalui proses pemahaman di atas untuk mennghasilkan hukum-hukum baru bagi situasi sekarang ini.[178] Metode penafsiran sistematis (the systematic interpretation method) yang dicanangkan oleh Rahman memuat tiga langah pendekatan. Pertama, pendekatan historis demi menemukan makna teks Al-Qur´an. Kedua, pemisahan antara ketentuan hukum dan sasaran/tujuan Al-Qur´an.[179] Ketiga, memahami dan memastikan sasaran/tujuan Al-Qur´an dengan tetap memperhatikan latar sosiologis pewahyuan Al-Qur´an.[180]
Sebelum mengeksplorasi metodologi kedua dan ketiga, alangkah tepat sekiranya pemahaman tentang rumusan metodolgi pertama dipahami lebih komprehensif. Untuk memudahkan, penulis memberikan visualisasi secara bagan sebagai berikut.
Bagan
Metode Penafsiran Sistematis
(The Systematic Interpretation Method)

Basis Teoritis:
Jika pembicaraan yang lantang dan berkesinambungan dari kaum Muslim tentang kelangsungan hidup Islam sebagai suatu sistem doktrin dan praktek di dunia dewasa ini benar-benar sejati (suatu masalah yang jawabannya tidak mudah diterapkan), maka tampak jelas bahwa mereka harus memulai sekali pada tingkat intelektual … Seluruh kandungan syari’ah mesti menjadi sasaran penilikan yang segar dalam sinaran bukti Al-Qur´an. Suatu penafsiran yang sistematis dan berani harus dilakukan … Suatu metodologi yang seksama untuk memahami dan menafsirkan Al-Qur´an harus digunakan.

           Bentuk metodologi                                                      Implementasi Metodologi







a. Pendekatan historis untuk menemukan makna teks Al-Qur´an dalam bentangan karir dan perjuangan Nabi.         suatu pendekatan historis
Pendekatan terhadap aspek metafisika dari ajaran Al-Qur´an mungkin tidak mudah untuk dilakukan, tetapi terhadap aspek sosiologisnya pasti dapat diwujudkan. Untuk itu , Al-Qur´an terlebih dahulu harus dikaji secara kronologis. Pengujian terhadap wahyu-wahyu awal akan memberikan persepsi yang cukup akurat mengenai motivasi mendasar dari gerakan Islam awal. Oleh karenanya, seseorang harus mempelajari ajaran Al-Qur´an melalui karir dan perjuangan Muhammad. Metode historiss ini akan menghndarkan seseorang dari upaya penafsiran Al-Qur´an secara berlebihan dan artifisial seperti dilakukan kalangan modernis. Selain dapat memantapkan makna pernyataan Al-Qur´an, secara detail, metode ini juga akan menghasilkan maksud keseluruhann pesan Al-Qur´an dalam suatu cara yang sistematis dan koheren.



b. Pembedaan antara ketentuan hukum dan sasaran/tujuan Al-Qur´an.
Kemudian, pada langkah kedua, seorang mufassir siap untuk membedakan antara ketetapan legal Al-Qur´an dengan sasaran dan tujuan akhir, di mana hukum akan dilaksanakan. Di sini, kemungkinan subjektivitas tetap ada, namun hal ini dapat direduksi hingga tingkat minimal dengan menggunakan pernyataan Al-Qur´an itu sendiri.  Orang seringkali melupakan bahwa Al-Qur´an biasanya memberikan alasan tertentu bagi pernyataan hukumnya. Misalnya, mengapa dalam kasus persaksian alat bukti dua orang wanita dapat menjadi pengganti seorang laki-laki? Alasannya adalah “agar wanita yang satu lagi dapat mengingatkan yang satunya lagi apabila ia lupa.” Ini adalah penafsiran yang jelas berdasarkan setting sosiologis masyarakat Arabia era Nabi dan desakan bahwa bukti yang benar sedapat mungkin harus dihasilkan.


c. Memahami dan memastikan sasaran/tujuan Al-Qur´an dengan tetap memperhatikan latar sosiologis pewahyuan Al-Qur´an.
Terakhir, tujuan Al-Qur´an harus dipahami dan dipastikan selalu memperhatikan setting sosiologisnya, yakni lingkungan di mana Nabi berkiprah. Hal ini akan mengakhiri praktek penafsiran Al-Qur´an secara subjektif, yang dilakukan mufassir abad pertengahan dan modern karena setiap penafsiran yang dilahirkan akan diuji dengan kebenaran konteks sosiologis historisnya.
Rumusan berikutnya, Rahman menawarkan metodologi dalam bentuk dua gerakan pemikiran yuristik. Pertama, pemikiran yang bergerak dari yang khusus kepada yang umum. Kedua, pemikiran yang bergerak dari umum kepada yang khusus.[181] Kedua rumusan metodologi di atas, mencapai klimaksnya, bahkan terkesan lebih mapan dan rinci, dalam teori double movement Al-Qur´an yang digagasnya di kemudian hari, tepatnya dalam buku Islam & Modernity: Transformation of an Intelllectual Tradition.
Bagan II:
Dua Gerakan Pemikiran Yuristik




a. Dari yang khusus (partikular) menuju yang umum (general)
Pemahaman terhadap prinsip-prinsip Al-Qur´an dilakukan bersamaan dengan Sunnah yang merupakan bagian organisnya. Aspek sosial dari perintah-perintah Al-Qur´an memiliki suatu latar belakang situasional, sebagaimana dengan pewahyuan Al-Qr´an sendiri yang memiliki latar belakang trligio-sosial yang amat nyata dalam politeisme dan disekuilibirium sosio ekonomi masyarakat Mekah pada awal Islam. Periintah Al-Qur´an tidak muncul dalam suatu kevakuman, tetapi selalu hadir sebagai solusi terhadap masalah-masalah aktual.[182]



b. Dari yang umum (general) menuju yang khusus (partikular)
Dalam kerangka ini, prinsip-prinsip yang diperoleh pada gerakan pertama diterapkan ke dalam realitas kehidupan umat Islam kontemporer. Jenis penelitian sosiologis terhadap situasi ini akan memberi arah yang tepat tentang bagaimana prinsip-prinsip yang digali dari Al-Qur´an dan Hadits harus ditubuhkan (embodied) dalam legislasi kontemporer.
Menurut Saleh,[183] gerakan pertama, yaitu pemikiran yang bergerak dari yang khusus kepada yang umum, dalam metodologi bentuk dua gerakan pemikiran yuristik, jika diperhatikan sebenarnya tidak lain dari manifestasi tiga prosedur metode penafsiran sistematis (the systematic interpretation method) yang digagas oleh Rahman pertama kali. Hanya saja, menurut Amal,[184] dari ketiga prosedur tersebut Rahman belum memasukkan pertimbangan konteks kekinian ke dalam kerangka metodologisnya. Baru dalam rumusan selanjutnya Rahman mengintegrasikan konteks kekinian tersebut.
Masih terkait dengan tiga prosedur metode penafsiran sistematis (the systematic interpretation method) Rahman di atas, mengadopsi analisis Sibawaihi,[185] dapat diringkas menjadi dua bagian. Pertama, pentingnya pendekatan historis, sembari memperhatikan aspek sosiologisnya – yang kemudian disingkat menjadi pendekatan sosio historis – dalam memahami ayat-ayat Al-Qur´an, khususnya yang berkenaan dengan masalah sosial (diringkas dari poin a dan c). Kedua, pentingnya pembedaan antara ketetapan legal spesifik dengan tujuan atau ideal moral Al-Qur´an, yang kemudian disebut teori double movement (diringkas dari poin b).
4. Teori Double Movement Al-Qur´an Fazlur Rahman
            Dalam rumusan metodologi pertama, Rahman hanya menitikberatkan aplikasi penafsirannya dalam aspek-aspek hukum atau sosial Al-Qur´an dan dalam metodologi kedua mulai memasukkan konteks kekinian,[186] maka dalam rumusan metodologi puncaknya, yaitu teori double movement, artikulasi penafsirannya diarahkan dalam semua dimensi sosial ajaran Al-Qur´an, di antaranya dimensi ekonomi, politik, etika, dan sosial kemasyarakatan. Dalam teori double movement pula Rahman mengkaitkan metode penafsirannya dengan pendekatan hermenutika dengan kecenderungan memihak aliran objektivisme yang diwakili Emilio Betti.[187]
            Secara umum, proses penafsiran yang ditawarkan oleh Rahman mempunyai dua gerakan ganda. Pertama, dari situasi sekarang menuju ke masa turunnya Al-Qur´an. Kedua, dari masa turunnya Al-Qur´an kembali kepada masa kini. Gerakan pertama memiliki dua langkah, yaitu pemahaman arti atau makna dari suatu pernyataan Al-Qur´an melalui cara mengkaji situasi atau problem historis, di mana pernyataan Kitab Suci tersebut turun sebagai jawabannya. Dalam proses ini, kajian mengenai pandangan-pandangan kaum Muslimin, di samping bahasa, tata bahasa, gaya bahasa, dan lain sebagainya, akan sangat membantu sesudah hal itu diuji dengan pemahaman yang diperoleh dari Al-Qur´an sendiri. Kedua, membuat generalisasi dari jawaban-jawaban spesifik tersebut dan mengungkapkan tujuan moral yang bersifat umum. Setelah dua langkah pertama ini, dilanjutkan menuju gerakan kedua yang berbentuk perumusan ajaran-ajaran yang bersifat umum tersebut dan kemudian meletakannya ke dalam sosio historis yang kongkrit ssat ini.[188]
Dimulai dari spesifik Al-Qur´an ke penggalian dan sistematisasi prinsip-prinsip umum, nilai-nilai, dan tujuan-tujuan jangka panjangnya. Kemudian, dari pandangan umum ke pandangan spesifik yang harus diformulasikan sekaligus direalisasikan dalam konteks kontemporer.[189] Teori interpretasi ini, berangkat dari asumsi atau paradigma dasar bahwa Al-Qur´an merupakan respon Ilahi terhadap setting sosio moral Arab melalui ingatan dan pikiran Nabi.[190] Pandangan asumtif ini menggambarkan bahwa Al-Qur´an turun dalam konteks situasi kesejarahan yang kongkrit, dalam ruang dan waktu (spasio-temporer) yang sarat dengan nuansa dan dialog, bahkan ketegangan budaya dan agama.[191] Dalam kerangka ini, maka pemahaman terhadap situasi kesejarahan merupakan suatu keniscayaan untuk dapat mengungkap makna teks yang sebenarnya. Tanpa pemahaman tersebut, upaya untuk memahami pesan Al-Qur´an secar komprehensif akan merupakan suatu pekerjaan yang sia-sia.[192]
            Berdasarkan asumsi atau paradigma di atas, Rahman menyusun kerangka metodologinya hermeneutiknya dalam tiga tahap. Pertama, mempelajari Al-Qur´an dalam tatanan kronologisnya karena akan menyelamatkan penafsir dari penafsiran yang bersifat artifisial serta dapat menetapkan makna rincian sekaligus makna keseluruhan dari pesan Al-Qur´an secara sistematis. Dalam konteks ini pula, Al-Qur´an harus dipahami dalam bentangan karir dan perjuangan Muhammad. Kedua, membedakan antara ideal moral dan legal spesifik Al-Qur´an. Ketiga, memahami dan menetapkan sasaran-sasaran Al-Qur´an dengan memperhatikan latar sosiologisnya.[193] Dalam aplikasi metodisnya, Rahman menyarankan untuk memperhatikan pandangan dunia Al-Qur´an (ide tentang Tuhan-alam-manusia) dan merumuskan sistematika etika Al-Qur´an (iman-Islam-taqwa) yang akan menjadi basis penafsirannya,[194] khususnya dalam menetapkan legal spesifik dan ideal moral Al-Qur´an serta dalam menetapkan sasaran-sasaran Al-Qur´an dalam konteks tathbīq pada masalah aktual sekarang.[195]
            Rahman, selanjutnya, meyakinkan bahwa apabila kedua momen gerakan ganda ini berhasil diwujudkan, niscaya perintah-perintah Al-Qur´an akan menjadi hidup dan efektif kembali. Oleh karena itu, tugas pertama sangat bergantung dan berhutang budi kepada kerja para sejarawan. Sedangkan tugas kedua, meskipun sangat memerlukan istrumentalitas para saintis sosial, demi menentukan “rekayasa efektif” dan “rekayas etis”, maka kerja para penganjur moral (ulama) yang diandalkan. Kedua tugas di atas, lanjut Rahman, mengimplikasikan jihād intelektual. Khusus tugas yang kedua, selain bernuansa jihād intelektual, juga membersitkan jihād moral. Jihād dan gerakan intelektual dalam gerakan ganda inilah yang belakangan dipopulerkan Rahman dengan sebutan ijtihād.[196]

[1] Dalam makalah ini, nama Fazlur Rahman, oleh penulis terkadang ditulis secara lengkap, yaitu Fazlur Rahman dan terkadang hanya mencantumkan nama belakangnya saja, yaitu Rahman. Pencantuman nama Rahman saja hanya merupakan simplifikasi semata dan merupakan kelaziman yang sering dilakukan oleh banyak orang yang menulis tentang beliau.
[2] Sibawaihi, Eskatologi al-Ghazali dan Fazlur Rahman: Studi Komparatif Espistemologi Klasik-Kontemporer (Yogyakarta: Islamika, 2004), hlm. 13-14 & 38.
[3] Dalam salah satu tulisannya, Wael B. Hallaq, mensinyalir bahwa kontroversi seputar terbuka dan tertutupnya pintu ijtihād, secara historisitas, muncul sekitar tahun 500 H. Kontroversi tersebut berbentuk silang pendapat kesarjanaan antara seorang ahli hukum dari mazhab Hanbali, yaitu Ibn ‘Aqîl (w. 513 H/1119 H) dengan seorang sarjana mazhab Hanafi yang anonim (tidak diketahui namanya). Dalam silang pendapat tersebut, Ibn ‘Aqîl menolak pandangan lawannya yang berikukuh bahwa bâb al-qadhâ (pintu penghakiman) telah tertutup, karena tidak ada lagi orang yang pantas disebut mujtahid dan setiap persoalan esensial yang terkait dengan problematika umat telah dipecahkan oleh kalangan mujtahid sebelumnya. Kesimpulan yang diambil Hallaq, berdasarkan penelitiannya, menegaskan bahwa asal muasal kontroversi tersebut lebih banyak berkutat dalam ranah teologi (‘ilm al-kalām) daripada hukum (fiqh) sekaligus menandaskan pula bahwa pintu ijtihād tidak pernah tertutup. Lihat, Hallaq, Wael B, Kontroversi Seputar Terbuka dan Tertutupnya Pintu Ijtihad, terj. Nurul Agustina dalam Jurnal Al-Hikmah: Jurnal Studi-Studi Islam, no. 7, (Bandung, Yayasan al-Muthahhari, November – Desember 1992), hlm 43-54.
[4] Azra, Azyumardi, “Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia,” dalam buku Abd A’la, Dari Neo Modernisme ke Islam Liberal (Jakarta: Paramadina, 2003), hlm. x.
[5] Ibid., hlm. xi.
[6] Ibid., hlm. xiii.
[7] Sibawaihi, “Pengantar Penulis,” dalam buku Hermeneutika Al-Qur´an Fazlur Rahman (Yogyakarta-Bandung: Jalasutra, 2007), cet. I, hlm. xv.
[8] Sibawaihi, Pengantar Penulis, hlm. xv.
[9] Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1994), cet. V, hlm. 79.
[10] Menurut keterangan Ebrahim Moosa, almarhum tidak pernah menggunakan nama keluarganya, yaitu Malak, karena hal itu tidak biasa dilakukan di anak Benua Indo Pakistan. Di Barat, nama keduanya, yaitu Rahman, menjadi nama bagi keluarganya. Namun, dalam bibliografi, ia tercantum dengan nama Rahman. Lihat, Moosa, Ebrahim (ed.), “Pendahuluan” dalam buku Fazlur Rahman, Kebangkitan dan Pembaharuan di Dalam Islam, terj. Munir (Bandung: Pustaka, 2001), cet. I, hlm. 33 dalam footnote no 1.
[11] Sekolah/madrasah ini didirikan oleh murid-murid Syah Waliyullah atau, lebih tepatnya, oleh Muhammad Qāsim Nanotawi pada tahun 1867.
[12] Amal, Taufik Adnan, Loc.Cit.
[13] Rahman, Fazlur, “Membangkitkan Kembali Visi Al-Qur´an: Sebuah Catatan Otobiografis,” terj. Ihsan Ali Fauzi dalam Al-Hikmah: Jurnal Studi-Studi Islam, no. 6, (Bandung: Yayasan Muthahhari, Juli-Agusutus 1992), hlm. 59.
[14] Amal, Taufik Adnan, Loc.Cit.
[15] Moosa, Ebrahim, Pendahuluan, hlm. 1.
[16] Sibawaihi, Eskatologi al-Ghazali dan Fazlur Rahman: Studi Komparatif Espistemologi Klasik-Kontemporer (Yogyakarta: Islamika, 2004), hlm. 49-50 dan Rahman, Fazlur, Membangkitkan Kembali Visi Al-Qur´an, hlm. 59.
[17] Sibawaihi, Eskatologi al-Ghazali dan Fazlur Rahman, hlm. 49.
[18] Model skeptisisme terhadap Hadits yang dipraktekkan oleh Sir Ahmad Khān, menurut Amal,
[19] Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas, hlm. 80. Menurut Amal, salah satu karya komprehensif Rahman yang membahas tentang Hadits adalah Islamic Methodology in Islam yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Membuka Pintu Ijtihad, terj. Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 1995). Penggalan-penggalan skeptisisme-kritisisme Rahman tentang Hadits, dapat pula ditemukan dalam karyanya yang lain, seperti Islam (Chicago & London: University of Chicago Press, 1979) yang juga telah diterjemahkan menjadi Islam, terj. Senoaji Saleh (Jakarta: Bumi Aksara, 1992).
[20] Sibawaihi, Op.Cit., hlm. 50.
[21] Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas, hlm. 80.
[22] Sibawaihi, Eskatologi al-Ghazali dan Fazlur Rahman, hlm. 50. Ketidakpuasan Rahman terhadap pendidikan tinggi Islam di negara-negara Muslim ini, belakangan terjelma dalam kritisismenya yang pedas terhadap lembaga-lembaga tersebut. Lihat, Mas’adi, Ghufran A., Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997), Ed. I, cet. I, hlm. 18. Ketika bertemu dengan seorang pendeta Hindu, Sir S. Radhakrisman, di Inggris, Rahman pernah ditanya olehnya, “Mengapa Anda tidak ke Mesir saja, tetapi malah studi ke Oxford?” Rahman menjawab, “Studi-studi Islam di sana sama tidak kritisnya dengan di India …” Lihat, Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas, hlm. 81.
[23] Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), cet. XI, hlm. 168.
[24] Rahman setidak-tidaknya, menguasai bahasa Latin, Yunani, Inggris, Perancis, Jerman, di samping juga bahasa Turki, Persia, Urdu, dan, tentunya, bahasa Arab.
[25] Amal, Taufik Adnan, Op.Cit., hlm. 82.
[26] Sibawaihi, Loc.Cit.
[27] Moosa, Ebrahim, Pendahuluan, hlm. 1.
[28] Amal, Taufik Adnan, Loc.Cit dan Mas’adi, Ghufran A., Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, hlm. 19.
[29] Kecemasan tidak akan diterima kembali atau, bahkan, akan dikucilkan, ditindas di negerinya sendiri serta kenyataan ia seorang sarjana Islam didikan Barat ditenggarai merupakan alasan keputusan Rahman untuk tinggal sementara waktu di Barat.
[30] Moosa, Ebrahim, Pendahuluan, hlm. 1. Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan, hlm. 83 dan Sibawaihi, Eskatologi al-Ghazali dan Fazlur Rahman, hlm. 51.
[31] Moosa, Ebrahim, Pendahuluan, hlm. 2 dan Sibawaihi, Loc.Cit.
[32] Lembaga ini didirikan oleh Ayyub Khan pada tahun 1960 dengan direktur pertamanya adalah Istiyaq Husayn Quresyi (Qureshi).
[33] Dewan ini dibentuk pada tahun 1962.
[34] Mas’adi, Ghufran A., Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, hlm. 27.
[35] Journal of Islamic Studies, yang sampai sekarang masih terbit secara berkala, merupakan sebuah jurnal ilmiah berbahasa Inggris yang cukup bergengsi dan bertaraf internasional. Dalam jurnal ini, selain menerbitkan hasil riset para staf peneliti di Pusat Lembaga Kajian Islam, juga menerbitkan sejumlah materi riset beberapa sarjana asing.
[36] Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas, hlm. 84 dan Sibawaihi, Eskatologi al-Ghazali dan Fazlur Rahman, hlm. 52 Dalam momentum ini dan karena jabatannya yang penting, kata Moosa, Rahman harus memainkan peran sebagai seorang raja yang filosof. Di Pakistan, ia juga berhadapan dengan realitas yang keras serta sejumlah problem intelektual dan politik yang kompleks yang mempengaruhi agama dan masyarakat. Lihat, Moosa, Ebrahim, Pendahuluan, hlm. 2.
[37] Baca eksposisi Rahman tentang strategi pemberdayaan lembaga riset yang dipimpinnya dalam Islam dan Modernitas: tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Mohammaad (Bandung: Pustaka, 2000), cet. II, hlm. 147.
[38] A’lā, Abd, Dari Neo Modernisme ke Islam Liberal (Jakarta: Paramadina, 2003), cet. I, hlm. 36.
[39] Amal, Taufik Adnan, Op.Cit., hlm. 86. A’lā, Abd, Op.Cit., hlm. 35 dan Mas’adi, Ghufran A., Op.Cit., hlm. 27.
[40] Rahman, Fazlur, Islam, terj. Senoaji Saleh (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), cet. II, hlm. 48. Lihat juga, A’lā, Abd, Op.Cit., hlm. 36-37. Sibawaihi, Eskatologi al-Ghazali dan Fazlur Rahman, hlm. 53. Adapun statement Rahman yang menyatakan “hampir-hampir ibarat tukang pos yang menyampaikan surat-surat” dapat dibaca dalam Amal, Taufik Adnan, Op.Cit., hlm. 100.
[41] A’lā, Abd, Dari Neo Modernisme ke Islam Liberal, hlm. 37. Mas’adi, Ghufran A., Loc.Cit, dan Sibawaihi, Loc.Cit. Keterangan detail tentang hal ini dapat dibaca selengkapnya dalam Amal, Taufik Adnan, Op.Cit., hlm. 100-104.
[42] Baca eksposisinya dalam Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas, hlm. 149-150.
[43] A’lā, Abd, Op.Cit., hlm. 39. Mas’adi, Ghufran A., Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, hlm. 29 dan Sibawaihi, Eskatologi al-Ghazali dan Fazlur Rahman, hlm. 53. Tentang kepindahannya ini, sebagaimana yang dingkapkan oleh Ma’arif, Rahman menyatakan, “Bila bumi Muslim belum “peka” terhadap imbauan-imbauannya, maka bumi lain, yang juga bumi Allah, telah menampunya dan, dari sanalah, ia menyusun dan merumuskan pemikiran-pemikirannya tentang Islam sejak tahun 1970. Ke sana pulalalh, beberapa mahasiswa Muslim dari berbagai negeri Muslim belajar Islam dengannya.” Statement Rahman ini dikutip dari Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas, hlm. 105.
[44] Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas, hlm. 105-106. Sibawaihi, Eskatologi al-Ghazali dan Fazlur Rahman, hlm. 54. Mas’adi, Ghufran A., Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, hlm. 29-30 dan A’lā, Abd, Dari Neo Modernisme ke Islam Liberal, hlm. 42-43.
[45] A’lā, Abd, Op.Cit., hlm. 44. Amal, Taufik Adnan, Op.Cit., hlm. 111 dan Sibawaihi, Loc.Cit.
[46] Moosa, Ebrahim, Pendahuluan, hlm. 2.
[47] Ma’arif, Ahmad Syafi’i, “Pendahuluan: Mengenal Fazlur Rahman dan Pemikirannya dalam Islam,” dalam buku Fazlur Rahman, Islam Modern: Tantangan Pembaruan Islam, terj. Rusli Karim & Hamid Basyaib (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1987), cet. I, hlm. 1-3.
[48] Beserta beberapa teman Indonesianya, seperti Ahmad Syafi’i Ma’arif, Nurcholish Madjd, dan Muhammad Amien Rais, Wan Mohd Nor Wan Daud menjadi murid langsung dari Prof. Fazlur Rahman. Lahir di Kelantan 23 Desember 1955. Menyelesaikan B.Sc (Hons) Biology dan M.Sc Ed (Kurikulum dan Pengajaran) di Nothern Illinois University (NIU), De Kalb, Illinois, USA. Tahun 1987 menyelesaikan Ph.D di Chicago dengan disertasi berjudul The Concept of Knowledge in Islam and Its Implication for Education in the Malaysian Concept di bawah bimbingan Fazlur Rahman. Semenjak tahun 1988 ikut merintis ISTAC dan membantu Prof. Naquib al-Attas dalam setiap aspek akademis dan urusan mahasiswa serta sejak tahun 1998 menjabat wakil direktur ISTAC.
[49] Wan Daud, Wan Mohd Nor, “Kaji Ide-Ide Rahman secara Kritis dan Jujur,” dalam Islamia: Majalah Pemikiran dan Peradaban Umat, vol. I, no. 2, (Jakarta: ISTAC dan Khairul Bayan, Juni-Agustus 2004), hlm. 52-53.
[50] Ma’arif, Ahmad Syafi’i, Mengenal Fazlur Rahman dan Pemikirannya dalam Islam, hlm. 3-4.
[51] Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas, hlm. 150.
[52] Ma’arif, Ahmad Syafi’i, Mengenal Fazlur Rahman dan Pemikirannya dalam Islam, hlm. 1.
[53] Ma’arif, Ahmad Syafi’i, Islam: Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), cet. I, hlm. 49.
[54] Silang sengketa ini bermula dari kritik Rahman kepada Ayyatulah Khomeini yang dinilainya bodoh dan tidak mengerti tentang Islam. Dari statement Rahman ini, Algar spontan berkesimpulan bahwa pernyataan emosional Rahman ditujukkan “untuk mencari simpati Barat.” Implikasinya, Rahman terkesan lebih bersimpati kepada Shah Iran tinimbang pada Khomeini. Ma’arif sendiri, terhadap kasus ini, memberi komentar bahwa Algar belum mengenal dekat dan memahami pemikiran Rahman dalam maknanya yang utuh. Rahman, perspektif Ma’arif, memiliki paradigma tersendiri tentang pemahaman seseorang terhadap Islam dan Al-Qur´an, yag selalu dikaitkannya dengan bingkai perdaban masa depan. Sekalipun demikian, pernyataan kedua-duanya, dinilai Ma’arif, terlalu bersifat emosional dan tergopoh-gopoh. Lihat, Ma’arif, Ahmad Syafi’i, Islam: Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat, hlm. 48-50.
[55] Mas’adi, Ghufran A., Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, hlm. 19.
[56] Keterangan ini diungkapkan oleh Buya dalam diskusi subuh di Mesjid Mujahidin dengan santri Pesantren Luhur al-Urwat al-Wutsqā PTPPI PWM Jawa Barat, medio pertengahan tahun 2007.
[57] Ma’arif, Ahmad Syafi’i, “Memahami Rahman: Kesaksian Seorang Murid,” Kata Pengantar dalam buku Fazlur Rahman, Kontroversi Kenabian dalam Islam: Antara Filsafat dan Ortodoksi, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Mizan, 2003), cet. I, hlm. 13-14.
[58] Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas, hlm. 139.
[59] Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas, hlm. 80.
[60] Ibid., hlm. 82, 84 & 86 dan Sibawaihi, Eskatologi al-Ghazali dan Fazlur Rahman, hlm. 53.
[61] Mas’adi, Ghufran A., Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, hlm. 20.
[62] A’lā, Abd, Dari Neo Modernisme ke Islam Liberal, hlm. 35.
[63] Mas’adi, Ghufran A., Op.Cit., hlm. 28-29. A’lā, Abd, Op.Cit., hlm. 38-39 dan Amal, Taufik Adnan, Op.Cit., hlm. 86 & 101-103.
[64] Rahman, Fazlur, Metode dan Alternatif Neo Modernisme Islam, terjemahan & suntingan Taufik Adnan Amal (Bandung: Mizan, 1993), cet. V, hlm. 35.
[65] Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas, hlm. 10.
[66] Secara umum-konvensional, Al-Qur´an dan hakikat pewahyuannya didefinisikan sebagai “kalāmullāh al-mu’jiz, al-munazzal ‘alā khātim al-anbiyā’ wa al-mursalīn, biwāsithat al-amīn Jibrīl ‘alyh al-salām, al-maktūb fī al-mashhāhif, al-manqūl ilaynā bi al-tawātur, al-muta’abbad bitilāwatih, al-mabdū´ bisūrat al-fātihāh, al-mukhatatim bisūrat al-nās.” Lihat, al-Shābūnī, Muhammad ‘Alī, al-Tibyān fī ‘Ulūm Al-Qur´ān, (Indonesia: Dār Ihyā´ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1985), cet. I, hlm. 8.
[67] Statement Rahman yang menyatakan “hampir-hampir ibarat tukang pos yang menyampaikan surat-surat” dapat dibaca dalam Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas, hlm. 100.
[68] Rahman, Fazlur, Islam, hlm. 48. Lihat juga, A’lā, Abd, Dari Neo Modernisme ke Islam Liberal, hlm. 36-37. Sibawaihi, Eskatologi al-Ghazali dan Fazlur Rahman, hlm. 53.
[69] Rahman, Fazlur, Islam, hlm. 47 dan Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas, hlm. 150-151. Pandangannya di atas, didasarkan Rahman pada QS. Al-Syūrā (42): 51-52, yang diartikan “Allah tidak berbicara kepada seorang manusia pun, yaitu dengan kata-kata bersuara, kecuali melalui wahy …” Demikianlah kami telah memberi inspirasi kepadamu dengan suatu rūh dari perintah Kami …” Adapun teks ayat yang dimaksud berbunyi:
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ. وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ.
[70] Rahman, Fazlur, Islam, hlm. 50.
[71] Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas, hlm. 151.
[72] Rahman, Fazlur, Metode dan Alternatif Neo Modernisme Islam, hlm. 37.
[73] Saleh, Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir Al-Qur´an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman (Jambi: Sultan Thaha Press, 2007), cet. I, hlm. 109-110.
[74] Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas, hlm. 151.
[75] Rahman, Fazlur, Islam, hlm. 50-51.
[76] Teks ayat yang dimaksud adalah:
نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ (193) عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ
[77] Teks ayat yang dimaksud adalah:
قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نَزَّلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ
[78] Rahman mendasarkan pemahaman tentang rūh sebagai pembawa wahyu Nabi pada sejumlah ayat. Kelompok pertama, menggunakan frase “rūh Kami” berkaitan dengan Maryam, yaitu dalam QS. Maryam (19): 17, Al-Anbiyā´ (21): 91, dan Al-Tahrīm (66): 12. Kelompok kedua, menggunakan kata “rūh-Nya” berkaitan dengan penyempurnaan penciptaan Adām, yaitu dalam QS. Al-Hijr (15): 29, Al-Sajdah (32): 9, dan Shād (38): 72. Kelompok ketiga, menggunakan “rūh Allah” berkaitan dengan keimanan yang kokoh, yaitu dalam QS. Al-Mujādilah (58): 22. Untuk memperkuat justifikasi Qur’aninya, Rahman menyitir QS. Al-Baqarah (2): 87 dan 253 serta Al-Mā´idah (5): 110 yang berkaitan dengan bantuan “rūh suci” (rūh al-quds) kepada ‘Īsā dan “rūh suci” (rūh al-quds) ini pula yang menurunkan wahyu sebagaimana terekam dalam QS. Al-Nahl (16): 102. Bahkan, dalam QS. Al-Nisā´ (4): 17 ditandaskan bahwa ‘Īsā adalah firman-Nya … dan sebuah rūh dari-Nya. Kesemua ayat, di tambah QS. Al-Hijr (16): 8, مَا نُنَزِّلُ الْمَلَائِكَةَ إِلَّا بِالْحَقِّ وَمَا كَانُوا إِذًا مُنْظَرِينَ, menandaskan bahwa malaikat tidak dapat dikirim kepada manusia seperti para nabi. Lihat, Rahman, Fazlur, Tema Pokok Al-Qur´an, terj. Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 1996), cet. II, hlm. 139-140.
[79] Teks ayat yang dimaksud adalah:
إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ (19) ذِي قُوَّةٍ عِنْدَ ذِي الْعَرْشِ مَكِينٍ (20) مُطَاعٍ ثَمَّ أَمِينٍ
Sesungguhnya Al-Qur´an itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai ‘Arsy, yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya.
[80] Teks ayat yang dimaksud adalah:
تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ
Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
[81] Teks ayat yang dimaksud adalah:
تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun.
[82] Teks ayat yang dimaksud adalah:
يُنَزِّلُ الْمَلَائِكَةَ بِالرُّوحِ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ أَنْ أَنْذِرُوا أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاتَّقُونِ
Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu “Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku.”
[83] Rahman, Fazlur, Tema Pokok Al-Qur´an, hlm. 125.
[84] Teks ayat yang dimaksud adalah:
فَإِنْ يَشَأِ اللَّهُ يَخْتِمْ عَلَى قَلْبِكَ
… maka jika Allah menghendaki niscaya Dia mengunci mati hatimu …
[85] Rahman, Fazlur, Tema Pokok Al-Qur´an, hlm. 140-141. Elaborasi tentang konsep rūh sebagai pembawa wahyu kepada Nabi serta penyamaan ruh wahyu dengan istilah bayyinat, baca Ibid., hlm. 142-153 dan Islam, hlm. 53-54.
[86] Rahman, Fazlur, Islam, hlm. 47.
[87] Ibid., hlm. 58.
[88] Ibid., hlm. 55.
[89] Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas, hlm. 15.
[90] Rahman, Fazlur, Islam, hlm. 50.
[91] Rahman, Fazlur, Tema Pokok Al-Qur´an, hlm. 24.
[92] Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas, hlm. 2.
[93] Rahman, Fazlur, Membuka Pintu Ijtihad, terj. Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 1995), cet. III, hlm. 149.
[94] A’la, Abd, Dari Neo Modernisme ke Islam Liberal, hlm. 83.
[95] Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas, hlm. 4-5.
[96] Sumaryono, E., Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisus, 1999), hlm. 23.
[97] Muzairi, “Hermeneutik dalam Pemikiran Islam” dalam buku Sahiron Syamsuddin dkk, Hermeneutika Al-Qur´an Mazhab Yogya (Yogyakarta: Islamika, 2003), cet. I, hlm. 53.
[98] Dalam pengertian bahasa Latin, hermetik memang diasosiasikan pada Hermes, tetapi dengan pengertian sebagai “god regarded as founder of alchemy.” Lihat, Allen, R. E. (ed.), The Oxford Dictionary of Current English (New York: Oxford University Press, 1990), hlm. 344.
[99] Webster, Noah, Webster’s New School and Office Dictionary: Newly Revised Edition (New York: Fawcett Crest Book, 1974), cet. XXIII, hlm. 338.
[100] Faiz, Fakhruddin, Hermeneutika Qur´ani: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi (Yogyakarta: Qalam, 2003), cet. III, hlm. 20-21.
[101] Verhaak, Christ, “Aliran Hermeneutik: Bergumul dengan Penafsiran” dalam buku FX. Mudji Sutrisno dan Fransisco Budi Hardiman (ed.), Para Filsuf Penentu Gerak Zaman (Yogyakarta: Kanisus, 1994), cet. II, hlm. 74. Lihat juga, Adian, Donny Gahral, Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif (Yogyakarta-Bandung: Jalasutra, 2006), cet. I, hlm. 199.
[102] Sumaryono, E., Hermeneutika, hlm. 20-33.
[103] Ahmala, “Lahirnya Hermeneutika: Mengurai Kebuntuan Metode Ilmu-Ilmu Sosial,” dalam Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin (ed.), Hermeneutika Transendental: dari Konfigurasi Filosofis menuju Praktis Islamic Studies (Yogyakarta: IRCISoD, 2003), cet. I, hlm. 15.
[104] Bagir, Haidar, “Kearifan Kuno, Kearifan Illahi,” Kata Pengantar dalam buku Jusuf Sutatnto, Kearifan Kuno di Zaman Modern: Penyejuk Manusia dalam Mencari Kebenaran (Bandung: Hikmah, 2004), cet. I, hlm. xvi.
[105] Lihat, Webster, Noah, Webster’s New School and Office Dictionary, hlm. 338.
[106] Bagir, Haidar, Kearifan Kuno, Kearifan Illahi, hlm. xvi.
[107] Nasr, Seyyed Hossein, Knowledge and the Sacred (New York: State University Press, 1981), hlm. 72.
[108] Beberapa ulama menerima teori ini disertai, sebagai evident pendukungnya, perujukkan kepada statement al-Biruni, sejahrawan India abad ke-11, yang menyebut Budha sebagai nabi. Akan tetapi, sejumlah sarjana lain menolak bukti sejarah terakhir ini dengan alasan bahwa al-Biruni hanya mengilustrasikan keyakinan orang-orang India yang menganggap Budha sebagai nabi. Lihat, Bagir, Haidar, Kearifan Kuno, Kearifan Illahi, hlm. xix.
[109] Hidayat, Komaruddin, Menafsirkan Kehendak Tuhan (Jakarta: Teraju, 2003), cet. I, hlm. 137.
[110] Ahmala, Lahirnya Hermeneutika, hlm. 15.
[111] Jikalau kita sepakat dengan pendefinisian hermeneutika di atas, maka terdapat pengertian yang sejalur dengan pemahaman ilmu tafsir dan ta´wil. Lihat, Hidayat, Komaruddin, Op.Cit., hlm. 138.
[112] Bagus, Lorens, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), Ed. I, hlm 283.
[113] Palmer, Richard. E., Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleirmecher, Dilthey, Heidegger and Gadamer (Avanston: North Western University Press, 1969), hlm. 4 dan 8.
[114] Ibid., hlm. 3.
[115] Faiz, Fakhruddin, Hermeneutika Qur´ani, hlm. 22.
[116] Grondin, Jean, Sejarah Hermeneutik: dari Plato sampai Gadamer, terj. Inyiak Ridwan Muzir (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), cet. I, hlm. 48-49.
[117] Filologi adalah ilmu yang mempelajari bahasa, kebudayaan, pranata, dan sejarah suatu bangsa sebagaimana terdapat dalam bahan-bahan tulisan. Namun, dalam tataran modern, filologi modern (modern philology) hanya menyelidiki bahan-bahan tertulis dalam konteks modern. Lihat, Kridalaksana, Harimurti, Kamus Linguistik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), ed. III, cet. V, hlm. 54.
[118] Historiografi diartikan sebagai penulisan sejarah. Ada pula terminologi historiografi linguistik (linguistic historiography), yaitu bagian dari sejarah linguistik yang mempelajari sejarah-sejarah linguistik yang membahas pewarisan dan saling pengaruh ide-ide mengenai sejarah. Pengertian tersebut berbeda secara diametral dengan konsep historisisme, yaitu gerakan linguistik yang berpendirian bahwa penjelasan bahasa harus bersifat ilmiah, karena dalam sejarahnya bahasa mengalami perubahan-perubahan oleh faktor intern dan ekstern. Penganutnya adalah Otto Jespersen, Hermann Paul. Lihat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), Ed. II, cet. I, hlm. 355. Lihat juga, Kridalaksana, Harimurti, Op.Cit., hlm. 75.
[119] Hidayat, Komaruddin, Menafsirkan Kehendak Tuhan, hlm. 139.
[120] Verhaak, Christ, Aliran Hermeneutik, hlm. 74.
[121] Husaini, Adian, “Problem Teks Bible dan Hermeneutika” dalan Majalah Islamia, Hermeneutika versus Tafsir al-Qur´an, dalam Islamia: Majalah Pemikiran dan Peradaban Umat, vol. I, no. 2, (Jakarta: ISTAC dan Khairul Bayan, Juni-Agustus 2004), hlm. 7-12 dan seterusnya.
[122] Armas, Adnin, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur´an (Jakarta: Gema Insani, 2005), cet. I, hlm. 35-47, terutama dalam hlm. 35, dan 44-47.
[123] Dalam pengertian linguistis, wacana (discourse) adalah suatu pengujaran yang mengandaikan adanya pembicara atau pendengar dengan niat dari yang pertama untuk menyampaikan kepada yang kedua untuk menyampaikan pesan dan kemungkinan bagi pihak kedua untuk bereaksi secara langsung. Dengan demikian, apabila dikaitkan dengan wahyu Tuhan, Al-Qur´an pada tahap wacana (Qur´anic discourse) adalah tahap pengujaran lisan penggal-penggala Kalām Allah/verbum dei (dengan muatan pesan ajaran-ajarannya) yang secara linguistis disampaikan dalam bahasa (dan kepada masyarakat) Arab serta reaksi mereka terhadap ujaran-ujaran itu. Lihat, Mohammed, Arkoun, Rethinking Islam, terj. Yudian W Asmin & Lathiful Khuluq (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), cet. I, hlm. 59 dan Pemikiran Islam, terj. Yudian W. Asmin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), cet. I, hlm. 5. Untuk gagasan yang lebih elaboratif tentang Qur´anic discourse ini, dapat dibaca dalam Arkoun, Mohammed, Islam Kontemporer: Menuju Dialog antar Agama, terj. Ruslani (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), cet. II, hlm. 104-107.
[124] Al-Sid, Muhammad ‘Ata, Sejarah Kalam Tuhan: Kaum Beriman Menalar Al-Qur´an Masa Nabi, Klasik & Modern, terj. Ilham B. Saenong (Jakarta: Teraju, 2004), cet. I, hlm. 8.
[125] Bahasa, dalam konsep Hassan Hanafi, adalah bentuk pemikiran, sedangkan makna adalah kandungan atau isinya. Adapun realias eksternal merupakan rujukan (referensi) makna. Bahasa adalah ruang dari “ada” atau, dengan kata lain, bahasa adalah rumah dari wujud dan bukan struktur yang kosong. Sedangkan nuansa ekspresi dan kebahasaan adalah alat bagi sesuatu yang lain untuk memahami makna dan menemukan realitas. Lihat, Hanafi, Hassan, Islam Wahyu Sekuler: Gagasan Kritis Hassan Hanafi, terj. M. Zaki Hussein & M. Nur Khoiron (Jakarta: Inst@d, 2001), cet. I, hlm. 206.
[126] Hidayat, Komaruddin, Op.Cit., hlm. 51.
[127] Aminuddin, Semantik: Pengantar Studi tentang Makna (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2033), cet. II, hlm. 15.
[128] Dalam hal ini, al-Jāhizh menyebutkan lima bentuk kode komunikasi, yaitu kata (lafazh), tanda atau isyarat (isyārat), konversi (‘aqd), kondisi tertentu (hāl) dan korelasi (nisbāh). Sinyalemen al-Jāhizh ini mengindikasikan bahwa makna hanya bisa dikomunikasikan dengan orang lain melalui sebuah medium, baik lisan maupun tulisan. Sebaliknya, tanpa perangkat tersebut, makna yang dimiliki seseorang tidak akan pernah dipahami. Lima kode yang diungkapkan oleh al-Jāhizh di atas, merupakan medium yang bisa digunakan untuk menjembatani dan menjadi perantara transmisi informasi dan makna. Lihat, Setiawan, Nur Kholis, Al-Qur´an Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), cet. I, hlm. 158-161.
[129] Menyangkut persoalan asal-muasal bahasa, terdapat perdebatan di kalangan Mu’tazilah dan Asy’ariyyah. Dalam pandangan Mu’tazilah, terutama diwakili oleh Abū Hāsyim, bahasa merupakan hasil dari konversi terminologis manusia. Sementara Abū Hasan al-Asy’arī memiliki teori yang berbanding terbalik, yaitu bahwa bahasa berasal dari ketetapan Allah. Kalangan yang berpegang asal bahasa berasal dari Allah melandaskan argumentasinya pada QS. Al-Baqarah (2): 31, dengan semua interpretasinya yang berawal dari Ibn ‘Abbās. Sedangkan yang berpegang pada argumentasi rasional mengatakan bahwa bahasa berasal dari kesepakatan manusia yang dapat ditelusuri melalui syair-syair pujangga temporer atau melalui bahasa yang digunakan oleh kita sekarang. Lihat, Abū Zayd, Nashr Hāmid, Menalar Firman Tuhan: Wacana Majas dalam Al-Qur´an Menurut Mu’tazilah, terj. Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan (Bandung: Mizan, 2003), cet. I, hlm. 117 dan seterusnya.
[130] Sifat bahasa adalah spekulatif sehingga teori mengenai asal-usul bahasa pun tidak juah berbeda dengan sifatnya. Gorys Keraf mengintrodusir terdapat beberapa teori tentang bahasa, yaitu teori tekanan sosial, teori onomatopetik atau ekoik, teori interyeksi, teori nativistik atau tipe fonetik, teori ye-ho-ho, teori isyarat, teori permainan vokal, teori kontrak, teori isyarat oral, teori kontrol sosial, teori kontak dan teori Hockett-Ascher. Lihat, dalam daftar isi buku Gorys Keraf, Linguistik Bandingan Historis (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), cet. III, hlm. vii. Namun, secara umum teori tentang bahasa dapat disimpulkan terbagi dalam tiga tipologi besar, yaitu teologis, naturalis dan konvensionalis. Lihat, Hidayat, Komaruddin, Op.Cit., hlm. 35-37. Deskipsi yang lebih elaboratif tentang hal ini dapat dibaca dalam ‘Abd al-Rahmān Jalāl al-Dīn al-Suyūthī, al-Muzhir fī ‘Ulūm al-Lughah wa Anwā’uhā, ed. Muhammad Ahmad Jād al-Mawlā, ‘Alī Muhammad al-Bajāwī dan Muhammad Abū al-Fadhl Ibrāhīm, Jilid I (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.), hlm. 7 dan seterusnya.
[131] Abdullah, Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, hlm. 278.
[132] Ibid., hlm. 281.
[133] Kleden, Ignas, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. hlm. 23.
[134] Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur´an Fazlur Rahman (Yogyakarta-Bandung: Jalasutra, 2007), cet. I, hlm. 35 dan 49.
[135] Dalam pemahaman sarjana Muslim konvensional, secara definitif, tafsir dipahami secara beragam dan, apabila dikaitkan dengan konsepsi ta´wil, maka tafsir memiliki pengertian yang sangat berbeda. Di bawah ini penulis kemukakan beberapa definisi tentang tafsir sebagaimana berikut.
a.        Al-Zarkasyī dalam al-Burhān fī ‘Ulūm Al-Qur´ān
التفسيرعلم يعرف به فهم كتاب الله المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم وبيان معانيه واستخراج أحكامه وحكمه.
Tafsir adalah ilmu memahami kitab Allah (Al-Qur´an) yang diturunkan kepada Nabi Muhammd Saw (dengan tujuan) menjelaskan makna-makna, mengeluarkan hukum sekaligus hikmah-hikmah (yang terkandung di dalam)-nya.
b.        Al-Zarqānī dalam Manāhil al-Irfān fī ‘Ulūm Al-Qur´an
التفسير في الاصطلاح علم يبحث فيه عن القرآن الكريم من حيث دلالته على مراد الله تعالى بقدر الطاقة البشرية.
Tafsir adalah ilmu yang mengkaji tentang Al-Qur´an dari segi dalālah-nya untuk memahami maksud firman Allah SWT sesuai dengan kemampuan manusia
c.        Al-Baghawī dalam Ma’ālim al-Tanzīl
التفسيرهو الكلام في أسباب نزول الآية وشأنها وقصتها.
Tafsir adalah penjelasan tentang latar belakang dan kondisi sosio historis ayat (asbāb al-nuzūl) serta penjelasan tentang kisah-kisahnya.
Lihat, al-Zarkasyī, Badr al-Dīn Muhammad ibn ‘Abdullah, al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur´ān, ditahqīq oleh Muhammad Abū al-Fadhl Ibrāhīm, (Mesir: Dār Ihyā´ al-Kutub al-‘Arabiyyah ‘Īsā al-Bābī al-Halabī wa Syurakāh, 1957), cet. I, hl. 13, al-Zarqānī, Muhammad ‘Abd al-‘Azhīm, Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm Al-Qur´ān, Jilid II, (Mesir: ‘Īsā al-Bābī al-Halabī wa Syurakāh, t.t), hlm. 3, dan al-Baghawī, Muhyi al-Sunnah Abū Muhammad ibn al-Husayn ibn Mas’ūd, Ma’ālim al-Tanzīl, ditahqīq oleh Muhammad ‘Abdullāh al-Namr dkk, 8 Jilid (t.t: Dār Thayyibah li Nasyr wa al-Tawjī, 1998), Jilid 1, cet. IV, hlm. 46.
Lihat juga dalam al-Suyūthī, Jalāl al-Dīn ‘Abd al-Rahmān, al-Itqān fī ‘Ulūm Al-Qur´ān, 2 Jilid, (Beirut; Dār al-Fikr, 1979), Jilid II, hlm. 173-174 serta al-Tahbīr fī ‘Ilm al-Tafsīr, (Beirut: Dār al-Fikr, 1996), cet. I, hlm. 31-32, al-Dzahabi, Muhammd Husayn, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, 3 Jilid (Mesir: Maktabah Wahbah, 2000), Jilid 1, cet. VII, hlm. 12-13, al-Qaththān, Mannā’, Mabāhits fī ‘Ulum Al-Qur´ān (Mesir: Maktabah Wahbah, 2000), cet. XI, hlm. 316-320, al-Shibāg, Muhammad ibn Luthfī, Lamahāt fī ‘Ulūm Al-Qur´ān (Beirut: al-Maktab al-Islamī, 1987), cet. II, hlm. 187-189, dan al-Shābūnī, Muhammad ‘Alī, al-Tibyān fī ‘Ulūm Al-Qur´ān (Indonesia: Dār Ihyā´ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1985), cet. I, hlm. 65-67.
[136] Moosa, Ebrahim, Pendahuluan, hlm. 10.
[137] Ibid., hlm. 11-12.
[138] Ibid., hlm. 18-19.
[139] Sumaryono, E. Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat, hlm. 26
[140] Romantisme adalah gerakan kultural yang melanda Eropa dan Amerika dalam medio tahun 1775 dan 1830. Romantisme adalah reaksi terhadap supremasi rasio di abad pencerahan yang menjadi kaku dan cenderung rasionalistik, mereduksi segala hal menjadi sesuatu yang hanya ditangkap oleh rasio saja, serta memarjinalisasikan emosi, kehendak, libido, nafsu, spontanitas sebagai suatu yang subjektif-distortif, dan dapat menurunkan derajat kebenaran ilmiah.
[141] Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768-1834) berasal dari kalangan pietisme reformasi Lutheran dan merupakan pelopor hermeneutika romantik. Pietisme adalah aliran religius yang berkembang di Jerman akhir abad XVII yang menempatkan penekanan kuat pada aspek pengalaman dari ajaran-ajaran Kristus. Justifikasi dan kelahiran kembali harus dialami secara langsung dan bukannya secara tidak langsung melalui teks dan eksegesis.
[142] Poepoprodjo, W., Hermeneutika (Bandung: Pustaka Setia, 2004), cet. I, hlm. 21.
[143] Ibid.
[144] Verhaak, Christ, Aliran Hermeneutik, hlm. 75. Dengan begitu, defnisi agama (religio) dimaknai Schleiermacher dengan rasa (feeling).
[145] Dalam pemikiran filosofis Descartes, ‘aku’ yang transenden dan universal, diungkapkan dalam sebuah hipotesisnya yang terkenal, yaitu ‘cogito ergo sum’ atau je pense donc je suis.’ Dengan adigium ini, Descartes telah memberikan metode elementer-esensial sebagai sebuah pijakan yang sangat valid (fundamentum certum et inconcussum veritatis atau kepastian dasariah dan kebenaran yang kokoh), yaitu metode kesangsian atau ‘le doute methodique.’ Lihat, Hardiman, Francisco Budi, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), cet. II, hlm. 37-38.
[146] Bagi Kant, manusia hanya mengetahui wilayah phenomena dan bukan yang noumena. Dengan demikian posisi wahyu dan intelek semakin terpojok oleh konstruksi filsafat Immanuel Kant. Lihat,
[147] Adian, Donny Gahral, Percik Pemikiran Kontemporer, hlm. 204.
[148] Verhaak, Christ, Aliran Hermeneutik, hlm. 76 dan Poepoprodjo, W., Hermeneutika, hlm. 25.
[149] Grondin, Jean, Sejarah Hermeneutik: dari Plato sampai Gadamer, hlm. 28.
[150] Adian, Donny Gahral, Percik Pemikiran Kontemporer, hlm. 206 dan Verhaak, Christ, Aliran Hermeneutik, hlm. 76.
[151] Grondin, Jean, Sejarah Hermeneutik: dari Plato sampai Gadamer, hlm. 25-26.
[152] Fenomena adalah sebentuk realitas yang dapat tertangkap sebatas gejala yang muncul dalam waktu dan ruang. Berbica fenomena, berarti mensyaratkan noumena, yakni benda itu sendiri. Sekalipun noumena adalah ada, tetapi selamanya tidak bisa dicapai oleh pengetahuan manusia, karena pengatahuan manusia terbatas dalam dunia fenomena. Lihat, Roswantoro, Alim, “Logika Transendental Kant dan Relevansinya bagi Humanitas Kontemporer” dalam buku Zubaedi dkk, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), cet. I, hlm. 57.
[153] Verhaak, Christ, Loc.Cit.
[154] Positivisme merupakan aliran pemikiran yang dibidani oleh Auguste Comte yang hidup di abad ke-19 serta mengalami langsung Revolusi Perancis dengan segala akibatnya. Di abad ke-20 pemikiran positivisme dikembangluaskan oleh sekelompok filsuf Wina dengan alirannya, neo-positivisme (positivisme-logis). Sebagai sebuah aliran, positivisme mendominasi wacana ilmu pengetahuan dengan menetapkan kriteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh ilmu-ilmu kemanusiaan maupun kealaman hingga layak untuk disebut sebagai ilmu pengetahuan yang benar. Positivisme menyatakan bahwa keabsahan ilmu pengetahuan diukur dari objektivitas, kepastian, dan rasionalitas. Rasionalitas, sebagai satu kriteria keabsahan ilmu, telah membatasi diri pada penalaran deduktif dan induktif, observasi dan bebas nilai. Kriterium inilah yang justru tidak bisa diterapkan dalam etika (dan ilmu sosial). Kriteria-kriteria tersebut bersifat eksplanatoris dan prediktif. Lihat, Adian, Donny Gahral, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari David Hume sampai Thomas Kuhn (Jakarta: Teraju, 2002), cet. I, hlm. 12.
Demi terpenuhinya kriteria-kriteria tersebut, maka ilmu-ilmu harus memiliki pandangan dunia positivistik sebagai berikut. Pertama, objektif. Teori-teori tentang semesta haruslah bebas nilai. Kedua, fenomenalisme. Ilmu pengetahuan hanya berbicara tentang semesta yang teramati. Substansi metafisis yang diandaikan berada dibelakang gejala-gejala realitas harus disingkirkan. Ketiga, reduksionisme. Semesta direduksi menjadi fakta-fakta keras yang dapat diamati. Keempat, naturalisme. Alam semesta adalah objek-objek yang bergerak secara mekanis seperti bekerjanya jam. Lihat, K. J Veeger, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi (Jakarta:  PT. Gramedia, 1985), cet. I, hlm. 231-234.
[155] Habermas berargumen bahwa ada tiga kegiatan utama yang langsung mempengaruhi dan menentukan bentuk tindakan dan pengetahuan manusia, yaitu kerja, komunikasi/interaksi dan kekuasaan. Kerja dibimbing oleh interes yang bersikap teknis, sementara interkasi dibimbing oleh interes yang bersifat praktis. Sedangkan kekuasaan dibimbing oleh interes yang bersifat emansipatoris. Tiga interes itu juga mempengaruhi proses terbentuknya ilmu pengetahuan, yaitu ilmu-ilmu yang termasuk dalam kelompok empiris-analitis, ilmu-ilmu yang yang dihimpun oleh kelompok ilmu historis-hermeneutis dan kelompok ilmu sosial kritis (ekonomi, politik, sosiologi). Ketiga jenis ilmu tersebut masing-masing menghasilkan tiga jenis pemgetahuan yang secara fungsi juga berbeda satu dengan lainnya. Ilmu-ilmu analitis-empiris menghasilkan informasi yang akan memperbesar penguasaan teknis pada manusia. Ilmu historis-hermeneutis menghasilkan interpretasi-interpretasi yang memungkinkan adanya suatu orientasi bagi tindakan manusia dalam kehidupan bersama. Sedangkan ilmu-ilmu sosial-kritis menghasilkan analisa yang membebaskan kesadaran manusia dari kungkungan kepercayaan yang didikte oleh ketergantungan kepada kekuasaan ataupun ketergantungn struktural. Lihat, Kleden, Ignas, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, (Jakarta: LP3ES, 1987), cet. I, hlm. 32-34.
[156] Positivisme yang dikembangkan oleh Auguste Comte biasa digolongkan dalam kategori positivisme sosial, yaitu paham yang meyakini bahwa kemajuan sosial hanya dapat dicapai melalui penerapan ilmu-ilmu positif. Dalam konteks sosiologi, karena terpengaruh oleh diktum positivistik yang diklaimnya, maka Comte memahaminya sebagai studi ilmiah terhadap masyarakat, yang menempatkan objek dalam pandangan alam yang terpisah dari subjek peneliti dan berkerja dalam hukum determinisme. Sosiologi ala Comte ini, oleh karenanya, sering disebut dengan “fisika sosial.” Adapun diktum positivistik yang penulis maksud adalah suatu doktrin yang dikenal dengan doktrin kesatuan ilmu. Doktrin ini sendiri mensyaratkan bahwa keabsahan ilmu harus disandarkan pada kesatuan metode dan bahasa. Singkatnya, ilmu sosial wajib secara epistemologis, metodologis, dan ontologis mengikuti ilmu alam. Secara epistemologis, ilmu-ilmu sosial mesti mengadopsi prinsip keterpisahan subjek dan objek yang ditelitinya, sementara secara metodologis, ilmu-ilmu sosial harus memiliki prosedur-prosedur yang terkontrol guna menghasilkan pengetahuan yang objektif. Sedangkan secara ontologis, semesta sosial diposisikan sama halnya dengan semesta alam, yaitu bekerja berdasarkan keteraturan mekanis dengan hukum-hukum yang deterministik. Lihat, Soekanto, Soerjono, Sosiologi: Suatu Pengantar (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), cet. I, hlm. 367.
[157] Fungsi verstehen sebagai metode dalam ilmu-ilmu sosial dan erkleren sebagai metode dalam ilmu-ilmu alam menjadi sangat signifikan dalam pengembangan konfigurasi pemikiran filosof di atas. Sebetulnya, fungsi verstehen dan erklären sebagai metode merupakan eksplorasi dari eksposisi posisi subjek terhadap objeknya. Dalam erklären penjelasan sesuatu didasarkan penyebabnya (kausalitas). Interpretasi hukum-hukum alam diurai dengan teori-teori, selanjutnya teori tersebut menjadi alat yang dapat diaplikasikan pada fakta. Bahkan, dalam erklären pengalaman dan teori dapat dipisahkan.
Sebalikya, dalam verstehen pengalaman dan pemahaman teoritis tercampur. Artinya, eksposisi struktur simbolis ataupun produk-produk budaya tidak dapat diinterpetasi sebagaimana dalam pemahanam erklären. Dalam verstehen, titik tekannya terdapat dalam penemuan makna dari produk-produk manusiawi, bukannya menjelaskan aksioma-sksioma yang terdapat dalam teori. Dalam verstehen yang dijadikan objek bukanlah struktur-struktur psikis melainkan struktur-struktur simbolis budaya. Lihat, Hardiman, Fransisco Budi, Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jürgen Habermas (Yogyakarta: Buku Baik, 2004), cet. I, hlm. 183-185.
[158] Disiplin ilmu sosial yang pertama kali mencapai eksistensi institusional otonom adalah ilmu sejarah, kemudian berturut-turut diikuti oleh ilmu ekonomi, sosiologi, ilmu politik, dan antrologi. Lihat, Wallerstein, Immanuel, Lintas Batas Ilmu Sosial, terj. Oscar (Yogyakarta: LKiS ,1997), cet.I, hlm. 22-38.
[159] Terdapat beberapa istilah kunci (penulis memaknainya dengan perbedaan) yang terdapat di antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial atau naturalistik dan humanistik. Istilah-istilah yang mengemuka dalam tradisi naturalistik adalah mengenai corrivibility (dapat dikoreksi) dan incorrigibility (tidak dapat dikorekinya) pengetahuan, system explanation (penjelasan) dan falsification (penemuan kesalahan), sistem, model dan teori, kerangka kerja, pola dan paradigma, theory laden (padat teori), tradisi ivestigasi yang berkesinambungan, normal sciences (ilmu-ilmu normal) dan revolutionary sciences (ilmu yang bersifat revolusioner), anomali, commensurability theory (memiliki elemen sama dan dapat terukur), puzzle solving within normal sciences (upaya pemecahan persoalan yang pelik dalam wilayah normal science), konteks justifikasi dan konteks penemuan, hard core and protective belt (inti ilmu yang solid dan ilmu-ilmu yang melingkarinya sebagai sabuk pengaman), the heuristic principle (prinsip memberikan dorongan untuk melakukan penelitian terus-menerus untuk menemukan penemuan baru), dan lain sebagainya. Lihat, Abdullah, Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, hlm. 39.
[160] Sementara tradisi humanistik sangat menaruh pada konsep-konsep seperti meaning, maka ilmu sosial lebih bertujuan interpretatif dan eksplanatif, hermeneutics, insider and outsider understanding, pendekatan-pendekatan yang bersifat idealis dan reduksionis, verstehen versus erkleren, objektivitas dan subjektivitas, objektivitas dan keterlibatan diri, nilai dan fakta, teks dan konteks, makna dan ekspresi, sosiologi ilmu pengetahuan, pengetahuan sebagai buah karya budaya, masyarakat sebagai sebuah organisme, masyarakat sebagai sebuah sistem fungsional-struktural, agama sebagai sebuah proyeksi sosial, dan psikologis serta lain sebagainya. Lihat, Ibid.
[163] Idealisme Plato membagi dunia menjadi dua, yaitu dunia ide dan dunia inderawi. Dunia inderawi adalah cermin dunia yang tidak sempurna dari dunia ide yang sempurna. Plato mengandaikan bahwa jiwa manusia telah ada di dunia ide yang, kemudian, jatuh dan terpenjara dalam tubuh sehingga membawanya kepada dunia inderawi yang serba semu. Kejatuhan ke dunia inderawi inilah yang menyebabkan manusia harus mengingat kembali (remembering or recollecting) pengetahuan-pengetahuan yang didapatinya di dunia ide. Bahkan, Plato berargumen, selama jiwa manusia terkungkung oleh tubuhnya, maka pengetahuan yang sempurna tidak akan pernah diraih oleh manusia. Tesis ini kemudian mendapat sanggahan dari Aristoteles dengan diktumnya ‘nihil est in intellectu in sensu’ (tidak ada sesuatu pun yang terdapat di akal budi yang tidak lebih ada pada dunia indera). Lihat, Adian, Donny Gahral, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari David Hume sampai Thomas Kuhn, hlm. 30-31.
[166] Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, salah satu hal yang dianggap menjadi kesalahan atau kuatnya dominasi ilmu-ilmu alam atas ilmu-ilmu sosial adalah tidak tepatnya penggunaan metode. Dalam hal ini, Habermas memberikan kritik bahwa realitas sosial manusia begitu kompleks dan tidak bisa direduksi sebagaimana realitas alam yang sederhana. Oleh karena itu, metode ilmu-ilmu alam tidak bisa digunakan untuk menangkap realitas manusia dan kemanusiaan. Lihat, Fauzi, Ibrahim Ali, Jürgen Habermas (Jakarta: Teraju, 2003), cet. I, hlm. 42
[167] Disarikan dari Poespoprodjo, W., Hermeneutika, hlm. 31-59.
[168] Damanhuri, “Belajar Hermeneutika Bersama Emilio Betti,” dalam Nafisul Arho’ & Arif Fahrudin (ed.), Hermeneutika Transendental: dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, hlm. 39.
[169] Auslegung adalah bagaimana mendapatkan sebuah bentuk penafsiran yang valid, objektif dan merujuk pada sebuah interpretative objektif. Sedangkan spekularive deutung atau speculative interpretation adalah suatu penetapan yang digantungkan pada intuisi atau koherensi internal dari a priori system yang dibangun.
[170] Damanhuri, Belajar Hermeneutika Bersama Emilio Betti, hlm. 39.
[171] Ibid., hlm. 40.
[172] Moosa, Ebrahim, Pendahuluan, hlm. 20-21. A’la, Abd, Dari Neo Modernisme ke Islam Liberal, hlm. 85-86.
[173] Damanhuri, Belajar Hermeneutika Bersama Emilio Betti, hlm. 41.
[174] Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas, hlm. 9-13.
[175] Ibid., hlm. 6.
[176] Secara evaluatif, gagasan awal tentang tafsir kontekstualnya dimulai dengan metode penafsiran yang sistematis (the systematic interpretation method), lalu disusul dengan perumusan dua gerakan pemikiraan yuristik (dari yang khusus [partikular] menuju yang umum [general] dan dari yang general kembali kepada yang partikular, dan, kemudian, disempurnakan dengan teori double movement, penafsiran dari situasi kontemporer–ke masa Al-Qur´an diturunkan–dan kembali lagi ke masa kontemporer
[177] Ibid., hlm. 17-18.
[178] Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas, hlm. 158-129 dan 189.
[179] Menurut Rahman, ide pemisahan antara ketentuan hukum dengan sasaran/tujuan Al-Qur´an sebenarnya telah diungkapkan oleh Amir ‘Ali. Lihat, Rahman, Fazlur, Islam, hlm. dan Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 186.
[180] Saleh, Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir Al-Qur´an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman (Jambi: Sultan Thaha Press, 2007), cet. I, hlm. 128.
[181] Rahman, Fazlur, Metode dan Alternatif Neo Modernisme Islam, hlm. 46-53.
[182] Tentang eksposisi bagian pertama, Rahman memberikan statement yang relatif senada. Pertama, tentang tawhid karena orang-orang Mekah waktu itu menyembah berhala. Kedua, Al-Qur´an sangat menekankan pentingnya keadilan sosio ekonomi karena pada waktu itu terdapat ketidakadilan (ekonomi) yang besar di Mekah – kota dagang dan sebagian besar penduduknya berstatus pedagang. Lihat, Rahman, Fazlur, Islam Modern: Tantangan Pembaruan Islam, terj. Rusli Karim & Hamid Basyaib (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1987), cet. I, hlm. 48-49.
[183] Saleh, Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir Al-Qur´an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, hlm. 130.
[184] Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas, hlm. 194.
[185] Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur´an Fazlur Rahman, hlm. 52.
[186] Amal, Taufik Adnan, Op.Cit., hlm. 193-194.
[187] Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas, hlm. 9-10.
[188] Ibid., hlm. 9-13.
[189] Ibid., hlm. 7.
[190] Ibid., hlm. 6. Mesti dipahami bahwa teks Al-Qur´an lahir dan diturunkan bukan dalam ruang hampa, tetapi dalam sejarah umat manusia (masyarakat Arab). Dalam pengertian ini, budaya dan sejarah masyarakat Arab sebagai audiens Al-Qur´an menjadi suatu wilayah yang harus dikaji untuk menemukan gagasan-gagasan pokok Al-Qur´an. Hemat penulis, gagasan definitif Rahman di atas sejalan dengan pemikiran Abū Zayd, tentang marhalah al-takwīn dan marhalah al-takawwun. Marhalah al-takwīn adalah formasi teks, dimana posisi budaya dan bahasa menjadi subjek, sedangkan teks menjadi objek. Hal ini didukung oleh situasi-situasi pewahyuan (asbāb al-nuzūl) yang memberikan kepada pembaca konteks sosial bagi teks. Adapun marhalah al-takawwun adalah fungsi formatif struktur linguistik teks, dimana teks menjadi subjek, sementara budaya dan bahasa berubah menjadi objek. Dalam konteks inilah, Al-Qur´an berubah menjadi “produk budaya” (al-muntaj al-tsaqafī) dan, pada akhirnya, sebuah “produser budaya” (al-muntij al-tsaqāfah). Kedua istilah ini membentuk alur ontologis dan epsitemologis dalam gerak lingkar bersamaan, yang melibatkan struktur bahasa, budaya, dan alam. Lihat, Nur Ichwan, Moch, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur´an: Teori Hermeneutika Nashr Abū Zayd (Jakarta: Teraju, 2003), cet. I, hlm. 72-74.
[191] Setidaknya terdapat tiga budaya yang membentuk nalar budaya Arab. Pertama, budaya nomad dari suku Badui yang berada di wilayah Arab Utara. Kedua, budaya petani yang berasal dari Arab Selatan, seperti daerah Sabean, Minaean, dan Yaman. Ketiga, budaya pedagang. Penjelasan lebih lanjut baca, Gusmian, Islah, “Teologi Pembebasan: Dari Membela Tuhan Menuju Membela Manusia,” dalam buku Muhidin M. Dahlan (ed.), Sosialisme Religius: Suatu Jalan Keempat (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2000), cet. I, hlm. 190-192. Ketiga bentuk (nalar) budaya tersebut, menunjukkan bahawa situasi sosio Al-Qur´an ketika diturunkan, tidak dalam ruang kosong, melainkan sarat dengan nuansa budaya. Kehidupan padang pasir sendiri, di mana Al-Qur´an diturunkan, memberikan gambaran tersendiri tentang keunggulan bangsa Arab dalam seni hidup bermasyarakat. Sebab, hanya manusia yang ememiliki keunggulan tinggi dalam seni hidup bermasyarakat, yang sanggup bertahan (berhasil) hidup di padang pasir. Lihat, Watt, W. Montgomery, Pengantar Studi Al-Qur´an: Penyempurnaan atas Karya Richard Bell, terj. Taufik Adnan Amal (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), Ed. I, cet. II, hlm. 6-7.
[192] Rahman, Fazlur, Metode dan Alternatif Neo Modernisme Islam, hlm. 66.
[193] Ibid., hlm. 556.
[194] Rahman, Fazlur, Islam, hlm. 383 dan selanjutnya
[195] Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas, hlm. 22.
[196] Interpretasi ulang momen masa lampau dan kebutuhan masa sekarang dengan sebentuk alat intelektual, yang juga dipahaminya sebagai bagian inheren dari kedua momen tersebut, yang distilahkannya dengan ijtihād. Ijtihād, menurut Rahman, adalah upaya untuk memahami makna dari suatu teks atau preseden di masa lampau yang mempunyai aturan tertentu. Demikian, ijtihād ditujukkan sebagai proses mengubah aturan tersebut dengan cara membatasi, memperluas atau memodifikasinya dalam aturan sedemikian rupa sehingga suatu situasi baru dapat tercakup di dalamnya disertai dengan solusi yang baru pula. Implikasinya, teks atau preseden masa lampau dapat digeneralisasikan sebagai sebuah prinsip, yang pada akhirnya dirumuskan sebagai sebuah aturan yang baru. Dengan begitu, makna sebuah teks atau preseden masa lampau, kebutuhan sekarang, dan tradisi yang menjembataninya dapat dipahami sekaligus dapat mendudukan penilaian makna normatif masa lampau yang dibawa oleh tradisi tersebut secara objektif. Lihat, Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas, hlm. 8-9.

Tidak ada komentar: